Berdasarkan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 menerangkan beberapa pengertian bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Selengkapnya download 👇👇
UU No 35 Thn 2014 download disini
Anak Menurut Budaya Lio
- Ngeu gi ngeda pe'pa. (berkembang biak).
- Nge le'ka tuka be'ka le'ka kambu. Beberapa suku kata ini menerangkan dilahirkan dari rahim ibu. "Nge le'ka tuka" berkembang dari perut. "Be'ka le'ka kambu". Kata "be'ka" artinya berkembang dan meluas. Seperti ungkapan "ae be'ka" artinya banjir dan meluap dari sungai. Kata "kambu" artinya lemak. Jadi "Nge le'ka tuka be'ka le'ka kambu" mengandung makna terlahir dari perut atau rahim.
- Kolo nia. Kolo artinya kepala. Nia artinya dahi. Jadi "kolo nia" menerangkan bahwa anak tersebut menjadi bagian dari garis keturunan ayah / patrilinear atau garis keturunan ibu / matrilinear.
- Bagi ana atau bagi anak. Bagi anak terjadi karena jenis perkawinan ayah dan ibu dari anak tersebut.
- Wangga wo'o kili rembi. Wangga artinya pikul. Wo'o artinya busur panah. Kili artinya membawa sesuatu wadah yang digantung sebelah menyebelah dipundak. Rembi artinya bakul anyaman dengan tali panjang berukuran sedang.
- Mutu gu ia pai atau ha'i sada mutu. Ungkapan ini menerangkan kematian.
- Ka kana ru'e nggewu. Ungkapan kepada ayah yang sampai ajalnya tidak bisa membawa istri dan anak - anaknya ke rumahnya untuk menjadikan istri dan anaknya patrilinear.
Sebagian ulayat di Lio sangat pegang teguh tradisi bagi anak. Dalam tradisi pembagian anak, sang anak akan menjadi bagian dari rumpun keluar ayah atau rumpun keluarga ibu. Anak yang yang meneruskan garis keturunan ayah akan bekerja di ladang, sawah milik sang ayah dan akan meneruskan tradisi leluhur di rumpun keluarga ayah. Begitupun kalau anak menjadi penerus generasi sang ibu.
Baca Juga : Perkawinan Adat Lio
Mungkin hal semacam ini sangat sulit dipahami karena tidak terjadi di ulayat Lio lainnya. Tetapi disebagai Lio sebut saja Wologai, Nduaria, Peibenga, Mukureku ,Wolobewa tradisi ini masih dipegang teguh sampai sekarang.
Jadi "ana" menurut sebagian orang Lio yaitu "eo nge le'ka tuka ine kambu ame mo tau susu nggua nama bapu".
Tradisi Bagi Anak di sebagian Lio
Tradisi pembagian anak dimulai dengan jenis perkawinan dari ayah dan ibu sebelumnya. Tradisi yang menyebabkan terjadinya bagi anak yaitu dari jenis perkawinan "Dei ngai pawe ate" atau perkawinan yang terjadi atas dasar "suka sama suka" dari pasangan tersebut tanpa diketahui oleh orang tua dari pihak lelaki dan pihak wanita. Beberapa ungkapan yang menerangkan jenis perkawinan suka sama suka seperti "dei le'ka kaju pawe le'ka ae" atau "tei pare wole bewa jawa bupa ria" atau "tei taka te'a lo ere".
Secara harafiah ungkapan "dei ngai pawe ate". Yang mana dei (suka) ngai (napas) pawe (baik) ate (hati) atau mengandung arti gadis yang dipilih karena cinta dan pria menyukainya. Juga diumpamakan “dei leka kaju pawe leka ae, yang mana dei (suka) le'ka (pada) kaju (kayu) pawe (baik) le'ka (pada) ae (air). Si pria megibaratkan kekasihnya seperti kayu dan air. Si pria menyukai kayu dan air tersebut. Perumpaan lainnya “tei taga te’a lo ere” yang mana "tei (lihat) taga (betis) te’a (menguning atau matang) lo (tubuh) ere (mempesona) mengandung arti si pria memilih kekasih karena melihat betis seperti bulir padi yang menduning, badannya halus nan cantik. Perumpaan lainnya “tei pare wole bewa jawa dupa ria” yang mana tei (lihat) pare (padi) wole (tangkai) bewa (panjang) jawa (jagung) dupa (batang) ria (besar). Si pria mengibaratkan kekasikan yang dinaksir ibarat setangkai padi panjang dan sebatang jagung besar.
Semua perumpaan diatas menerangkan bahwa pria memilih kekasihnya karena rasa kagum dan perasaan cinta kepala kekasihnya. Dari rasa kagum dan cintanya dia mengutarakan perasaannya kepada wanita pilihannya. Si wanita tersebut menerima cinta si pria tersebut. Mereka sepakat untuk membina rumah tangga atas dasar suka sama suka. Karena suka sama suka atau dasar perkawinannya “cinta” maka tahap perkawinanya tidak dilalui dari tahap awal. Tidak melalui proses masuk minta. Perkawinan jenis ini terjadi bisa karena mempelai wanita sudah hamil, mempelai laki-laki langsung tinggal dirumah perempuan dan langsung jadian.
Sekarang lebih dikenal dengan istilah “kawin masuk” dimana mempelai laki-laki akan meninggalkan keluarganya dan tinggal bersama dengan keluarga mempelai wanita. Dalam kehidupan sehari – hari sang ayah dari mempelai wanita akan mengatakan “pati topo lelo eo bosu talo, pati su’a dhawe eo lemba talo” (diserahkan tofa dan parang untuk bekerja kebun yang tidak ada habisnya). Artinya mempelai pria dengan status kawin masuk akan di bahasakan : “ko’o lo’o re’wo boko” (jadi bagian dari keluarga wanita). Bila statusnya sampai mempelai laki meninggal, maka istilah untuk orang terssebut menjadi “ka kana ru’e ngewu”.
Perkawinan jenis ini bukan berarti yang pria tidak bisa lagi menebuskan belis. Bisa ditebus dengan beberapa syarat, diantaranya :
- Saat saudara laki dari sang istri/ipar/eja menikah, dimana ada bahasa “weta wa’u nara nai” (saudara perempuan keluar rumah saudara laki-laki masuk rumah), artinya dalam hal membelis semua tuntutan dari keluarga istrinya ipa/eja menjadi tanggungjawabnya. Ini terjadi ketika saudara laki - laki atau dari istrinya menikah atau dalam bahasa Lio dikenal dengan sebutan "eja". Setelah mengetahui tuntutan dari calon istri dari eja dia sanggup memberikan semua belis dari keluarga besar eja nya.
- Bila mempelai sudah banyak memberi hewan atau lainnya, “dia” bisa mengeluh dan berkata, “wara ku baja r’wa, kolo ku ro r’wa”. Disini sang pria dan keluarganya sudah siap untuk membicarakan belis, ulang dari awal. Yang sudah diberikan bisa diperhitungkan dan bisa juga tidak diperhitungkan atau dikenal dengan sebutan "ngawu lewa".
Pembagian anak terjadi saat ayah atau ibu meninggal dunia. Saat meniggal dunia baik keluarga ayah ataupun keluarga ibu dahulukan tradisi penguburan. Dari pihak ayah akan melaksanakan tradisi membawa atau menanggung hewan atau yang dikenal dengan sebutan "wurumana". Sampai pada malam ke empat setelah penguburan, keluarga dari sang ayah akan ke rumah keluarga sang ibu, menyampaikan bahwa ada hal yang harus dibicarakan. Keluarga sang ibu juga akan menyampaikan kepada semua tetuanya untuk ikut serta dalam forum tersebut.
Baca Juga : Wurumana
Ketika sudah berkumpul, dari keluarga sang ayah akan menyampaikan maksud kedatangan mereka.
"kami mai po ina na, ndu po no'o ana, ema, eda, tu'a kita eo mutu gu ia pai. Kami no ate mete, ra eo kai reki mo tau kili rembi wangga wo'o ghe ngeni. Mo tau susu nggua nama bapu ema ghe.
Artinya : Maksud kedatang kami ini dengan anak, bapak, keponakan (ayah bila sang ayah yang meninggal) yang sudah meninggal. Kami dengan harapan anak dari dia juga untuk melanjutkan tradisi leluhur dikeluarga bapaknya.
Dalam pembagian tradisi pembagian anak, bisa dilaksanakan apabila selama hidupnya sang ayah selalu melaksanakan "wurumana" setiap ada hajatan di keluarga sang ibu. Dengan wurumana tersebut, menjadi pertimbangan keluarga besara sang ibu apakah bisa dilaksanakan tradisi pembagian anak atau tidak. Kalau disetujui karena layak dilaksanakan pembagian anak, maka putra dan putri sulung menjadi penerus garis keturunan sang ibu. Ungkapan lokalnya dikenal dengan "sa weta sa nara ana sa're pa'a" atau "ana wawo pare". Sedangkan anak ke 3 dan seterusnya meneruskan garis keturunan ayah.
Apabila anak putra tunggal maka dilihat saat sang anak menikah. Ketika sang anak menikah dan pem-beli-san sang anak ditanggung bersama makan sang anak akan dikenal dengan sebutan, "ana ke'la embu wisa". Yang artinya sang putra tersebut meneruskan garis keturunan ayah dan juga garis keturunan ibu. Kalau putri tunggal jarang terjadi pembagian. Sang putir menjadi penerus garis keturunan ibu. Sang putri dianggap manusia asli dalam rumah, yang sewaktu - waktu bisa dinobatkan menjadi "ine ria fai ngg'e" atau yang melaksanakan semua seremonial adat dalam rumah.
Tradisi pembagian anak tersebut berdampak pada kehidupan sehari - hari. Sejak terjadi kesepakatan pembagian anak, maka yang meneruskan garis keturunan ayah akan bekerja pada lahan atau tanah garapan keluarga sang ayah. Sebaliknya dengan anak yang meneruskan garis keturunan dang ibu akan bekerja di lahan atau tanah milik keluarga sang ibu. Pembagian lahan garapan ini tidak berlaku pada tanah atau lahan yang diperoleh karena usaha bersama dari ayah dan ibu.
Tulisan ini masih jauh dari kata "Sampoerna". Apabila ada koreksi, saran dan kritiknya muatkan dalam komentar bibawah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar