Oleh : Ludger S
Tradisi
Adat istiadat merupakan tata
kelakuan yang
kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga
kuat integrasinya dengan pola perilaku
masyarakat.
Jalaludi
Tunsam dalam
tulisannya pada tahun 1660 menyatakan bahwa “adat” berasal dari bahasa arab
yang merupakan bentuk jamak dari (adah) yang memiliki arti cara atau kebiasaan.
Sepeerti yang telah dijelaskan bahwa adat merupakan suatu gagasan kebudayaan
yang mengandung nilai kebudayaan, norma, kebiasaan serta hukum yang sudah lazim
dilakukan oleh suaatu daerah. Nah, biasanya apabila adat ini tidak dipatuhi
maka akan ada sangsi baik yang tertulis maupun langsung yang diberikan kepada
pelaku yang melanggarnya.
Sedangkan
menurut Koen Cakraningrat, adat ialah suatu bentuk perwujudan dari kebudayaan.
Kemudian, adat digambarkan sebagai tata kelakuan. Adat merupakan sebuah norma
atau aturan yang tidak tertulis, akan tetapi keberadaannya sangat kuat dan
mengikat sehingga siapa saja yang melagggarnya akan dikenakan sangsi yang cukup
keras. Contohnya, jika ada pasangan yang melakukan suatu hubungan tidak terpuji
seperti perzinahan maka pasangan tersebut akan mendapatkan sangsi baik secara
fisik maupun mental seperti yang diterapkan oleh provinsi Aceh yang menerapkan
hukuman cambuk.
Tradisi
Di dunia ini terdapat banyak aturan dan norma yang
harus dipatuhi. Misalnya saja norma hukum yang berisi Undang-undang tentang
pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, sosial budaya, dan segala aspek lain yang
berkaitan dengan kehidupan manusia. Dalam menjalani hidup, sudah sepatutnya
setiap manusia patuh dan tunduk terhadap norma-norma yang ada di sekitarnya.
Norma lain yang juga harus dipatuhi adalah norma agama dan norma sosial.
Tujuan dari norma-norma tersebut adalah agar kehidupan berjalan dengan baik dan
teratur. Bayangkan saja apabila tidak ada hukum yang mengatur tentang lalu
lintas, misalnya. Setiap pengendara di jalan akan dapat berkendara sesuka hati
tanpa dikenakan sanksi khusus apabila mencelakai orang lain.
Aturan dan norma yang ada di
masyarakat tentu dipengaruhi oleh tradisi yang ada dan berkembang di
masyarakat. Misalnya saja, wanita di Aceh diharuskan untuk mengenakan jilbab.
Namun, hal ini tidak berlaku di daerah lain. Hal ini karena setiap daerah
memiliki tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masyarakat juga akan
mengembangkan suatu aturan dan norma yang sesuai dengan tradisi mereka.
Sementara itu, ada satu cabang ilmu yang khusus mempelajari mengenai tradisi
atau kebudayaan masyarakat, namanya antropologi. Ilmu ini pada dasarnya
mempelajari manusia dan budaya. Sehingga, mempelajari ilmu ini akan membuat
manusia menjadi paham akan perbedaan yang ada diantara kita.
Sebenarnya banyak sekali pengertian
dari tradisi. Namun, pengertian tradisi menurut para ahli secara garis besar
adalah suatu budaya dan adat istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nenek moyang kita
tentu menginginkan para generasi penerus tetap menjaga kelestarian peninggalan
mereka. Peninggalan tersebut dapat berupa materil dan non materil. Peninggalan
materil contohnya adalah lukisan, patung, dan arca. Sementara itu, peninggalan
non materil berupa bahasa atau dialek, upacara adat, dan norma.
Tradisi yang dimiliki masyarakat
bertujuan agar membuat hidup manusia kaya akan budaya dan nilai-nilai
bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan menciptakan kehidupan yang harmonis.
Namun, hal tersebut akan terwujud hanya apabila manusia menghargai, menghormarti,
dan menjalankan suatu tradisi secara baik dan benar serta sesuai aturan.
Adat dan Tradisi
Mendorong
perwujudan hak sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat ini dengan menghormati identitas sosial dan budaya mereka, kebudayaan dan tradisi mereka serta institusi mereka. Adat dan
tradisi masyarakat hukum
adat adalah hal
yang utama dalam
banyak kehidupan mereka. Adat dan
tradisi membentuk
sebuah bagian yang
penting dari kebudayaan dan
identitas masyarakat
hukum adat, dan
ini berbeda dari
masyarakat lain di negara
tersebut. Adat dan tradisi
ini bisa meliputi pemujaan leluhur, upacara
keagamaan atau spiritual, tradisi lisan dan
ritual yang telah diturunkan dari generasi
ke generasi. Banyak upacara
yang mencakup persembahan
terhadap roh-roh alam dan
diadakan untuk menjaga keseimbangan
dengan alam.
Musik dan tarian
tradisional masyarakat hukum
adat juga merupakan
ekspresi penting dari
identitas budaya mereka yang berbeda. Selain itu,
bahasa masyarakat hukum
adat seringkali berbeda dari bahasa
yang dipakai penduduk lain
di negara tersebut, baik
dalam bentuk tertulis
maupun lisan. Bahasa ini kerap dijadikan
cara untuk mempertahankan
sejarah dan tradisi
lisan agar tetap hidup. Terdapat
elemen- elemen dasar dari akar
dan identitas masyarakat
hukum adat. Seringkali,
sebagai hasil dari kebijakan asimilasi
yang diterapkan sejak kolonialisasi, penduduk asli kehilangan bahasa dan
simbol-simbol budaya
mereka secara tidak sengaja. Hal
ini merupakan salah satu alasan
mengapa Konvensi No. 169
tidak meminta sebuah bahasa
tertentu digunakan untuk
dapat diakui sebagai seorang
penduduk asli. Melainkan, konvensi
ini mendorong untuk
menjunjung dan mengembangkang nilai-nilai budaya mereka.
Manifestasi yang
dapat terlihat atas kebudayaan dan tradisi masyarakat hukum
adat adalah pakaian
mereka, yang seringkali berbeda dari penduduk lainnya, dan
biasanya terbuat dari
sumber daya alam
yang tersedia. Misalnya
kulit anjing laut yang digunakan oleh masyarakat hukum adat Inuit, kulit dan bulu rusa kutub
oleh masyarakat hukum adat
Saami, dan pakaian yang ditenun dengan tangan
oleh masyarakat hukum adat di
berbagai belahan dunia.
Hukum Adat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat
adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan
yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng
lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat
disamakan dengan hukum kebiasaan.[3]
Namun menurut Van Dijk,
kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan.[4] Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti
demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu
sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk,
hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki perbedaan.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto,
hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai
akhibat hukum (das sein das sollen).[5]Berbeda
dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari
hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige
Ordening Der Semenleving.
Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)[6] mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang
menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan
tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi
juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga
masyarakat.
Syekh Jalaluddin[7] menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali
antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari
hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa
tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut,
sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di
belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa
lain.
International
La bour Organization
International La bour Organization (Organisasi
Perburuhan Internasional/ILO)
didirikan pada tahun 1919 telah melaksanakan beberapa kali “Konvesi” . diantara KONVENSI ILO No. 169 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat
ILO adalah
badan khusus yang
mengembangkan dan
menetapkan
standar di bawah naungan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan untuk
meningkatkan kondisi hidup
dan kerja semua
pekerja di dunia
tanpa diskriminasi berdasarkan ras, jender atau asal usul sosial. ILO meyakini bahwa kemiskinan di mana pun dapat membahayakan kesejahteraan.
ILO mengadopsi konvensi atau perjanjian, serta membantu pemerintahan dan badan-badan
lainnya dalam penerapannya.
Hingga Januari
2003, ILO sudah mengadopsi 184 konvensi mengenai beragam
isu, seperti kondisi
kerja, perlindungan kehamilan, diskriminasi,
kebebasan berserikat, dan
jaminan sosial. Pada tahun
1969, ILO dianugerahi hadiah Nobel untuk
Perdamaian atas kerjanya. ILO adalah badan yang unik di antara badan-badan
PBB lainnya, karena tidak
hanya terdiri dari
perwakilan pemerintah. ILO memiliki tiga
mitra: pemerintah, pengusaha dan pekerja
Dalam menerapkan hukum dan peraturan nasional dari penduduk terkait,
pertimbangan yang layak harus diberikan
pada hukum adat atau hukum yang
berlaku umum bagi mereka. Masyarakat
ini akan memperoleh hak untuk mempertahankan adat dan kelembagaan mereka, apabila
sesuai dengan hak-hak mendasar yang ditentukan
oleh sistem hukum nasional dan hak asasi manusia yang diakui secara
internasional. Prosedurnya akan ditentukan, kapan
pun diperlukan, untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin muncul
karena penerapan prinsip ini.
Banyak masyarakat hukum
adat memiliki adat
dan kebiasaan yang membentuk hukum
adat mereka. Hal
ini sudah berkembang secara perlahan-lahan
selama bertahun-tahun dan membantu
dalam mempertahankan sebuah
masyarakat yang harmonis. Seringkali, guna menerapkan adat dan
kebiasaan ini, masyarakat hukum adat memiliki struktur kelembagaan sendiri seperti badan
atau dewan hukum
dan administrasi. Badan- badan
ini memiliki peraturan untuk memastikan bahwa hukum adat tersebut
dipatuhi. Kegagalan dalam mematuhi hukum adat seringkali berakibat adanya
hukuman, dan
setiap kesalahan biasanya memiliki
hukumannya tersendiri.
Konvensi ini mengakui hak-hak masyarakat
hukum adat atas adat dan
hukum adat mereka
sendiri. Dinyatakan dalam konvensi ini bahwa
ketika menerapkan hukum nasional,
adat dan hukum adat ini haruslah
dipertimbangkan. Ketentuan ini telah
dimasukkan ke dalam hukum
nasional di Meksiko. Kitab UU Hukum Pidana Semua pihak Federal Meksiko (Mexican
Federal Penal Code), contohnya, menyatakan
bahwa dalam kasus pengadilan yang melibatkan
penduduk asli, maka adat dan kebiasaan mereka
harus dipertimbangkan.18
Di Filipina, praktik
adat penduduk asli diakui
dalam Bab 4, Pasal 13-20
dari UU Hak-hak Penduduk Asli-Indigenous Peoples Rights Act (IPRA), 1997.
“Hal ini meliputi
hak-hak penduduk asli untuk menggunakan sistem peradilan mereka,
lembaga penyelesaian konflik, proses membangun
perdamaian dan kebiasaan serta
hukum adat lainnya,
yang sepertinya sesuai
dengan sistem hukum nasional dan hak asasi
manusia yang diakui secara
internasional.”19
18 Lihat
Mexican Constitution (1991) Pasal. 4
(b), paragraf 52, mengacu pada ILO: Report of the Committee of Experts on the Application of Conventions and
Recommendations. Jenewa. 1995, hal 398.
19 IPRA juga
dikenal sebagai Republic Act (RA) 8371.
Lihat IWGIA: The Indigenous World
1997-98. Copenhagen, 1998, hal. 194.
Hingga sebatas masih sesuai dengan sistem hukum nasional serta HAM yang diakui dunia internasional,
metode-metode yang umumnya digunakan oleh penduduk terkait untuk menangani
pelanggaran yang dilakukan oleh para anggotanya
akan dijunjung tinggi. Adat masyarakat ini dalam hal hukuman
harus dipertimbangkan oleh pihak yang berwenang dan
pengadilan yang menangani kasus
semacam itu.
Dalam menerapkan hukuman yang diturunkan
dari hukum yang umum terhadap anggota masyarakat ini, pertimbangan harus diambil dari karakteristik ekonomi, sosial dan budaya
mereka.
Preferensi harus diberikan pada metode pemberian hukuman selain pemenjaraan. Dalam merespons
kebutuhan yang semakin
meningkat untuk memasukkan
adat dan hukum
adat dari penduduk asli ke dalam hukum dan praktik
nasional, sebuah seminar
internasional mengenai Administrasi Peradilan
dan Penduduk Asli (Administra- tion
of Justice
and Indigenous Peoples) untuk para hakim dan pejabat pengadilan rendah
dari 13 negara
diselenggarakan di Sucre, Bolivia (1-5 April
1997). Peserta membagi
pengalaman mereka mengenai perkara hukum
yang melibatkan penduduk asli, dalam
konteks reformasi undang-undang,
undang-undang baru dan Konvensi No. 169.
Seminar ini adalah pertama
kalinya dalam sejarah negara
tersebut, di
mana para perwakilan
hakim dan penduduk asli memiliki sebuah
kesempatan untuk membahas persoalan hukum
bersama-sama, dan pertemuan yang sama direncanakan di negara lain di Amerika Latin.
Masalah khusus
yang dihadapi masyarakat
hukum adat adalah penahanan di penjara,
yang seringkali merupakan sebuah
pengalaman yang membawa trauma
bagi mereka. Banyak masyarakat
hukum adat yang meninggal dalam penjara. Di
Aus- tralia, antara tahun
1980 dan 1997,
setidaknya 220 orang Aborigin meninggal dalam
tahanan. Meskipun masyarakat Aborigin hanya mewakili
1,4% dari populasi
orang dewasa, namun mereka mewakili lebih dari
25% dari semua
kematian akibat penahanan.
Misalnya, akibat kondisi
penjara yang amat buruk,
masalah kesehatan dan bunuh diri.20 Hal
ini menunjukkan pentingnya upaya para
hakim, pengadilan dan pengurus tata usaha
nasional untuk menemukan alternatif
hukuman ketika
berhubungan dengan pelanggar hukum dari masyarakat hukum adat.
Kitab Hukum UU Pidana
Greenland (Greenland Criminal
Code) didasarkan pada praktik
adat masyarakat Inuit.
Kitab hukum ini unik karena
tidak didasarkan pada konsep hukuman namun pada rehabilitasi.
Tidak ada penjara dan
orang yang dituduh
telah melakukan kejahatan
harus melakukan kerja
sosial untuk membantu mereka agar
dapat masuk kembali
ke dalam masyarakat .21
20 Amnesty International. Australia. Deaths in Custody:
How Many More? AI Index: ASA12/04/97, Distr :
SC/CO/GR. London, 1997, hal. 1-7.
21 Greenland Criminal Code, Maret, 1954
Penduduk terkait harus dilindungi terhadap
pelecehan atas hak-hak mereka
dan harus dapat mengambil tindakan hukum, baik secara individu maupun melalui badan-badan perwakilan mereka, untuk mendapat perlindungan
yang efektif atas hak-hak tersebut. Langkah-langkah harus diambil guna memastikan bahwa anggota
mayarakat ini dapat memahami dan dipahami dalam perkara hukum. Bila perlu melalui penyediaan penerjemah atau dengan cara lain
yang efektif.
Dalam banyak
kasus, masyarakat hukum
adat tidak begitu mengetahui hukum nasional
atau sistem hukum nasional. Mereka
mungkin merasa bahwa pengadilan atau persidangan
itu membingungkan. Seringkali,
mereka tidak berbicara
atau membaca bahasa resmi
yang digunakan dalam perkara
hukum. Dan ini membuat
keseluruhan pengalaman tersebut menjadi
lebih sulit.
Menghadapi situasi ini, Konvensi
No. 169 menyatakan bahwa kapan pun
diperlukan, masyarakat hukum adat
harus memiliki penerjemah di pengadilan, dan selama persidangan,
ataupun perkara hukum lainnya.
Hal ini untuk memastikan
bahwa mereka dapat memahami apa
yang sedang terjadi,
dan juga mereka sendiri
dapat dipahami.
Di Meksiko, seorang
penerjemah harus tersedia
di semua kasus, di mana
penggugat, terdakwa, saksi ataupun
ahli tidak memahami bahasa
Spanyol dengan cukup
baik, yang merupakan bahasa yang
dipakai oleh pengadilan
tersebut.22
Masyarakat Saami
di Norwegia telah mengambil langkah yang lebih maju.
Di daerah-daerah di mana mereka
adalah mayoritas, misalnya di Finnmark, Norwegia, Saami
adalah salah satu bahasa nasional bersama
dengan bahasa Norwegia.
Oleh karenanya, ketika seorang
warga Saami dituduh
melakukan sebuah pelanggaran, ia dapat memilih untuk berbahasa Saami, dan hakimnyalah yang akhirnya mungkin membutuhkan jasa penerjemah.23
22 Mexican Federal
Code of Penal Procedure, Mexican Constitution (1991) Pasal. 4 (b), ayat103, 104, 105, 128
dan 220.
23 Lihat : Sameloven (Saami Act) tanggal12 Juni 1987,
UU No. 56, Pasal 3-4.
Konsep Tanah
Dalam menerapkan ketentuan dari bagian dalam konvensi ini, semua
pihak harus menghormati pentingnya
nilai-nilai budaya dan spiritual penduduk terkait dalam hubungan mereka dengan
tanah atau daerah, atau keduanya bila perlu, yang mereka tinggali atau gunakan, dan terutama aspek gabungan dari hubungan ini. Banyak masyarakat
hukum adat yang
memiliki hubungan istimewa
dengan tanah. Tanah
adalah tempat mereka
tinggal, dan mereka
telah berdiam di sana selama beberapa
generasi.
Di banyak kasus,
pengetahuan tradisional dan
sejarah lisan mereka terkait dengan tanah, kerap dianggap suci, atau memiliki makna spiritual.
Di Ende, Lio dan Nage misalnya, beberapa gunung dianggap suci
bagi penduduk asli. Misalnya
Lepembusu, Kelisoke, dll. Kadangkala sungai, batu-batu besar, pohon-pohon besar juga dianggap suci.
Konsep
tanah biasanya mencakup
keseluruhan wilayah yang mereka
gunakan, termasuk hutan,
sungai, gunung dan laut, baik permukaan maupun di bawah permukaan. Tanah amat penting bagi kebudayaan
dan kehidupan dari banyak masyarakat hukum
adat. Tanah adalah dasar kelangsungan
hidup ekonomi, kesejahteraan spiritual
dan identitas budaya
mereka. Oleh karena
itu, kehilangan tanah peninggalan leluhur mengancam keberlangsungan
hidup mereka sebagai
sebuah komunitas dan masyarakat. “Masyarakat adat
U’wa di Kolumbia, akan lebih
memilih untuk melakukan bunuh diri
secara massal daripada melihat tanah mereka dinodai
dan dihancurkan oleh
eksploitasi sumber daya alam. Belum
lama ini sebuah perusahaan bahan bakar
telah diberi izin khusus
untuk melakukan prospeksi
hidrokarbon. Masyarakat adat
U’wa telah mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi
Kolumbia, dengan
mengutip Konvensi No. 169
dan Konstitusi Kolumbia- Colombian Constitution (1991) untuk melindungi
tanah mereka.” 25
24 Brosse, J. ”The
Sacred Tree“. In: UNESCO Courier,
No. XLII, Jan. Paris. 1989.
Rappaport, J. Territory and Tradition. The
Ethnohistory of the Paez of Tierradentro, Colombia. Disertasi Ph.D Urbana, Illinois. 1982, hal.
316-329. UNDP. Highland Peoples
Programme. Dokumen Latar
Belakang RAS/93/103. Jenewa,
1997, p.16. Seithel, F. Zur
Geschichte der Action Anthropology am Beispiel
Ausgewaehlter Projekte aus den USA und Kanada. Mainz. 1986, hal. 232. Coyote 3/96, Muenchen. hal. 39.
25 IWGIA. Indigenous Affairs, No. 1,
Jan-Feb-Maret 1998. Kopenhagen, hal. 56.
Penggunaan istilah “tanah” dalam Pasal
15 dan 16 harus mengikutsertakan konsep
daerah, yang mencakup keseluruhan lingkungan dari area yang ditinggali atau digunakan oleh penduduk terkait. “Sangat penting untuk mengetahui dan memahami hubungan
spiritual mendalam antara penduduk asli dan tanah mereka sebagai dasar
keberadaan mereka seperti
yang telah diketahui. Dan dengan
kepercayaan, adat,
kebiasaan dan budaya
mereka… Untuk masyarakat ini,
tanah bukan sekadar barang milik
dan alat produksi…
Tanah mereka bukanlah
komoditas yang
dapat diperoleh, namun sebuah
elemen material untuk dinikmati
secara bebas.”26
Sistem peladang bergilir Karen membantu meningkatkan
keanekaragaman hayati dengan
meninggalkan lahan untuk tidak ditanami
selama beberapa tahun. Hubungan antar manusia berhubungan erat dengan
lingkungan alam sekitar dan
tanah. Hubungan antara anggota komunitas memiliki dampak langsung terhadap produksi pertanian komunitas
tersebut. Roh-roh akan menghukum
apabila ada pelanggaran
terhadap hukum adat dan dampaknya akan
terasa pada apapun yang
mewakili kekayaan dalam
bentuk uang dan keamanan. Oleh
karena itu, kepercayaan dan
rasa takut terhadap roh-roh yang berkuasa, mengarahkan dan mengendalikan
aktivitas dan sikap
komunitas terhadap tanah dan lingkungan alam. 27
Konvensi ini
mengakui aspek individual
dan kolektif dari konsep tanah.
Konsep tanah meliputi tanah
yang digunakan dan dirawat
oleh suatu komunitas
atau masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Konsep ini juga
meliputi tanah yang digunakan
dan dimiliki oleh individu,
misalnya untuk sebuah rumah atau tempat
tinggal.
Tanah juga dapat dibagi di antara
komunitas-komunitas yang berbeda atau
bahkan masyarakat yang berbeda. Hal
ini berarti bahwa
sebuah komunitas atau masyarakat tinggal
di daerah tertentu dan
juga memiliki akses, atau
diperbolehkan untuk menggunakan
tanah milik komunitas atau
masyarakat lain. Hal ini khususnya
dalam kasus tanah penggembalaan,
wilayah perburuan, tempat berkumpul dan hutan.28
26 Laporan Jose R.
Martinez Cobo, Pelapor Khusus dari Sub-Komisi mengenai Pencegagan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Minoritas: Study on the Problem of
Discrimination Against Indigenous
Populations. Dokumen PBB No.E/ CN.4/Sub.2/1986/7/Add.1, Pasal.196 dan 197.
27 Trakansuphakon,
Prasert. “Adaptation
and Cultural Heritage Through Traditional Agriculture: A Case Study of the Karen of
Norrthern Thailand.” In: Thomas,
V. (ed.). Traditional Occupations of Indigenous and Tribal Peoples: Emerging
Trends. Proyek untuk mendorong
Kebijakan ILO mengenai Masyarakat
Hukum
Adat, Jenewa 2000.
28 Roy, C.K. Land
Rights of the Indigenous Peoples of the Chittagong Hill Tracts, Bangladesh. Distr. oleh Jumma Peoples Network in Europe (JUPNET). 1996, hal. 26-.28
Hak atas Tanah
Hak-hak kepemilikan dari penduduk terkait atas tanah yang secara
tradisional telah mereka tempati akan diakui. Selain itu, langkah- langkah akan diambil dalam kasus-
kasus yang melindungi hak penduduk terkait dalam penggunaan tanah yang tidak mereka tinggali secara ekslusif, namun biasanya dapat mereka masuki untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
kegiatan tradisional. Perhatian besar harus diberikan pada situasi masyarakat
nomadis dan para petani berpindah dalam hal ini.
Prosedur yang ditentukan oleh penduduk terkait untuk pengalihan hak atas tanah di antara
mereka sendiri akan diakui. Konvensi ini menyatakan dengan jelas bahwa
masyarakat hukum adat memiliki hak atas tanah yang
secara tradisional telah mereka tempati.
Apa yang dimaksud dengan tanah
yang mereka tempati secara tradisional?
Ini adalah tanah yang
telah didiami selama
beberapa lama oleh penduduk asli dan masyarakat
adat. Mereka telah menggunakan dan mengelola tanah tersebut sesuai
dengan praktek-praktek adat dan tradisi mereka.
Ini adalah tanah leluhur
mereka dan tanah
yang mereka harapkan dapat
diwariskan kepada generasi mendatang.
Di beberapa kasus, tanah
ini mencakup lahan yang baru
dilaporkan hilang.
Di Australia, contohnya,
hak tradisional penduduk asli atas tanah diakui
menjadi bagian dari common law Australia dalam
Keputusan Mabo (No. 2) dari Pengadilan Tinggi Australia, pada 3 Juni 1992.
Pengadilan tersebut menyatakan
bahwa kepemilikan tanah penduduk
asli dapat terus ada:
• Ketika masyarakat
Aborigin dan Torres Strait Islander telah
mempertahankan hubungan mereka
dengan tanah tersebut meski diduduki
oleh bangsa Eropa.
• Ketika hak
ulayat mereka belum
dibatalkan oleh undang- undang yang
sah dari Semua pihak
Kerajaan, Semua pihak
Kolonial, Semua pihak
Negara Bagian, Semua pihak
Daerah atau Semua pihak
Persemakmuran.”29
Terkait dengan keputusan Mabo
tersebut, Native Title Act (UU Hak Ulayat Penduduk Asli) diadopsi
pada 1993 dan
sah menjadi UU pada
1 Januari 1994. UU tersebut mengakui dan melindungi hak-
hak ulayat penduduk asli, termasuk
meliputi hak untuk bernegosiasi atas
tanah dan
tuntutan kepemilikan dengan pihak berkepentingan lainnya seperti
pastoralists (orang
yang mata pencahariaan
utamanya berternak dan selalu
berpindah sesuai musim
untuk mencari padang
rumput dan air
yang baru), petani
dan penambang. Keputusan Pengadilan
Tinggi Wik Juni 1996 menetapkan bahwa pastoral leases (izin untuk menggunakan
Crown– tanah milik kerajaan–oleh petani dan lain-lain)
dan kepemilikan oleh penduduk asli
dapat dipertahankan bersama-sama.
Namun, perkembangan baru-baru ini
mengurangi prestasi
tersebut. UU Amandemen Hak
Ulayat Penduduk Asli-Native Title Amendment Act (1998) yang
berlaku sejak 30 September 1998 secara drastis mengurangi
hak penduduk asli Aborigin atas tanah.30
29 Persemakmuran
Australia. Mabo. The High Court Decision on Native Title. Makalah untuk diskusi bulan Juni 1993. Canberra.
1993, hal. 1.
30 Lihat ATSIC. The Wik Decision and the Future of Native Title Rights in Australia. Makalah
disiapkan oleh Aboriginal and Torres Strait Islander
Commission (ATSIC) untuk sesi ke-
15 Kelompok Kerja PBB
mengenai Penduduk Asli-UN Working Group on Indigenous
Populations, Jenewa, 1997.
Progrom, No.201, 1998, hal. 18-22.
Semua pihak harus mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk mengidentifikasi
lahan yang biasanya ditempati penduduk terkait, dan untuk menjamin perlindungan efektif dari hak- hak
mereka atas kepemilikan. Prosedur
yang layak harus diadakan di dalam
sistem hukum nasional untuk menyelesaikan sengketa tanah oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Guna melindungi hak masyarakat
hukum adat atas tanah yang
telah mereka tempati
secara tradisional, penting
untuk diketahui tanah
ini mencakup apa
saja. Oleh karena
itu, identifikasi terhadap tanah masyarakat
hukum adat sangatlah
penting. Hal ini sekarang
terjadi di Bolivia, Brasil,
Kolumbia, Ekuador dan Paraguay,
serta di negara-negara lain.
Brasil, contohnya, mengadopsi Dekrit No. 1775 Januari
1996 mengenai prosedur
administrasi untuk menentukan batas
tanah
milik penduduk asli. Dekrit ini
mencakup sebuah ketentuan
untuk mengajukan banding terhadap keputusan mengenai penentuan batas tanah
miliki penduduk asli yang belum
diatur.31
Dalam beberapa situasi, masalah
mungkin muncul karena kepemilikan tanah.
Hal ini dapat terjadi dengan
komunitas penduduk asli lainnya, atau dengan pendatang atau dengan pihak-pihak berkepentingan
lainnya. Sekali lagi di Brasil, penentuan
batas daerah yang dikenal sebagai wilayah
Raposa do Sol menimbulkan
perselisihan. Penduduk asli berkeberatan dengan Resolusi Menteri
No. 80, yang mengurangi wilayah tersebut kurang
lebih sebanyak 300 ribu hektare, membuka akses
untuk masyarakat bukan penduduk asli
dan tidak mengizinkan lebih dari
20 desa penduduk asli
memasuki area yang
akan ditentukan batas- batasnya.32
Pada 2003,
Komite Para Ahli memperhatikan bahwa resolusi ini telah ditarik kembali. Meskipun
demikian, sampai saat ini, perselisihan tersebut belum diselesaikan
dan penduduk asli
belum memperoleh pengakuan resmi
atas tanah mereka.
Olehsebab itu, mereka meneruskanperjuangannya.33
31 ILO: Report of the Committee of Experts on
the Application of Conventions andRecommendations. Jenewa. 1997,
hal. 302; dan ibid. 1998, h.316-317.32 Ibid.33 www.cimi.org.br
UU Hak Penduduk
Asli–Indigenous Peoples Rights 1997 (IPRA) muncul
melalui gerakan masyarakat
hukum adat yang
kuat di Filipina. Namun, kelompok
lobi, termasuk perusahaan
pertambangan yang aktif beroperasi di daerah
yang didiami oleh penduduk
asli, beraksi untuk melunakkan ketentuan hukum dalam UU
tersebut. IPRA menyatakan mengakui
hak-hak penduduk asli atas tanah dan daerah peninggalan leluhur. Namun
pada ke nyataannya, penduduk asli pertama-tama harus menyetujui bahwa
negara memiliki hak
terlebih dahulu atas tanah-tanah tersebut. Walaupun penduduk asli dapat memperoleh
Sertifikat Tanah Peninggalan Leluhur (Certificate
of Ancestral Domain Title) atas tanah mereka, negara
berhak menggunakan daerah tersebut
untuk “kepentingan negara”.34
Konvensi ini juga mengharuskan
semua pihak untuk memastikan terdapat prosedur
dan mekanisme yang
layak untuk menyelesaikan perselisihan
apapun.
Di kawasan
Chittagong Hill Tract
s, Bangladesh, terjadi
persengketaan atas kepemilikan
tanah antara masyarakat
adat dan keluarga
dari dataran yang
sudah menetap di tanah tradisional milik
masyarakat adat tersebut. Sengketa ini
mengakibatkan terjadinya
pemindahan pemilik tanah
yang asli. Sebuah persetujuan damai
pada 2 Desember
2997 antara Semua pihak
Bangladesh dan
Jana Samhati Samiti (JSS– People’s United Party) mengimbau
adanya pembentukan
sebuah komisi tanah nasional
untuk menyelesaikan tuntutan
kepemilikan ini.35
34 Degawan, Hermina, “Small-Scale Gold Mining as a Traditional Occupation in the Cordillera, Philippines”. In:
Thomas, V. (ed.). Traditional Occupations of Indigenous and
Tribal Peoples: Emerging Trends. Proyek
untuk mendorong Kebijakan ILO mengenai Masyarakat Hukum Adat, Jenewa,2000.
35 ILO. Report of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendations. Jenewa, 1998,
hal.313. Lihat juga IWGIA. Indigenous Affairs, No.
1, 1998, hal. 50.
Orang yang bukan bagian dari masyarakat hukum adat akan dicegah untuk memanfaatkan kebiasaan penduduk atau memanfaatkan kurangnya pemahaman
penduduk atas hukum untuk mengambil kepemilikan atau penggunaan lahan yang dimiliki oleh
penduduk tersebut.
Hukuman yang memadai
akan ditetapkan atas penggunaan lahan
penduduk terkait yang tidak
sah, dan semua pihak akan mengambil langkah- langkah untuk mencegah pelanggaran
serupa.
Mengenai
pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat hukum adat, konvensi ini menuntut adanya tindakan-tindakan khusus yang diambil guna melindungi hak masyarakat hukum adat
atas tanah.
Hal ini meliputi elemen-elemen, seperti :
• Kebutuhan untuk menghormati hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah
mereka.
• Pengakuan hak tradisional
mereka atas pemilikan
dan kepemilikan tanah
mereka, meliputi aspek
individual dan kolektif.
• Kebutuhan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang
menjadi milik masyarakat hukum adat.
• Kebutuhan untuk melindungi tanah masyarakat
hukum adat dari:
A) Orang
lain yang datang ke tanah ini untuk keuntungan
mereka sendiri tanpa
izin dari pihak berwenang terkait. Seperti
di Brazil, para penambang
emas tidak terdaftar (garimpeiros), menginvasi wilayah Yanomami.
36
B) Orang
luar yang mencoba
mengambil tanah masyarakat
hukum adat melalui
penipuan atau cara-cara tidak
jujur lainnya.
Konvensi ini juga menyatakan bahwa masyarakat
hukum adat memiliki hak
untuk memberikan
tanah dari satu
generasi ke
generasi lain,
sesuai dengan adat komunitas mereka
sendiri.
36 ILO. Report of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendations. Jenewa 1995, hal. 288; dan ibid., 1996, hal. 267; dan ibid., 1998, hal. 316
International
La bour Organization (Organisasi Perburuhan
Internasional/ILO) didirikan pada
tahun 1919.
ILO adalah badan
khusus yang mengembangkan dan
menetapkan
standar di bawah naungan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan untuk
meningkatkan kondisi hidup
dan kerja semua
pekerja di dunia
tanpa diskriminasi berdasarkan ras, jender atau asal usul sosial. ILO meyakini bahwa kemiskinan di mana pun dapat membahayakan kesejahteraan.
ILO mengadopsi konvensi atau perjanjian, serta membantu semua pihakan dan badan-badan
lainnya dalam penerapannya.
Hingga Januari
2003, ILO sudah mengadopsi 184 konvensi mengenai beragam
isu, seperti kondisi
kerja, perlindungan
kehamilan,
diskriminasi, kebebasan berserikat, dan jaminan sosial. Pada
tahun 1969, ILO dianugerahi hadiah Nobel untuk
Perdamaian atas kerjanya. ILO adalah badan yang
unik di antara badan-badan PBB lainnya, karena tidak
hanya terdiri dari
perwakilan semua pihak. ILO memiliki tiga
mitra: semua pihak, pengusaha dan pekerja.
ILO dibangun berdasarkan dialog dan
kerja sama di
antara ketiga mitra ini, di
mana tiap perwakilan mengambil
keputusan secara bebas. Pada
tahun 1945,
PBB didirikan. Pada tahun
1946, ILO menjadi badan
pertama yang tergabung dalam sistem
PBB.
ILO dan masyarakat hukum adat
Awal-mula ILO bekerja dengan masyarakat hukum adat ILO telah lama
terlibat dalam upaya melindungi hak-hak masyarakat hukum
adat. Upaya ini meliputi
dua pendekatan yang saling melengkapi:
1) Penetapan standar
2) Bantuan teknis
Latar belakang
historis dari metode
kerja ini adalah sebagai berikut:
1920-an : ILO memfokuskan perhatiannya
pada kondisi
kerja para pekerja pedesaan.
1930 : Konvensi tentang Pelarangan Kerja Paksa
(No. 29).
1952-1972 : ILO memimpin Program Andean Indian.
1953 : ILO mempublikasikan
kajian tentang Penduduk Asli: Kondisi Hidup dan Kerja Penduduk
Asli di Negara-negara Merdeka.
Isu ini pertama kali
diperhatikan saat ILO menaruh
perhatian khusus
pada situasi pekerja
pedesaan pada
tahun 1920-an. Terdapat
sejumlah besar masyarakat
hukum adat di
antara pekerja pedesaan
tersebut. Antara tahun 1936
dan 1957, ILO mengadopsi
sejumlah konvensi untuk melindungi para pekerja, termasuk beberapa
yang terkait dengan masyarakat hukum
adat. Konvensi-konvensi ini menanggapi
persoalan seperti rekrutmen, kontrak kerja dan
kerja paksa.
ILO juga memberikan bantuan praktis.
Antara tahun
1952 dan 1972, ILO menjalankan sebuah program yang melibatkan banyak lembaga untuk penduduk asli
di Amerika Latin–Program Andean Indian.
Program ini diyakini telah membantu 250.000 penduduk asli.
1957
: Konvensi
ILO mengenai
Masyarakat Hukum Adat (No. 107) diadopsi.
Dari 27 ratifikasi, 18 masih berlaku.
1980-an
: Konvensi
ILO No. 107 dikritik karena mendorong asimilasi
dan integrasi.
1982
: Kelompok
Kerja PBB untuk Masyarakat Adat.
1986
: Rapat
para ahli ILO untuk merevisi Konvensi No. 107.
1987-1989
: Proses
revisi/adopsi
Perlahan-lahan
ILO menyadari pentingnya memiliki standar hukum yang
memiliki fokus khusus pada
masyarakat hukum adat.
Hal ini untuk merespons karakteristik mereka
yang berbeda namun penting bagi
masyarakat hukum adat.
Pada tahun 1957, ILO mengadopsi
Konvensi mengenai Masyarakat
Hukum Adat (No. 107),
yang merupakan perjanjian internasional pertama terkait persoalan
ini. Konvensi ini membahas
banyak persoalan penting
bagi masyarakat hukum adat
seperti hak tanah, ketenagakerjaan
dan pendidikan.
Ketika Konvensi No. 107
diadopsi, masyarakat hukum
adat dilihat
sebagai masyarakat yang
“terbelakang” namun hanya sementara.
Pandangan saat itu adalah agar masyarakat hukum adat
dapat bertahan, mereka harus
masuk ke dalam tingkat nasional dan harus dilakukan
melalui integrasi dan asimilasi.
Seiring dengan berjalannya waktu, pendekatan ini kemudian dipertanyakan. Hal ini dikarenakan meningkatnya
kesadaran, dan meningkatnya jumlah
masyarakat hukum adat yang berpartisipasi
dalam forum-forum internasional, seperti
Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat
Adat. ILO harus menyik api
ta n tangan ini. P ada
1985, ILO mengadakan sebuah rapat
yang dihadiri para
ahli, yang kemudian memutuskan bahwa
Konvensi
No. 107 harus direvisi. Revisi ini dilakukan untuk memperbarui konvensi tersebut
dan menjadikannya lebih relevan dengan
kondisi yang ada. Badan Pengurus mendukung rekomendasi ini.
Antara tahun 1987
dan 1989, ILO merevisi Konvensi No. 107. Selama proses ini, konsultasi dilakukan
dengan sejumlah besar
masyarakat hukum adat.
Mereka berpartisipasi aktif dalam rapat baik
melalui organisasi mereka
sendiri, atau sebagai perwakilan organisasi
pengusaha dan
pekerja, serta semua pihak. Setelah dua tahun
menjalani diskusi dan perancangan
yang mendalam, Konvensi mengenai Masyarakat Hukum
Adat (No. 169)
diadopsi pada Juni 1989
1989
: Konvensi
ILO mengenai
Masyarakat Hukum Adat (No. 169) diadopsi. Setidaknya
17 ratifikasi dilakukan hingga Januari
2003.
Konvensi No. 169 merevisi Konvensi No. 107,
yang melahirkan perubahan dalam pendekatan ILO
kepada masyarakat hukum adat. Perlindungan masih merupakan
tujuan utama, Namun perlindungan tersebut didasarkan pada penghargaan
atas kebudayaan masyarakat hukum adat,
cara hidup mereka yang berbeda,
dan tradisi serta kebiasaan mereka. Perlindungan
itu juga didasarkan
pada kepercayaan bahwa
masyarakat hukum adat
memiliki hak untuk terus hidup dengan identitas
mereka sendiri dan hak untuk menentukan
cara dan langkah perkembangan mereka.
Sejak pengadopsiannya, Konvensi No.
169 telah memperoleh pengakuan
sebagai dokumen kebijakan internasional yang paling
utama mengenai masyarakat hukum adat.
Sejak Januari 2003, konvensi ini telah
diratifikasi oleh 17 negara2.
Konvensi No. 107
tidak lagi terbuka
untuk diratifikasi. Namun, konvensi tersebut
tetap mengikat bagi
mereka yang sudah melakukan ratifikasi,
hingga mereka meratifikasi
Konvensi No.
169. Konvensi ILO No.169 dibagi
menjadi tiga bagian
utama. Konvensi itu
memiliki 25 pasal substatif.
Konvensi ini berlaku untuk:
a) Masyarakat
hukum adat yang berdiam di negara-negara
merdeka, di mana kondisi sosial, budaya dan ekonominya membedakan mereka
dari bagian-bagian lain di negara tersebut
dan statusnya diatur baik
seluruhnya atau sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut
atau dengan hukum atau peraturan tertentu.
b) Masyarakat
yang berdiam di negara merdeka, yang dianggap sebagai masyarakat
hukum adat berdasarkan catatan tentang garis keturunan mereka dari
populasi yang tinggal di negara itu, atau suatu daerah geografis di mana negara
itu terletak, pada saat terjadi
pendudukan atau kolonisasi atau didirikannya
batas-batas negara saat ini dan
yang tanpa tergantung pada status hukumnya, mempertahankan
sebagian atau keseluruhan dari lembaga sosial, ekonomi,
budaya dan politik mereka
sendiri.
ILO mengambil pendekatan praktis. Konvensi ILO No. 169 tidak mendefinisikan siapa masyarakat hukum adat.
Konvensi itu hanya menjelaskan orang-orang
yang ingin dilindunginya.
Elemen-elemen masyarakat
adat meliputi:
• Gaya
hidup tradisional.
• Kebudayaan dan
cara hidup yang berbeda dari
populasi nasional.
Misalnya dalam cara penghidupan mereka, bahasa, adat, dan sebagainya.
• Memiliki
organisasi sosial dan adat,
serta hukum tradisional.
Elemen-elemen penduduk asli meliputi:
• Gaya
hidup tradisional.
• Kebudayaan dan
cara hidup yang berbeda dari
populasi nasional.
Misalnya dalam cara penghidupan mereka, bahasa, adat, dan sebagainya.
• Memiliki
organisasi sosial dan lembaga politik.
• Hidup dalam
sejarah keberlanjutan di daerah tertentu, atau sebelum
orang lain “menginvasi” atau datang ke daerah tersebut.
ILO fokus pada situasi
saat ini, kendati
keberlangsungan sejarah terbilang
penting. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan
kondisi hidup dan
kerja masyarakat hukum adat sehingga mereka dapat terus hidup sebagai masyarakat tersendiri,
bila mereka menginginkannya.
Pengakuan Diri
Pengakuan diri sebagai masyarakat hukum
adat akan dianggap sebagai kriteria mendasar untuk menentukan kelompok
di mana provisi konvensi ini berlaku. Sangatlah penting
untuk mengetahui konvensi ini
berlaku, untuk siapa dan
siapa penerima manfaatnya. Konvensi
ini mengadopsi sebuah pendekatan berdasarkan pada kriteria objektif
dan subjektif.
Kelompok masyarakat
hukum adat tertentu
memenuhi persyaratan dan mengenali serta
menerima seseorang
sebagai bagian dari
kelompok atau masyarakat
mereka. Orang tersebut
mengakui dirinya sendiri
sebagai bagian dari kelompok masyarakat
hukum adat; atau
kelompok tersebut menganggap kelompoknya sebagai masyarakat
hukum adat di bawah
konvensi ini. Konvensi
No. 169
adalah instrumen internasional
pertama yang mengakui
pengakuan diri sebagai
masyarakat hukum adat sebagai sebuah
kriteria mendasar.enentukan Nasib Sendiri
Penggunaan istilah “masyarakat” dalam
konvensi ini tidak boleh dianggap sebagai
berdampak apapun sehubungan dengan
hak-hak yang mungkin tercantum dalam syarat di bawah hukum internasional. Mandat ILO
adalah hak sosial
dan ekonomi. Penerjemahan konsep politik dari
hak untuk menentukan nasib sendiri
berada di luar kemampuan ILO. Namun, Konvensi No. 169 tidak memberikan batasan apapun pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
Konvensi ini sesuai dengan perangkat internasional apapun yang
akan dibuat di masa mendatang, yang mungkin
menentukan atau mendefinisikan hak tersebut.
Yang diberikan oleh Konvensi No. 169
adalah hak untuk mengelola sendiri, dan
hak masyarakat hukum
adat untuk menentukan prioritas mereka
sendiri. Konvensi No.
169 menggunakan istilah “masyarakat”. Saat perundingan menuju pengadopsian Konvensi No. 169, diputuskan bahwa
istilah ini merupakan satu-satunya cara
yang dapat digunakan untuk menjabarkan
masyarakat hukum adat.
“...sepertinya terdapat kesepakatan umum bahwa istilah
“masyarakat” dapat mencerminkan identitas tersendiri secara lebih baik, yang harusnya menjadi tujuan dari sebuah konvensi yang direvisi
guna mengakui
kelompok
populasi tersebut..” 3
3 Konferensi Perburuhan
Internasional, Sesi ke-75. Revisi
sebagian dari Konvensi mengenai Penduduk Asli dan Masyarakat Adat, 1957 (No. 107). Laporan VI(2), Jenewa 1988, hal. 12-14
Mengakui aspirasi dari masyarakat untuk menggunakan kekuasaan atas lembaga,
cara hidup dan pembangunan ekonomi
mereka sendiri, dan untuk memelihara
dan mengembangkan identitas, bahasa,
agama mereka dalam kerangka kerjadi
negara tempat mereka tinggal. Masyarakat hukum adat harus memiliki
kesempatan dan kemungkinan yang sebesar- besarnya
untuk mengelola dan mengontrol kehidupan mereka serta untuk menentukan
masa depan mereka sendiri. Satu tujuan
penting dari Konvensi No.
169 adalah untuk membangun kondisi di
mana masyarakat terkait
dapat mengelola sendiri. Konvensi ini menyediakan cara
di mana masyarakat hukum
adat dapat mengambil kendali atas hidup dan nasib
mereka sendiri. Demikian
juga pengakuan lebih besar atas kebudayaan, tradisi dan
adat mereka yang berbeda,
serta kontrol atas pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri.
Di Panama, suku
bangsa Kuna sudah
mencapai tingkat tertentu
terkait dengan hak
untuk mengelola diri sendiri di Comarca (sub divisi administrasi) San Blas, melalui UU No. 16 tahun 1953.
Namun setelah 1995 perkembangan riil dari semua pihakan penduduk asli
yang mandiri benar-benar
baru dilakukan. Hal ini
difasilitasi oleh pengumuman atas serangkaian hukum
untuk pembentukan comarca penduduk asli dan
rancangan undang-undang yang mengakui
dan menyatukan bentuk
semua pihakan asli.
Dan karenanya memberikan hak untuk
meggunakan kekuasaan atas
persoalan-persoalan yang
sangat penting seperti
yang berkaitan
dengan sumber daya alam.
Salah satu
dari bentuk hak
untuk mengelola sendiri bagi penduduk asli yang paling maju
adalah Greenland Home Rule, didirikan tahun
1979 setelah disahkannya
Home Rule Act (UU Aturan Rumah
Tangga) pada tahun
1978. Greenlandic Inuit menjadi bangsa
Inuit pertama yang mencapai
tahapan semua pihakan sendiri. “Sementara Greenland
tetap menjadi bagian
dari Kerajaan Denmark,
pejabat Greenland Home
Rule telah memiliki kontrol
dan tanggung jawab atas sejumlah
lembaga publik, dan
telah menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk membangun
negara dalam hal
kondisi sosial-ekonomi dan sumber
daya yang tersedia.”4
Di wilayah barat Kanada, RUU C-132
disahkan pada bulan Juni 1993,
dengan mendirikan sebuah wilayah
yang dikenal sebagai Nunavut.
Undang-undang ini
diberlakukan sejak 1 April 1999.
Di Nunavut, mayoritas
Inuit (sekitar 90%) menggunakan wewenang demokrasi.
Kesepakatan mengenai rancangan Semua pihakan Nunavut telah
dicapai, di mana setidaknya terdapat
50% pekerja Inuit di semua level selama
periode awal.5
4 Kelompok Hak Minoritas (Minority Rights Group): Polar
Peoples: Self-determination and Development.
London. 1994, hal. 1-7.
5 Buku Tahunan IWGIA: The Indigenous World 1997-98. Copenhagen,
1998, hal.
25. Lihat juga: Minority Rights Group. Polar
Peoples : Self-determination and
development. London, 1994, hal. 123.
Tanggung Jawab
Semua pihak harus bertanggung-
jawab untuk mengembangkan, dengan
mengikutsertakan masyarakat
terkait, tindakan terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat
tersebut dan untuk menjamin rasa hormat terhadap integritas mereka. Semua pihak memiliki
tugas untuk melindungi dan mendorong hak-hak
masyarakat hukum adat
di negaranya. Semua pihak juga memiliki tanggung jawab mendasar untuk memastikan
bahwa konvensi tersebut diterapkan secara penuh.
Untuk membantu semua
pihak melakukan hal ini, agensi-agensi
khusus dapat dibentuk
sebagai titik fokus
untuk isu-isu masyarakat hukum adat. Penting juga untuk menyediakan
sumber daya yang
diperlukan kepada agensi-agensi
tersebut sehingga memungkinkan mereka untuk
bekerja secara efektif. Di beberapa negara,
sejumlah besar badan
dan institusi semua pihakan terlibat dalam
kerja dengan masyarakat
hukum adat. Hal
ini memang dapat mengarah kepada kebingungan
dan duplikasi.
Untuk menghindari terjadinya kebingungan, badan-badan tersebut harus berkerja sama
satu sama lain secara terkoordinasi. Sebuah kantor
semua pihakan, yang memiliki garis besar semua proyek
dan program menyangkut
masyarakat hukum adat,
seringkali menjadi cara
terbaik untuk memastikan aktivitas yang terkoordinasi.
Komite
Lintas Kementrian
untuk Pembangunan Masyarakat di Dataran Tinggi-Inter-Ministerial
Committee for Highland Peoples’ Development (IMC) dibentuk oleh Semua
pihak Kamboja
pada 1994 untuk
melakukan koordinasi atas
aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk pembangunan masyarakat di
dataran tinggi. Mandat IMC adalah untuk
menyusun panduan kebijakan, mengusulkan proyek-proyek pembangunan,
untuk berkomunikasi dengan Council
for Development (Dewan Pembangunan)
dan untuk mengajukan rekomendasi ke
semua pihak .6
DI Vietnam, Committee for Ethnic Minorities in
Mountainous Areas (CEMMA) bertanggung
jawab untuk melakukan
koordinasi atas kerja
dari agensi yang berbeda-beda, yang terlibat
dalam upaya pembangunan masyarakat di
dataran tinggi. Komite
itu juga bertindak
sebagai badan penasihat semua pihak. Tugasnya meliputi
penelitian, bantuan hukum,
penerapan, evaluasi kebijakan dan
program 7. Program ILO untuk
mendorong Kebijakan ILO mengenai Masyarakat Hukum
Adat, bekerja dengan badan-badan ini guna meningkatkan
keadaan masyarakat hukum adat.
6 Inter-Ministerial Committee
for Highland Peoples’ Development di
Timur Laut Kamboja.
Laporan Lokakarya Regional tentang “Country Comparisons on Highland Peoples’ Development Issues”, April 8-10,
1997. Ta Prohm Environment Ltd. hal.10; Lembaga Penelitian Sosial Universitas Chiang Mai: Summary Report of Training Workshop for the Inter-Ministerial Committee for
Highland Peoples’ Development, Kamboja. 1996, hal.1.
7 Lembar
negara resmi No. 29
(20-10-1998), hal.10.
Ada badan-badan yang serupa
di negara-negara lain yang diberikan tanggung jawab
untuk menangani persoalan masyarakat hukum
adat. Contohnya Yayasan
Indian Nasional- National Indian Foundation (FUNAI) di Brasil, Direktorat Jenderal untuk Urusan
Penduduk Asli-Directorate General for
Indigenous Affairs di Kolombia,
dan Lembaga Indian
Nasional-National In-dian Institute di Meksiko.
Otoritas semua pihakan
yang bertanggung jawab atas
hal-hal yang tercakup dalam konvensi
ini akan memastikan keberadaan badan-badan
atau mekanisme lain yang sesuai
untuk menjalankan program yang menyangkut penduduk terkait,
dan akan memastikan bahwa mereka memiliki
prasarana yang diperlukan untuk pemenuhan yang tepat dari fungsi- fungsi yang ditugaskan pada mereka.
Kendati
demikian, semua pihak dan agensi
tidak dapat memutuskan dan
mengawasi tindakan dan program sendirian.
Mereka harus berkonsultasi dan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat
hukum adat.
Pengalihan tanggung jawab:
Konvensi ini menjelaskan
tiga hal di mana masyarakat hukum adat harus memiliki
hak untuk mengelola dan mengawasi secara penuh:
• Program pelatihan kejuruan khusus (Pasal 22.3)
• Layanan kesehatan
berbasis komunitas (Pasal 25.1)
• Program pendidikan (Pasal
27.2)
Pengalihan tanggung jawab harus
dilakukan hanya apabila masyarakat hukum
adat memutuskan bahwa saat itu
adalah saat yang tepat bagi
mereka untuk mengambil hak mengelola dan
mengawasi persoalan-persoalan ini.
Namun, ketika hal ini telah
dilakukan, semua pihak tidak dapat semata-mata lepas tangan dan menghindari
tanggung jawab lebih
lanjut. Semua pihak harus terus meninjau aktivitas yang dilakukan guna memastikan bahwa aktivitas
itu berjalan dengan lancar
dan didanai dengan tepat.
Badan-badan semua pihak dan pegawai
semua pihak sipil yang bekerja dengan
masyarakat hukum adat
harus mengetahui ketentuan-ketentuan Konvensi No.
169 guna memastikan penerapan yang layak
di bidang-bidang yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini sangat penting
ketika negara terkait telah meratifikasi
konvensi.
Hak-hak Mendasar
1.
Masyarakat hukum adat berhak
menikmati semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar tanpa halangan ataupun diskriminasi.
2.
Ketentuan
konvensi ini akan diterapkan tanpa diskriminasi terhadap anggota laki-laki atau perempuan dalam kelompok penduduk asli
atau masyarakat tersebut.
3.
Tidak
ada satupun bentuk kekerasan atau paksaan
yang bertentangan dengan HAM dan kebebasan mendasar dari penduduk terkait,
termasuk hak- hak yang terkandung dalam
konvensi ini.
Masyarakat hukum adat
menikmati semua hak
asasi manusia dan kebebasan mendasar,
seperti halnya orang
lain. Hal ini meliputi hak-hak
dasar seperti hak
untuk kebebasan dan persamaan, juga hak
atas kesehatan, pendidikan, dan
lain-lain. Hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Tindakan-tindakan Khusus
Kebudayaan
dan cara hidup masyarakat hukum adat seringkali
berbeda dari penduduk lain
di negara tersebut. Dan mereka mungkin mengalami diskriminasi karena
memiliki kebudayaan, tradisi
dan nilai yang berbeda. Sebagai hasilnya, banyak
masyarakat hukum adat mengalami kepunahan budaya. Tindakan-tindakan khusus akan diambil untuk
menjaga keselamatan individu, institusi, properti, pekerja, budaya dan lingkungan masyarakat hukum adat.
Tindakan-tindakan
khusus tersebut tidak akan bertentangan
dengan keinginan dari masyarakat hukum adat yang diekspresikan secara bebas. Konvensi No.
169 diadopsi guna menanggapi
kondisi masyarakat hukum
adat yang rentan. Konvensi ini memerlukan tindakan-tindakan
khusus yang diambil
untuk melindungi institusi,
properti, kebudayaan dan lingkungan
masyarakat hukum adat.
Tujuan dari tindakan-tindakan khusus ini adalah untuk meningkatkan
kondisi hidup masyarakat
hukum adat ke tingkat yang sama
dengan penduduk lainnya di negara tersebut,
dan untuk melindungi kebudayaan
dan tradisi mereka. Hal ini akan dilakukan dengan menghormati identitas sosial dan budaya, adat, tradisi dan institusi mereka, dan sesuai
dengan keinginan mereka
sendiri.
Konvensi ini mengedepankan hak-hak masyarakat hukum adat untuk dimintai
pendapatnya.
Hak masyarakat
hukum adat ini
harus diperhatikan di saat tindakan-tindakan apapun yang akan berdampak
langsung pada masyarakat
hukum adat sedang
dalam penelitian, perencanaan atau penerapan.
Tindakan-tindakan tersebut meliputi:
• Perubahan undang-undang nasional.
• Hukum agraria
baru.
• Peraturan hukum mengenai hak
atas tanah atau
prosedur untuk memperoleh hak atas tanah.
• Program dan
layanan pendidikan nasional
atau kesehatan.
• Kebijakan publik
apapun yang memengaruhi
masyarakat hukum
adat.
Oleh karenanya, sebelum
mengadopsi hukum atau ketentuan administrasi apapun
yang dapat memengaruhi
mereka secara langsung, semua pihak harus berdiskusi
secara terbuka, jujur dan bermakna dengan masyarakat
yang terlibat. Konsultasi yang dilakukan dalam rangka penerapan Konvensi
ini akan dijalankan, dengan itikad baik dan dalam bentuk
yang sesuai dengan kondisi, dengan
tujuan meraih kesepakatan atau persetujuan terhadap langkah-langkah yang
digagaskan.
Konvensi ini memberikan kerangka untuk diskusi dan negosiasi antara semua pihak
dan masyarakat hukum
adat. Tujuan dari konsultasi ini adalah
untuk mencapai kesepakatan (mufakat) atau persetujuan penuh atau persetujuan resmi.
Konvensi ini tidak memberikan hak veto pada masyarakat hukum
adat.
Konvensi menetapkan bahwa langkah-langkah yang diambil tidak boleh bertentangan
dengan keinginan masyarakat hukum adat boleh
diambil, namun ini tidak
berarti bahwa apabila mereka
tidak setuju maka
tidak ada satupun
yang dapat
diperbuat.
Pada tahun 1977, lima
komunitas Cree di Manitoba, Kanada, dihadapkan dengan kerusakan
ekologis dan hilangnya
tanah karena pembangunan proyek raksasa
pembangkit listrik tenaga. Mereka tidak dapat menghentikan proyek tersebut, namun menegosiasikan
sebuah paket kompensasi
dengan semua pihak federal yang dikenal sebagai Northern Flood
Agree-ment.
Perjanjian tersebut
mencakup ketentuan mengenai
DAMPAK LANGSUNG PADA MASYARAKAT HUKUM
ADAT
kompensasi
tanah akibat banjir,
pengelolaan satwa
liar dibawah tanggung
jawab Cree, seperti
halnya kontrol dan jaminan
air yang dapat diminum.8
Yang penting untuk diingat
adalah bahwa konsultasi
harus dijalankan:
a) Dengan
itikad baik, rasa hormat untuk kepentingan, nilai dan kebutuhan orang lain. Proses konsultasi harus spefisik tergantung kondisi dan
karakteristik khusus
kelompok atau komunitas terkait.
Oleh karenanya, sebuah pertemuan dengan para tetua
desa sebaiknya dilaksanakan dengan bahasa
yang mereka kenali, misalnya bahasa
nasional, Inggris,
Spanyol, dll. dan tanpa adanya
penerjemahan, maka
tidak ada konsultasi yang sebenarnya.
b) Berkenaan
dengan prinsip keterwakilan yang merupakan sebuah
‘komponen konsultasi yang
amat penting. […] dalam banyak
kondisi mungkin sulit untuk menentukan siapa yang
mewakili komunitas yang
terlibat. Namun, bila sebuah
konsultasi yang tepat
tidak dibangun dengan lembaga atau organisasi masyarakat
hukum adat yang benar-benar mewakili komunitas yang terkena
dampak, konsultasi yang dilakukan tersebut
tidak akan mematuhi
persyaratan- persyaratan Konvensi
“.9
8 Barsh, R. L.
& Bastien, K. Effective Negotiation by Indigenous Peoples. An Action
Guide with Special Reference to North America. ILO, Jenewa. 1997, hal.110.
9 Representation alleging non-observance by Ecuador of the Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 (No. 169), dibuat di bawah pasal 24
dari Konstitusi ILO oleh onfederación Ecuatoriana de Organizaciones Sindicales Libres (CEOSL).
www.ilo.org/ilolex.
Konvensi
ini menyediakan
peraturan-peraturan untuk diikuti dalam melakukan
konsultasi:
Masyarakat yang terkait
Mereka yang
akan menerima dampak dari langkah-langkah
spesifik. Misalnya, ketika sebuah
jalan raya yang
akan melintasi desa-desa penduduk asli
sedang direncanakan
untuk dibangun, maka desa-desa
tersebut memiliki hak
untuk diminta pendapatnya dan
diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat mereka terhadap skema tersebut
kepada pihak yang berwenang.
Mereka mungkin
memiliki usulan alternatif.
Cara konsultasi dengan masyarakat yang
terkait tergantung pada kondisi.
Agar konsultasi menjadi ‘layak’, maka
konsultasi tersebut harus memenuhi persyaratan
dari tiap situasi
spesifik, dan haruslah
menjadi bermakna, tulus dan transparan.
Misalnya, dalam kasus jalan raya yang
diusulkan, tidaklah cukup
untuk berbicara dengan
beberapa penduduk
desa saja. Sebuah pertemuan
tertutup dengan beberapa orang terpilih
yang tidak mewakili pandangan mayoritas bukanlah
konsultasi yang ‘sebenarnya’.
Hal ini dapat meliputi lembaga tradisional, misalnya dewan tetua, dewan desa,
serta struktur modern
seperti dewan perwakilan masyarakat hukum
adat atau pemimpin-pemimpin
yang dipilih oleh masyarakat setempat yang diakui
sebagai perwakilan yang sebenarnya dari komunitas
atau masyarakat yang
terkait. Hal ini akan berbeda
dalam setiap kasus.
Konvensi No
169 memberikan hak
kepada penduduk asli dan masyarakat adat untuk
ditanyakan pendapatnya, dan untuk menyatakan
pendapatnya. Konvensi ini memberikan
peluang untuk
berpartisipasi dalam proses
pembuatan keputusan dan untuk mempengaruhi
hasil proses pembuatan keputusan tersebut. Konvensi
ini memberikan ruang
bagi masyarakat hukum adat
untuk bernegosiasi guna melindungi hak mereka.
Masyarakat terkait memiliki hak untuk menentukan
prioritasnya sendiri dalam proses
pembangunan. Sebab pembangunan tersebut
memengaruhi kehidupan, kepercayaan, kelembagaan
dan kesejahteraan spiritual
serta tanah yang mereka diami ataupun pergunakan
dan hak untuk menerapkan kontrol
sejauh mungkin atas perkembangan ekonomi, sosial dan budaya
mereka sendiri. Selain
itu, mereka juga berpartisipasi dalam penyusunan,
penerapan dan evaluasi rencana dan program
untuk pembangunan nasional dan daerah yang dapat memengaruhi
mereka secara langsung.
Partisipasi
adalah prinsip mendasar lainnya
dari konvensi ini.
Guna mengendalikan
kecepatan dan tingkat
pembangunan mereka, masyarakat
hukum adat harus
terlibat dalam semua proses. Hanya dengan berpartisipasi sejak awal sampai
akhir dalam prakarsa
apapun–baik itu pembuatan kebijakan, atau penerapan
sebuah proyek atau program–maka
mereka dapat bertanggung
jawab atasnya
dan mengambil peran aktif dalam
membangun kemandirian sosial dan
ekonomi mereka sendiri.
Konvensi ini menekankan kebutuhan atas “kepemilikan”
dari setiap perjanjian oleh semua pihaK-pihak yang berkepentingan.
Hal ini untuk menjamin bahwa manfaat
dari perjanjian ini sampai
ke masyarakat yang terkait.
Pada 1989,
World Wide Fund
for Nature memulai
sebuah proyek etnobotani
di daerah Manongarivo, di bagian
barat laut Madagaskar. Sebuah
sistem perawatan kesehatan terpadu
dikembangkan dengan konsultasi dan
partisipasi dari komunitas
setempat. Mereka
memadukan obat-obatan tradisional
berdasarkan tumbuhan obat-obatan
tradisional dengan
obat-obatan modern. Dalam
proyek ini, tabib, dokter medis dan dukun bekerja bersama untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan masyrakat.10
Pelestarian keragaman biokultural ini digabungkan
dengan sebuah program
pembangunan dengan pendekatan yang kreatif.
10 Quanash, N. “Biocultural Diversity and Integrated Health
Care in Madagascar“.
In : Nature & Resources, Vol.30,
No.1. Carnforth, UK; Pearl River, USA. 1994, hal. 18.
Dalam menerapkan ketetapan konvensi ini, semua pihak akan: (B) Membangun cara
di mana masyarakat tersebut dapat bebas berpartisipasi,
setidaknya sampai ke tingkat
yang sama dengan bagian penduduk lainnya, di semua tingkatan pengambilan keputusan di lembaga pemilihan dan badan adminsitrasi serta badan lainnya yang bertanggung jawab untuk kebijakan
dan program yang terkait dengan
masyarakat hukum adat tersebut. (C) Menentukan cara untuk pengembangan sepenuhnya lembaga
dan prakarsa masyarakat ini, dan dalam kasus-kasus yang layak menyediakan
sumber daya yang dibutuhkan untuk
tujuan ini.
Elemen-elemen partisipasi:
• Masyarakat hukum
adat memiliki hak untuk
terlibat dalam sebuah
proyek, kebijakan atau
program pada setiap
langkah yang dilakukan.
• Partisipasi juga diperbolehkan selama proses perancangan
kebijakan, program ataupun
proyek sampai ke penerapan dan evaluasinya.
• Mereka berpartisipasi
di semua tingkatan pembuatan keputusan– lokal,
nasional dan regional. Hal
ini berarti badan-badan terpilih
secara politik, begitu
pula administrasi nasional
dan lokal.
• Partisipasi dilakukan
melalui badan-badan tradisional
atau perwakilan dari masyarakat
hukum adat itu sendiri dan tidak melalui struktur
yang diberlakukan oleh
pihak di luar komunitas.
Kecuali masyarakat hukum
adat tersebut telah menerimanya.
Partisipasi masyarakat
Di Kamboja, sebuah
proses perencanaan lokal yang
dimiiliki oleh masyarakat diprakarsai dengan
dukungan dari Proyek Rehabilitasi dan
Regenerasi Daerah Kamboja-Cambodia Area Rehabilitation and Regeneration Project (CARERE, UNDP) dan Komite Pedesaan Provinsi Ratanakiri (Ratanakiri Provincial Rural Committee). Proyek
ini dilaksanakan di 51
desa oleh para penduduk desa itu sendiri. Komite pembangunan
desa bertanggung jawab atas persiapan dari
rencana pembangunan. Melalui partisipasi
lokal, masyarakat mendapat
kan pengalaman dan
keperc ayaan diri. Hal
ini menjamin kelangsungan dan
keberlanjutan aktivitias pembangunan (ILO/UNDP: Laporan Lokakarya Regional: Informa- tion Exchange on
Development Experiences with Highland
Peoples, Chiang Mai, Thailand, 17-21 November.
1997. 1999, hal.12). Contoh-contoh berikut
ini menitikberatkan partisipasi penduduk asli dalam penyusunan kebijakan semua pihak.
Proyek untuk Mendorong Kebijakan ILO mengenai
Masyarakat Hukum Adat dan Departemen untuk Pengembangan Konstitusional Semua pihak
Afrika Selatan menyelenggarakan sebuah konferensi mengenai Perubahan Konstitusi Komunitas Masyarakat Adat yang
Rentan-Constitutional Accommodation of
Vulnerable Indigenous
Communities di Afrika Selatan
selama Mei 1998. Hasil
yang penting dari
konferensi ini adalah sebuah resolusi dan rencana aksi mengenai
penduduk asli dan hak mereka sebagai warga
negara yang kedudukannya sama
sesuai dengan Konstitusi Afrika Selatan. Forum Khoi
San dibentuk Mei 1999. Forum ini terdiri dari 20 anggota: tiga San, lima Griqua, empat Koi, empat
Korona dan empat anggota Dewan
Pengembangan Warisan Kebudayaan Cape (Cape
Cultural Heritage Development Council). Salah satu
tugasnya adalah untuk mengaji
ulang isi Laporan Status Quo Semua pihak mengenai peran
para pemimpin adat dalam semua pihak daerah,
dalam memberikan nasihat tentang persoalan penduduk asli.
Sebuah lokakarya mengenai metodologi partisipatif, diselenggarakan di
Bots wana pada
1996. Fo rum ini mengikutsertakan penduduk asli
masyarakat Basarwa sebagai peserta, sekaligus
perwakilan dari semua pihak,
UNICEF, dan pelbagai LSM.
Tujuan dari lokakarya
ini adalah untuk menghalau pendapat
bahwa penelitian hanya
dapat dilakukan oleh “para
ahli” dan untuk menunjukkan bagaimana partisipasi dapat memberdayakan masyarakat. Peserta
dari masyarakat Basarwa (San) dalam lokakarya tersebut
membuat penghubung antara pendekatan partisipatif dan cara penduduk
asli dalam mengidentifikasikan persoalan sebagai sebuah proses bersama. Lokakarya
ini membantu mendorong lebih
banyak pemahaman dan penerimaan terhadap
perbedaan kebudayaan, membantu peserta
dalam menghadapi stereotipe mereka
terhadap budaya yang berbeda.
Di Ekuador,
pada 19 Desember
2002, pemerinta h mengesahkan
peraturan untuk konsultasi
dan partisipasi dalam
melaksanakan aktivitas hidrokarbon.
Menurut Pasal 1 dari peraturan ini, tujuannya adalah
untuk membentuk sebuah prosedur
yang seragam dalam
sektor hidrokarbon. Selain itu juga
agar penerapan hak-hak komunitas
penduduk asli dijamin oleh undang-udang, termasuk konsultasi
yang berkaitan dengan
pencegahan, mitigasi, kontrol
dan rehabilitasi yang
terkait dengan dampak sosial dan
lingkungan yang negatif.
Pembangunan
Tindakan semua pihak untuk menerapkan konvensi
ini meliputi : (C) Membantu anggota masyarakat yang terkait untuk menghapuskan
kesenjangan sosial dan ekonomi yang mungkin terdapat antara penduduk asli
dan anggota masyarakat lainnya di negara tersebut, dengan cara yang sesuai aspirasi dan cara hidup mereka.
Peningkatan kondisi hidup dan kondisi
kerja serta tingkat kesehatan dan
pendidikan masyarakat terkait, dengan partisipasi dan kerja sama mereka,
akan menjadi sebuah prioritas dalam perencanaan
semua pembangunan ekonomi di daerah yang mereka huni. Proyek-proyek khusus untuk pembangunan daerah yang bersangkutan juga
harus dirancang untuk mendorong terjadinya
peningkatan tersebut. Proyek-proyek pembangunan yang jumlahnya
semakin meningkat, dilaksanakan di lahan-lahan yang secara
turun temurun dimiliki
oleh masyarakat hukum adat.
Dengan semakin
meningkat nya jumlah penduduk dan
permintaan akan sumber
daya alam dan
mineral, lahan milik masyarakat hukum
adat, yang seringkali
cukup kaya dalam hal sumber daya
alam, menjadi semakin
menarik bagi para “pengembang”. Hal ini dapat
membawa dampak negatif
yang serius,
baik untuk masyarakat hukum
adat, dan tanah mereka.
Contoh
berikut ini menggambarkan
hal di atas:
Sejak awal tahun 1990-an, perusahaan penebangan kayu telah meningkatkan
minat di daerah
Afrika Tengah. Di Kamerun, rencana pembangunan lima
tahun keenam (1986-1991)
mendorong perluasan penebangan
kayu komersial. Hal ini mengarah
kepada aktivitas penebangan kayu oleh perusahaan Eropa,
Afrika, dan Asia. Hingga akhirnya
berdampak pada perpindahan masyarakat hukum
adat dan kerusakan hutan,
yang merupakan dasar dari penghidupan tradisional dan
praktik spiri- tual mereka.
“Lahan tradisional
Suku Baka dan Bakola dapat dirampas
tanpa kompensasi dan
tanpa konsultasi atas
rencana terhadap lahan hutan tempat
mereka bergantung untuk penghidupannya.” 11
Sejak pecahnya Uni
Soviet, eksplorasi dan
eksploitasi gas dan minyak telah
meningkat di Siberia bagian
barat. Hal ini telah menyebabkan
hilangnya 11 juta
hektare padang rumput habi-
tat rusa kutub,
20 ribu hektare
lahan pengembangbiakan ikan dan
lebih dari 100 sungai.
Hal ini telah mengarah pada penghancuran
mata pencahariaan, pengangguran, kemiskinan
dan marginalisasi sosial. Perusahaan
besar mengambil keputusan tanpa berkonsultasi
dengan masyarakat Nenetz,
Khanty atau Mansi yang tinggal
di daerah tersebut.12
11 United Nations. Discrimination Against
Indigenous Peoples. Transnational
Investments and Operations on the Lands of Indigenous Peoples. Laporan Centre on Transnational Corporations diajukan sesuai dengan resolusi Sub-Komisi 1990/26.E/CN.4/Sub.2/1994/
40. Jenewa, 1994,hal. 15.
12 E/CN.4/Sub.2/1994/40. 1994,
p. 21. Lihat juga L’auravelt’ an IIC, Bulletin No. 1, 1996
Tentu
saja, seseorang tidak dapat menghentikan
pembangunan, terutama dalam
iklim globalisasi dewasa ini. Pertanyaan
yang kemudian tertinggal adalah: ketika pembangunan dilaksanakan,
bagaimana pembangunan tersebut seharusnya terjadi?
Dalam upaya untuk mendorong lebih banyak
pendekatan partisipatif untuk pembangunan,
konvensi ini memberikan panduan
untuk proyek pembangunan:
• Konsultasi:
Masyarakat hukum
adat harus ditanya pendapatnya mengenai
proyek dan program
pembangunan.
• Partisipasi:
Mereka harus berpartisipasi
dalam perancangan, penerapan
dan evaluasi dari
proyek dan program tersebut.
• Identifikasi kebutuhan:
Tradisi, nilai budaya
dan kebutuhan dari
masyarakat hukum
adat harus dipertimbangkan
dalam perumusan proyek.
• Analisa
dampak:
Sebelum aktivitas
pembangunan apapun dilakukan, dampak
dari aktivitas tersebut harus dilihat.
Kajian harus dilakukan
untuk menilai dampak
sosial, budaya, spiritual
dan lingkungan yang mungkin
terjadi.
• Manfaat:
Semua proyek dan
program pembangunan haruslah memperbaiki kondisi sosial dan
ekonomi dari masyarakat hukum
adat. Proyek dan
program tersebut tidak boleh
membahayakan kesejahteraan mereka.
Masyarakat yang terkait memiliki hak untuk menentukan prioritas mereka
sendiri dalam proses pembangunan. Karena hal itu memengaruhi
kehidupan, kepercayaan, kelembagaan dan
kesejahteraan spiritual serta lahan yang mereka diami atau pergunakan,
dan memiliki kontrol sampai ke
tingkat yang memungkinkan atas pembangunan ekonomi,
sosial dan budayanya sendiri. Selain itu, mereka berhak berpartisipasi
dalam penyusunan, penerapan dan evaluasi dari perencanaan
dan program pembangunan nasional
dan daerah yang dapat berdampak langsung
pada mereka.
Semua pihak wajib memastikan
kajian yang dilakukan, bekerja sama
dengan masyarakat terkait, guna menilai dampak sosial, spiritual, dan lingkungan
dari aktivitas pembangunan yang direncanakan terhadap masyarakat
tersebut. Hasil kajian ini akan dipertimbangkan
sebagai kriteria mendasar untuk penerapan aktivitas ini.
Kajian
penilaian dampak di
awal adalah perangkat yang bermanfaat.
Temuan dari kajian ini dapat memberikan kontribusi terhadap
hasil positif dari proyek
pembangunan. Di
daerah Vale
do Ribeira di Brasil, empat proyek
pembangkit listrik tenaga air
sedang direncanakan dan berdampak pada
daerah
Guarani. Kajian mengenai dampak dari
proyek ini terhadap
masyarakat hukum adat,
serta kajian analisis dampak lingkungan, haruslah diselesaikan
sebelum mereka mulai.
Bra- zilian Institute of the Environment (IBAMA) bertanggung jawab untuk mengesahkan hasil kajian tersebut. Karena
tindakan hukum terhadap IBAMA mengenai ketidakwajaran
dalam pemberian izin untuk proyek
pembangkit listrik tenaga air Tijuco,
proyek tersebut dihentikan
untuk sementara waktu.13
Selain itu, semua pihak
pun menyusun sebuah
rencana 10 tahun untuk
mengawasi semua proyek pembangunan untuk
pembangkit listrik tenaga air di lahan-lahan milik penduduk asli
di Brazil, serta mengevaluasi dampak
yang mungkin terjadi
dari pembangunan ini terhadap
populasi penduduk asli.
14
Konvensi ini menyatakan dengan jelas bahwa
masyarakat hukum adat memiliki hak-hak yang terkait dengan proses pembangunan, yakni:
• Hak
atas kajian analisis dampak yang
harus dilakukan dengan
layak, sebelum pembangunan
apapun yang direncanakan dapat dillaksanakan.
• Hak
untuk memutuskan
jenis pembangunan, cara dan kecepatan pembangunan
tersebut dilaksanakan.
• Hak
untuk berpartisipasi
di semua langkah-langkah perencanaan dan program terkait untuk pembangunan di tingkat lokal, nasional
dan regional.
• Hak
untuk mengontrol
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka
sendiri , termasuk untuk mengembangkan
lembaga dan prakarsa mereka.
Semua pihak harus
memfasilitasi hal ini dengan
memberikan sumber daya yang diperlukan.
13 ILO. Laporan
Committee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations. Jenewa, 1996,
hal. 268; dan ibid., 1998, hal.
318.
14 ILO. Laporan
Committee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations, Jenewa 1999,
hal. 440.
Pemindahan
Pemindahan adalah sebuah
persoalan yang sangat
penting bagi masyarakat hukum adat,
yang seringkali berkeberatan
terhadap pemindahan, yang kerap mengatasnamakan “kemajuan”. Hal
ini sering terjadi
dalam kasus pertambangan, pembangunan jalan dan bendungan pembangkit listrik tenaga air. Bendungan Sardar Sarovar
dan proyek pembangkit listrik
di India telah menyebabkan perpindahan ribuan
masyarakat adat, tanpa
tindakan-tindakan yang
memadai terkait dengan penyediaan
pemukiman kembali dan
rehabilitasi dari masyarakat ini.
Biaya sosial yang ditimbulkan ini menjadi salah
satu alasan mengapa Bank Dunia menghentikan pendanaan proyek ini.44
Di Chile, Proyek Bendungan Ralco,
proyek pembangkit
listrik tenaga air kedua
dari tujuh proyek
lainnya di Sungai
BiobÃo, disetujui oleh dinas lingkungan Semua
pihak Chile pada Juni 1997. Proyek ini
memengaruhi tujuh
komunitas Pehuenche, dan memaksa
700 orang untuk
pindah dari tanah
leluhur mereka. Ketika proyek
ini selesai, maka akan membanjiri 36.421
meter persegi tanah
pertanian dan hutan. Namun
dampak besar lainnya justru akan menghancurkan kebudayaan masyarakat Pehuenche, dengan
diizinkannya imigrasi besar-besaran
pekerja ke tanah mereka.45
Praktik-praktik pastoralist di Kenya sudah
disalahkan sebagai penyebab degradasi
lingkungan dan pengelolaan
tanah yang buruk, walaupun
buktinya berlawanan dengan hal tersebut. Bias dalam hukum pertanahan
cenderung mengarah pada populasi
statis yang tidak berpindah dan melawan
masyarakat nomadis. Tanah pastoralists umumnya
dilihat sebagai tanah
“kosong” yang menunggu untuk diidiami
atau dibangun. Dalam UU Taman
Nasional 1945 (National
Parks Ordinance of 1945), negara
memperoleh tanah yang sangat
luas untuk mendirikan
taman bermain dan
cagar alam. Sejumlah cagar
alam ini telah mengganggu pola
penggunaan tanah masyarakat
Maasai. Memindahkan mereka ke daerah
yang seringkali
tidak sesuai untuk meneruskan cara
hidup mereka. Seiring dengan meningkatnya populasi pastoralist, tanah yang
tersedia untuk digunakan oleh
mereka menurun secara drastis, sehingga
menyebabkan kemunduran dalam
cara hidup tradisional mereka.46
44 Dari lebih
dari 40 ribu kelurga yang terkena dampak, hanya seperempatnya yang sudah
diberikan tempat tinggal baru selama 1997. Lihat ILO: Report of the Committee of Experts on the Application of
Conventions and Recommendations. Jenewa, 1995,
hal. 289. 1996, hal. 268.
1997, hal. 307.
45 Abyala News, Vol. 10, No.4, 1997, hal.
25-29. Lihat juga situs web: http:// corso.ccsu.ctstateu.edu/archives/taino/0511.html. Indigenous
People Face Destruction of Land
and Ressetlement. 25 Juni 1997.
46 Abdi Umar, 2000. “Herding into the New Millenium: Continuity
and Change in the Pastoral Areas of Kenya”. In: Thomas, V. (ed.). Traditional Occupations
of Indigenous and Tribal Peoples:
Emerging Trends, Proyek untuk Mendorong Kebijakan ILO mengenai Masyarakat Hukum Adat, Jenewa 2000.
Pada beberapa situasi, pemindahan adalah bagian
dari kebijakan resmi.
Misalnya kawasan Chittagong Hill Tracts di
Bangladesh, Timor Timur, Laos
atau Vietnam. Di banyak daerah
di Laos, masyarakat suku perbukitan
dari daerah pegunungan
dipindahkan dan diberikan pemukiman baru di dataran rendah tanpa dukungan atau sarana
yang memadai untuk melakukan transisi
tersebut. Pemukiman kembali tersebut
telah membawa banyak masalah dalam
hal kesehatan dan keamanan
makanan. Mereka kehilangan sumber daya makanan
dan obat-obatan tradisional serta kekurangan
keahlian yang dibutuhkan
untuk budidaya pertanian di dataran rendah.47
Dalam beberapa kasus, masyarakat yang sudah
bermukim di tempat baru,
dan tidak puas dengan
lokasi pemukiman mereka, memulai
negosiasi untuk relokasi. Hal ini dimungkinkan karena mereka
telah dipindahkan ke
lokasi yang terpencil, dengan
tanah atau infrastruktur yang
tidak bagus. Dalam kasus-kasus
seperti ini, keinginan untuk
relokasi dapat diekspresikan
kepada pejabat kabupaten atau
provinsi yang berwenang. Namun seringkali negosiasi ini mengarah
pada ditolaknya
permintaan mereka, karena tidak
memberikan tanggapan atas
tujuan dan perencanaan awal untuk koordinasi
pemukiman kembali tersebut.48
Contoh lainnya
adalah proyek pembangkit listrik
tenaga air Kaptai yang telah mengakibatkan pemindahan 100 ribu
or- ang penduduk asli di kawasan Chittagong
Hill Tracts, Bangladesh antara
1959 dan 1961,
dan membanjiri sekitar seperlima tanah
budidaya mereka.49 Banyak masyarakat hukum
adat yang dipindahkan
karena bendungan tersebut. Mereka dipaksa
untuk pindah lagi
pada 1980-an sebagai buah
dari kebijakan semua pihak, ketika
keluarga bukan penduduk asli dibawa masuk ke kawasan
Chittagong Hill Tracts. Masyarakat
hukum adat kemudian
ditempatkan di beberapa desa kecil di satu daerah.50
47 UNDP. Highland
Peoples Programme. Dokumen
Pengantar RAS/93/103. Jenewa,1995,
hal. 5-12.
48 Yves Goudineau
(ed.). Resettlement and Social Characteristics
of New Villages: Basic Needs
for Resettled Communities in the Lao PDR.
Vol.1., UNESCO/UNDP,
Vientiane, 1997, hal.19.
49 McCully, P.
Silenced Rivers. The Ecology and Politics of
Large
Dams. London, New Jersey,
1996 (Second impression 1998), hal. 71.
50 Roy, C.K. Land
Rights of the Indigenous Peoples of the ittagong Hill Tracts, Bangladesh. Distr. Jumma Peoples Network in Europe (JUPNET), 1996, hal. 59-66.
Sesuai dengan paragraf dari pasal ini, masyarakat yang terkait tidak boleh
dipindahkan dari tanah yang mereka diami saat ini. Jika relokasi penduduk tersebut
dianggap perlu sebagai tindakan yang
bersifat pengecualian, maka perpindahan seperti itu hanya akan dilakukan dengan persetujuan secara sukarela dan berdasarkan informasi
yang jelas dari mereka. Bila persetujuan
mereka tidak diperoleh, maka perpindahan seperti itu
hanya akan terjadi setelah melalui prosedur
yang layak yang ditentukan oleh UU dan
peraturan nasional. Termasuk informasi
umum bila perlu, yang memberikan peluang untuk pewakilan yang efektif
atas masyarakat terkait.
Pemindahan dari wilayah tradisional
memiliki dampak yang cukup berat terhadap cara hidup,
kesejahteraan dan identitas budaya dari banyak
masyarakat hukum adat.
Masyarakat Dineh di Arizona dipindahkan
dari tanah mereka
dan harus bermukim di
daerah yang terkena
polusi bahan radioaktif.
Akibatnya, mereka menghadapi
masalah kesehatan yang
parah dan banyak dari mereka meninggal karena
tidak dapat bertahan hidup jauh dari kampung
halamannya.51
Sebagai sebuah prinsip dasar, Konvensi No. 169 menyatakan bahwa masyarakat hukum
adat tidak boleh dipindahkan dari tanah mereka.
Apabila relokasi harus
dilakukan, relokasi tersebut
hanya boleh dilakukan
sebagai tindakan yang
bersifat pengecualian. Langkah ini hanya
boleh diambil apabila
keadaan tersebut tidak dapat dihindari
lagi. Untuk meningkatkan cara dalam penanganan situasi
seperti itu, Konvensi No. 169 merumuskan
beberapa langkah mendasar:
• Masyarakat terkait
harus diminta persetujuannya
terhadap relokasi
tersebut. Mereka harus meminta persetujuan ini setelah
masyarakat hukum adat tersebut mendapatkan informasi yang
jelas dan tepat mengenai semua fakta
dan angka yang terkait.
Apa yang
dimaksud dengan persetujuan secara sukarela dan berdasarkan informasi
yang jelas?
Hal ini berarti bahwa masyarakat hukum adat memahami sepenuhnya makna
dan konsekuensi dari perpindahan
tersebut. Selain
itu mereka menerima
dan setuju atas pemindahan
tersebut.
51 Johnson, S.
& Budnik, D. Wir werdenüberleben. Gespräche mit indianischen Stammesältesten. München,
1996, hal. 51-56.
Dimungkinkan, masyarakat
tersebut akan mendapatkan hak untuk kembali ke tanah leluhur mereka, begitu alasan-alasan relokasi
tersebut tidak berlaku lagi. Bila kepulangan tersebut
tidak dimungkinkan, seperti yang ditentukan dalam kesepakatan
atau karena tidak adanya kesepakatan
melalui prosedur yang sesuai,
maka masyarakat tersebut akan menerima lahan dengan kualitas dan status hukum yang setidaknya setara dengan lahan
yang mereka huni sebelumnya, yang layak untuk memberi mereka nafkah saat ini dan untuk perkembangan
selanjutnya. Jika masyarakat terkait
lebih menyukai kompensasi dalam bentuk
uang atau jasa, mereka akan diberi kompensasi dengan
jaminan yang layak.
Penduduk
yang direlokasikan seperti itu akan mendapat kompensasi untuk setiap kerugian ataupun dampak yang diakibatkan relokasi tersebut. Apabila
masyarakat hukum adat
tidak setuju, maka konvensi merumuskan
prosedur yang harus
diambil ketika relokasi diperlukan,
yakni:
• Dengar pendapat publik
yang mungkin dilakukan.
Masyarakat hukum
adat memiliki kesempatan
untuk mengekspresikan keprihatinan mereka melalui
sebuah “prosedur yang layak”. Hal
ini dapat berupa dengar pendapat umum
atau investigasi. Tapi mungkin terdapat cara
terbaik lainnya yang
sesuai terhadap solusi tertentu.
• Hak untuk kembali.
Masyarakat hukum adat
memiliki hak untuk
kembali ke tanah mereka
segera setelah alasan yang menyebabkan mereka harus
pergi tidak lagi berlaku. Contohnya,
dalam kasus perang atau bencana
alam, mereka dapat kembali
ke tanah mereka ketika perang
atau bencana tersebut telah berakhir.
• Pemukiman kembali
dan rehabilitasi. Bila masyarakat
hukum adat tidak
dapat kembali ke tanah mereka, misalnya
karena lahan mereka
telah dibanjiri, maka
harus ada sebuah
rencana pemukiman kembali dan rehabilitasi
dari masyarakat yang dipindahkan tersebut.
• Tanah dengan kualitas yang
sama. Ketika masyarakat hukum adat
pindah ke pemukiman baru, mereka harus diberikan
lahan dengan
kualitas yang sama,
dan dengan status kepemilikan
di mata hukum yang
sama (atau lebih baik)
seperti lahan mereka
yang telah
hilang. Oleh
karenanya, bila seorang
memiliki lahan pertanian, maka ia harus
diberikan lahan yang sama jenisnya. Apabila
ia memiliki kepemilikan atas
tanah ini, ia juga
harus memiliki kepemilikan yang
resmi di mata hukum atas
tanah yang diberikan
tersebut sebagai
pengganti. Bila masyarakat hukum
adat menginginkannya,
mereka dapat menerima bentuk
pembayaran lain atas tanah
mereka yang hilang.
• Kompensasi.
Masyarakat hukum adat
memiliki hak untuk
mendapatkan kompensasi penuh
untuk semua kerugian
ataupun dampak yang diakibatkan relokasi. Misalnya kehilangan rumah atau
properti, dampak kesehatan
yang tidak baik karena
perubahan iklim, dll.
Perekonomian tradisional
Perekenomian
tradisional adalah
dasar dari kelangsungan perekonomian masyarakat hukum adat.
Perekonomian tradisional ini
didasarkan pada pengetahuan terperinci mengenai
lingkungan,
yang berasal dari pengalaman dalam merawat
dan menggunakan tanah tradisional
mereka dari generasi
ke generasi. Aktivitas perekenomian tradisional itu
antara lain berburu,
berkumpul, memasang perangkap,
memancing, menggembala, penggarapan lahan sistem
berpindah, bertenun dan memahat. Semua
itu berbasis pada
komunitas. Dalam banyak kasus, aktivitas
ini adalah satu-satunya
sumber mata pencahariaan.
Sistem pertanian bergilir masyarakat
atau yang dikenal dengan istilah “Gotong Royong” masyrakat Kabupaten Ende adalah metode pertanian yang sudah
sangat tua usianya. Di sini, sebidang
tanah tertentu digarap
secara bergilir. Pada waktu yang telah ditentukan, hanya
satu petak lahan
yang digarap, sementara
tanah lainnya dibiarkan
tidak ditanami untuk mendapatkan
kembali kesuburannya. Di tahun
berikutnya, tanah yang paling
lama belum ditanami akan digarap kembali, begitu seterusnya. Tanah itu
ditanami dengan berbagai bibit tanaman pangan, masing-masing dengan masa
panen yang berbeda. Hasilnya adalah
terpenuhinya kebutuhan keluarga selama
satu tahun penuh .
Praktek sistem
tanam bergilir atau perladangan berpindah ini juga digunakan
di beberapa komunitas adat di pulau Flores umumnya. Sistem
tanam ini sering
dikritik dan dihalangi
karena dianggap merusak lingkungan.
Namun, pendukung sistem ini menunjukkan bahwa
sistem pertanian tradisional bersifat berkelanjutan, seperti yang diperlihatkan oleh
fakta bahwa daerah-daerah ini seringkali merupakan satu-satunya
daerah yang tetap subur dan belum
terkikis. 53
53 ILO/UNDP. Regional
Workshop Report: Information Exchange on
Development Experiences
with Highland Peoples, Chiang Mai, Thailand, 17-21 November
1997. 1999, Lampiran 9.
Kerajinan tangan, industri pedesaan yang berbasis masyarakat, ekonomi sub sistem serta kegiatan
tradisional dari penduduk terkait,
seperti berburu, menangkap ikan, menangkap satwa liar maupun
berkumpul, akan dianggap sebagai faktor-faktor penting dalam pelestarian
kebudayaan serta kemandirian
dan perkembangan ekonomi mereka. Semua pihak, dengan partisipasi dari masyarakat
tersebut, jika sesuai
akan memastikan bahwa kegiatan tersebut dapat diperkuat dan
didorong.
Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 23.1
dari konvensi ini, di
Namibia, Project for
the Promotion of ILO Policy
on Indigenous and
Tribal Peoples, ILO Inter-Regional Programme to Support
Self-Reliance of Indigenous and Tribal Peoples Through Co-operatives and Other Self-Help Organisations (INDISCO), Southern
African Development and Consulting (CRIAA) dan
Work- ing Group on Indigenous Minorities in Southern
Africa (WIMSA) telah
berkolaborasi dalam sebuah
proyek dengan bertujuan untuk
pembangunan berbasis komunitas
guna memperkuat dan mendorong
perekonomian tradisional. Proyek Sustainably
Harvested Devil’s Claw Project (SHDCP) menggunakan
pengetahuan dan metode pertanian tradisional untuk menanam
dan memanen tumbuhan Devil’s Claw.
Tujuannya adalah
untuk pengobata n .
Proyek ini juga
memusatkan perhatian pada kesadaran
jender, pelatihan untuk manajemen penghasilan lokal dan pembangunan
kapasitas komunitas yang memungkinkan
pengelolaan lokal dari Proyek SHDCP. Hal ini sejalan dengan ketentuan Konvensi
No. 169 yang menekankan pada pentingnya kemandirian ekonomi masyarakat hukum
adat, dengan mempertimbangkan
teknologi tradisional
dan karakteristik budaya
mereka.
Hak-hak kepemilikan masyarakat
terkait atas tanah yang mereka tinggali sejak dahulu akan diakui. Selain itu, langkah-langkah akan diambil
untuk melindungi hak penduduk
terkait dalam menggunakan tanah
yang tidak mereka tinggali secara ekslusif. Mereka biasanya
dapat masuk untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan kegiatan tradisional. Dalam hal ini perhatian besar harus diberikan
pada situasi masyarakat nomadis dan para petani berpindah.
Program-program
pertanian
nasional akan memberikan perlakuan yang setara pada penduduk
terkait dengan yang diberikan
pada sektor populasi lainnya, sehubungan dengan:
A)
Penyediaan lebih
banyak lahan bagi penduduk tersebut ketika mereka tidak memiliki area yang diperlukan untuk penyediaan
kebutuhan hidup sehari-hari, atau untuk kemungkinan pertumbuhan populasi mereka.
B) Penyediaan
prasarana yang dibutuhkan untuk
mendorong perkembangan lahan yang sudah
dimiliki masyarakat.
Perekonomian tradisional
masyarakat hukum adat
terancam oleh sejumlah faktor, seperti:
perampasan dan hilangnya
hak atas tanah, penurunan dan degradasi tanah yang tersedia, larangan
penggunaan dan
akses pada sumber
daya alam, serta permintaan
ekonomi pasar.
Tanpa sumber
daya tersebut untuk perekonomian tradisional mereka, masyarakat hukum
adat menjadi rentan
secara ekonomi dan budaya. Di banyak tempat di dunia,
tanah masyarakat hukum adat
sudah dikurangi
hingga perekonomian tradisional yang berkelanjutan atas tanah
mereka menjadi tidak
mungkin dilakukan. Mereka dipaksa mengeksploitasi sumber daya
secara berlebihan dengan mengurangi
periode tanpa penanaman, untuk
ditanami dengan tanaman yang banyak
mengandung senyawa kimia, atau
mencari sumber penghasilan lainnya di
daerah tersebut seperti pariwisata.
Sumber mata pencaharian tradisional masyarakat
Ibaloi di Filipina adalah penambangan emas
skala kecil dan pertanian. Pertambangan
dulunya merupakan urusan
masyarakat. Dan pada saat-saat sulit,
elemen masyarakat Ibaloi
yang lebih kaya memberi makan seluruh komunitas sebagai
cara untuk mendistribusikan kekayaannya. Pembukaan
daerah tersebut terhadap berbagai
perusahaan pertambangan selama tahun 1920-an, dan masuknya
penduduk dari
daerah lain telah membawa masyarakat Ibaloi
secara perlahan-lahan ke dalam perekonomian berbasis uang.
Hal ini berakibat pada hilangnya institusi
sosial egalitarian, seperti sistem
sagaok dalam berbagi emas,
dan distribusi kekayaan
yang merata.
Masalah lebih
banyak datang dengan adanya UU Penambangan
Skala Kecil 1991 (1991
Small-Scale Mining Act) dan
UU Pertambangan 1995
(1995 Mining Act). UU ini pada dasarnya melarang praktik penambangan skala
kecil dan melarang diteruskannya praktik-praktik tradisional.
UU 1995 membuka lahan
yang sangat luas untuk
dieksplorasi dan dieksploitasi
oleh perusahan pertambangan.
UU ini juga memberikan hak atas air dan akses pada perusahaan
pertambangan. Sementara larangan terhadap hal yang sama
diterapkan pada penambang skala kecil di bawah UU 1991.54
54 Degawan,
Hermina. “Small-Scale Gold Mining as a
Traditional Occupation in the Cordillera, Philippines“. In: Thomas, V. (ed.). Traditional Occupations
of Indigenous and Tribal Peoples:
Emerging Trends. Project to Promote ILO
Policy on Indigenous and Tribal Peoples, Geneva 2000.
Atas permintaan masyarakat terkait, bantuan teknis dan keuangan yang
tepat akan diberikan dengan memerhatikan karakteristik teknologi dan budaya tradisional masyarakat tersebut, juga pentingnya pengembangan yang berkelanjutan dan adil. Konvensi ini menekankan berbagai hal berikut ini:
• Pentingnya perekonomian
tradisional sebagai dasar dari
keberlangsungan budaya dan kemandirian
ekonomi masyarakat hukum adat.
• Kebutuhan untuk mengakui pengetahuan
khusus, keterampilan dan teknologi tradisional dari masyarakat hukum adat
sebagai faktor-faktor mendasar
dalam perekonomian tradisional.
• Kebutuhan untuk memperkuat dan mendorong
perekonomian ini
dengan partisipasi masyarakat hukum adat.
• Kebutuhan untuk menyediakan
lahan yang cukup bagi
penduduk asli dan masyarakat sebagai
cara mereka untuk bertahan
hidup.
• Kebutuhan untuk memberikan bantuan keuangan dan teknis
yang diperlukan agar memungkinkan mereka untuk memelihara dan mengembangkan
perekonomian tradisional secara
berkelanjutan.
Apakah ini
berarti masyarakat hukum
adat hanya boleh melakukan aktivitas
tradisional dan tidak diperbolehkan mencari cara penghidupan lainnya? Tidak. Menekankan
pentingnya aktivitas tradisional
tidak berarti masyarakat
hukum adat tidak
dapat mencari kerja
di luar komunitas mereka,
atau mengambil sebuah peluang ekonomi. Ini berarti aktivitas tradisional diakui sebagai sebuah bagian yang sangat
penting dalam perekonomian dan kebudayaan masyarakat
hukum adat. Dan
konvensi ini menekankan kebutuhan
untuk melindungi aktivitas tradisional tersebut.
Pelatihan Kejuruan
Akan diambil tindakan-tindakan untuk mendorong partisipasi sukarela dari masyarakat
terkait dalam program pelatihan kejuruan untuk aplikasi umum. Jika program pelatihan kejuruan
untuk aplikasi umum yang sudah ada
tidak memenuhi kebutuhan khusus masyarakat
terkait, semua pihak dengan bantuan dan partisipasi dari masyarakat itu, memastikan
tersedianya program dan fasilitas pelatihan
khusus. Anak-anak masyarakat
hukum adat diajarkan
keterampilan tradisional seperti
berburu, memancing ikan,
dan menenun
oleh orangtua, kakek dan
nenek serta para
tetua mereka. Keterampilan
yang diturunkan dari generasi
ke generasi ini adalah bentuk
utama mata pencaharian
untuk keluarga.
Modernisasi dan kebutuhan
untuk beradaptasi terhadap keadaan yang berubah seringkali meletakkan
beban yang amat
besar pada kemandirian ekonomi para
masyarakat hukum adat. Pekerjaan tradisional seperti
berburu, berkumpul, menggembala atau
bertani seringkali
tidak memadai untuk penghidupan
keluarga atau komunit as, sebagai
akibat menurunnya ketersediaan sumber daya
alam primer, seperti
hutan, serta masalah akses kepada
sumber daya
yang tersisa.
Jumlah masyarakat hukum adat
dihadapkan dengan pilihan yang sedikit, selain untuk
mencari nafkah dengan cara
yang berbeda
dari basis perekonomian
tradisional mereka yang
semakin meningkat. Di
sinilah program pelatihan kejuruan
menjadi sangat penting. Tujuan program
pelatihan kejuruan ini adalah
untuk melatih masyarakat,
laki-laki dan perempuan, mengenai keterampilan-
keterampilan khusus
yang dapat digunakan untuk
mencari nafkah.
Meskipun demikian, agar program
pelatihan kejuruan ini berhasil dalam
jangka waktu panjang, harus dirancang
secara khusus untuk memenuhi
kebutuhan komunitas terkait. Program
pelatihan harus
mencakup komponen-komponen yang memuat pola pekerjaan
sebelumnya dan karakteristik
khusus dari komunitas yang bersangkutan.
Program pelatihan
apapun yang bertujuan untuk memberikan keterampilan pada
masyarakat hukum adat
agar dapat melakukan
aktivitas alternatif dalam
mencari nafkah haruslah disesuaikan
dengan situasi khusus mereka dan harus
mempertimbangkan pengetahuan tradisional yang
mereka miliki. Contohnya, komunitas
pastoral boleh jadi akan merespons program pelatihan pertanian
mengenai bagaimana menanam dan memasarkan
sayur-sayuran dengan lebih
baik daripada pro- gram
pelatihan yang mengajarkan mereka
bagaimana cara membuat boneka untuk diproduksi
massal.
Di Chittagong Hill
Tracts, masyarakat hukum
adat yang dipindahkan karena proyek
pembangkit listrik tenaga air Kaptai
didorong untuk memulai pertanian
buah-buahan (nanas dan jambu
monyet) sebagai sumber
penghasilan yang cepat. Tanpa
pelatihan yang memadai tentang bercocok
tanam dan pemasarannya, program tersebut
tidak memberikan hasil yang
positif. Sehingga masyarakat
ini, yang pada dasarnya
adalah petani padi,
akan ditinggalkan tanpa basis penghidupan untuk perekenomian
atau tanpa sebuah sumber
penghasilan alternatif.55
Di Bolivia,
Proyek Loka karya Pemulihan
Budaya dan Pengembangan Usaha
Tekstil Mandiri diterapkan selama lebih dari
lima tahun. Tu juan
dari proyek ini
adalah untuk meningkatkan
mata pencaharian 30 komunitas
Jalq’a dan Tarabuco di dataran
tinggi Bolivia. Ini
dicapai melalui peningkatan kualitas dan pengaturan produksi tekstil,
yang sebelumnya pernah
disebarluaskan di antara masyarakat
ini, namun secara perlahan-lahan
menurun. Komunitas-komunitas berpartisipasi secara
penuh dalam proses
pembuatan keputusan dalam proyek tersebut. Pengetahuan dari generasi yang
lebih tua digunakan untuk memandu kerja dari
kaum muda. Hasilnya,
proyek tersebut tidak
hanya membantu meningkatkan kondisi
ekonomi keluarga, namun juga menumbuhkan kembali elemen
budaya Jalq’a dan
Tarabuco yang sudah berada di
tengah-tengah kemunduran. 56
Dengan demikian,
agar sebuah program memenuhi tujuannya dalam mendorong terciptanya pekerjaan
yang menguntungkan
dan kemandirian ekonomi, program
tersebut harus mendapatkan
dukungan, kerja sama dan persetujuan dari masyarakat terkait.
Program juga harus direncanakan dan diterapkan dalam
jangka waktu yang panjang, melalui konsultasi dengan
masyarakat terkait.
55 Roy, C.K. Land Rights of the Indigenous Peoples of the
Chittagong Hill Tracts, Bangladesh.
Distr. oleh Jumma Peoples Network in
Europe (JUPNET), 1996.
56 ILO. Building on Culture to Face Changing Realities: The Jalq’as and Tarabucos
Story.Jenewa, 1994.
Program pelatihan khusus apapun akan didasarkan pada kondisi lingkungan
ekonomi, sosial dan budaya serta kebutuhan praktis dari penduduk terkait.
Kajian apapun yang diadakan berkaitan dengan hal ini
akan dilakukan secara kerja sama dengan masyarakat tersebut. Pengorganisasian dan
pengoperasian programnya juga akan dikonsultasikan.
Jika dimungkinkan, masyarakat
secara bertahap
akan mengambil tanggung jawab atas organisasi dan operasional program pelatihan
khusus ini. Program pelatihan
keterampilan apapun untuk
masyarakat hukum
adat harus meliputi
sejumlah elemen, yakni:
• Pelatihan harus
didasarkan pada karakteristik khusus mereka.
• Pelatihan harus memenuhi kebutuhan mereka. Kajian untuk menilai situasi yang
ada dan untuk mengidentifikasi komponen-komponen pelatihan dapat
digunakan untuk mencapai tujuan
ini.
• Pelatihan harus
produktif dan membantu masyarakat hukum
adat untuk menjadi
mandiri secara ekonomi.
• Masyarakat hukum
adat harus dilibatkan
di semua tahapan,
dari rancangan program sampai kepada penerapan
dan evaluasinya.
Konvensi ini menekankan
kebutuhan untuk mengalihkan
tanggung jawab secara
bertahap kepada masyarakat
terkait, bila mereka
memutuskan bahwa inilah
yang mereka inginkan. Tujuan utamany a
agar masya ra
kat huk
um adat dapat menerapkan dan mengelola sendiri seluruh
program pelatihan tersebut. Saat
mereka merasa siap untuk
mengembannya, maka semua pihak tetap bertanggung
jawab atas pelatihan
kejuruan
tersebut.
Pekerjaan
Semua pihak dalam
kerangka kerja undang-undang dan peraturan nasional, serta
dalam kerja sama dengan penduduk terkait, mengadopsi langkah- langkah khusus untuk
memastikan perlindungan yang efektif sehubungan dengan penerimaan dan kondisi kepegawaian para pekerja yang termasuk dalam masyarakat tersebut, hingga pada
batas di mana mereka tidak terlindungi secara efektif oleh undang-undang
yang dapat diterapkan kepada para
pekerja secara umum.
Semua pihak akan berupaya
semaksimal mungkin untuk mencegah diskriminasi apapun kepada para pekerja yang tergabung
dalam penduduk terkait dan pekerja lainnya, terutama dalam hal :
A) Penerimaan
sebagai pekerja, termasuk
pekerja terampil, langkah- langkah
kenaikan pangkat serta kemajuan karier.
B) Gaji yang setara untuk pekerja yang memiliki kemampuan
setara.
C) Bantuan
medis dan sosial, keselamatan dan kesehatan tempat kerja,
semua jaminan kesejahteraan sosial serta tunjangan
pekerjaan lainnya, dan perumahan.
D) Hak untuk berorganisasi serta kebebasan untuk melakukan semua kegiatan serikat buruh sesuai aturan
hukum, dan hak untuk menutup kesepakatan bersama dengan para
pekerja atau organisasi pekerja.
Umumnya, pekerjaan
yang dilakukan masyarakat
hukum adat berbasis
komunitas dan disesuaikan
dengan lingkungan mereka yang spesifik. Seringkali kerja tersebut juga memiliki elemen kolektif yang kuat.
Dalam keadaan seperti
saat ini yang cepat sekali berubah,
masyarakat hukum adat
sering terpaksa
mencari pekerjaan di luar
komunitas tradisionalnya, agar dapat
bertahan hidup.
Sejak 1950 di
Paraguay, wilayah masyarakat
Enxet didiami oleh beberapa pemilik tanah
baru. Peternakan berskala
besar diperkenalkan, satwa liar
terusir, dan wilayah
perburuan masyarakat Enxet menjadi
berkurang. Masyarakat Enxet tidak
memiliki pilihan lain selain menjadi
buruh murah untuk
bisnis atau pertanian, dan meminjam
dari rentenir dengan
bunga yang amat tinggi. Bentuk
jeratan hutang ini juga umum
terjadi di negara lain.57
Konvensi ini menekankan kebutuhan mengambil tindakan- tindakan khusus
untuk melindungi
pekerja masyarakat hukum adat
ketika mereka tidak dilindungi secara efektif oleh standar ketenagakerjaan nasional yang
ada. Tujuannya adalah
untuk mencegah diskriminasi terhadap pekerja masyarakat
hukum adat dan untuk memastikan bahwa mereka
diperlakukan sama seperti
pekerja lainnya.
Dalam banyak situasi, kondisi kerja dan penerimaan pegawai
untuk masya ra kat
hukum adat jauh
di bawah standar ketenagakerjaan internasional. Contohnya, di
Peru, Komite Para
Ahli ILO telah memberikan komentar mengenai praktik- praktik
kerja paksa yang memengaruhi
penduduk asli. Sehubungan
dengan itu, masyarakat
Ashaninka yang tinggal di Alto Ucayali telah mengalami
beberapa bentuk kerja paksa.
Bentuk kerja paksa yang paling
umum adalah jeratan
hutang, melalui sebuah
sistem yang
dikenal sebagai enganche
o habilitación.58 Kerja paksa ini berpusat pada pertanian,
peternakan, dan aktivitas
penebangan pohon.
57 IWGIA &
Anti-Slavery International. Enslaved Peoples in the 1990's. Indigenous Peoples, Debt Bondage and Human
Rights. IWGIA Dok. 83, Kopenhagen,
1997, hal.156.
58 Untuk contoh negara lain, lihat juga ILO: Report of the Committee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations. Comments on the Forced Labour Convention,
1930 (No. 29), Jenewa 1998 (hal. 99 - 137),
dan 1999
(hal.106 - 154).
Tindakan-tindakan yang diambil akan
mengikutsertakan langkah- langkah guna
memastikan:
A) Bahwa
pekerja yang tergabung dalam masyarakat
terkait, termasuk pekerja musiman,
non-formal, migran di bidang pertanian
dan lapangan kerja lainnya, serta mereka
yang dipekerjakan oleh kontraktor buruh,
mendapat perlindungan yang diberikan oleh undang- undang dan praktik nasional
seperti yang diterima oleh pekerja
lainnya di sektor yang sama. Mereka
juga menerima penjelasan sepenuhnya tentang hak di bawah undang-undang perburuhan dan tentang
prasarana untuk pemulihan
yang tersedia bagi mereka.
B) Bahwa pekerja yang termasuk dalam masyarakat ini
tidak mendapatkan kondisi tempat kerja
yang berbahaya bagi kesehatan, terutama
melalui paparan terhadap pestisida
atau senyawa beracun lainnya.
C) Bahwa pekerja yang termasuk
dalam masyarakat ini tidak mengalami
sistem perekrutan dengan paksaan.
D) Bahwa pekerja yang termasuk dalam masyarakat ini
mendapat kesempatan serta perlakuan yang setara
dalam pekerjaan untuk laki-laki
dan perempuan, dan perlindungan dari perlecehan
seksual.
Guna melindungi masyarakat hukum
adat dari diskriminasi,
konvensi ini menetapkan kondisi sebagai
berikut:
• Masyarakat hukum
adat tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminasi
ketika mencari dan melamar pekerjaan. Itu meliputi semua jenis pekerjaan
mulai dari buruh kasar sampai ke posisi yang lebih
tinggi. Perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama.
• Mereka
tidak boleh dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan orang lain
yang melakukan pekerjaan dengan nilai
yang sama. Dan ini tidak boleh dibatasi hanya pada
jenis pekerjaan berpendapatan rendah.
• Mereka
tidak boleh bekerja
dalam kondisi eksploitatif.
Hal ini terutama sangat penting ketika
mereka bekerja sebagai pekerja musiman,
sementara atau pekerja migran. Misalnya bekerja
di perkebunan selama masa panen.
Perempuan dan laki-laki
harus diperlakukan secara setara.
• Mereka memiliki
hak untuk membentuk atau bergabung dalam asosiasi, dan berpartisipasi
dalam aktivitas serikat
pekerja.
• Mereka harus menerima informasi mengenai hak-hak pekerja dan
cara untuk memperoleh bantuan.
• Mereka tidak
boleh bekerja dalam keadaan yang membawa
dampak buruk bagi
kesehatan, tanpa diberikan informasi yang
layak dan tepat mengenai tindakan
pencegahan yang perlu dilakukan. Dalam
kasus apapun, mereka harus menerima jaminan kesehatan dan jaminan sosial.
Yang harus benar-benar diperhatikan adalah
pembentukan layanan pengawasan
ketenagakerjaan yang memadai di area, di mana pekerja yang
tergabung dalam masyarakat terkait itu bekerja dengan bayaran, untuk memastikan dipatuhinya ketentuan dari bagian konvensi ini. Layanan pengawasan
untuk memantau kondisi kerja masyarakat hukum
adat sangat penting
guna memastikan bahwa kondisi ini dipenuhi. Di Brasil, contohnya,
Tim Inspeksi Bergerak (Mobile Inspection Teams)
dibentuk untuk melakukan investigasi terhadap banyaknya pengaduan, khususnya yang berhubungan dengan
bentuk-bentuk pekerjaan yang merendahkan.59
59 ILO: Report of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendations. Jenewa, 1997,
hal. 304.
Kesehatan
Layanan kesehatan sejauh mungkin harus
didasarkan pada masyarakat.
Layanan ini direncanakan dan diterapkan
atas kerja sama dengan penduduk terkait dengan memerhatikan kondisi
ekonomis, geografis, sosial dan budaya, termasuk
perawatan dan pencegahan, praktik penyembuhan juga obat-obatan tradisional mereka. Konsep
masyarakat hukum adat mengenai
kesehatan tidak hanya mencakup
kesehatan fisik dan kesejahteraan mental, atau
bebas dari penyakit.
Konsep kesehatan mereka
meliputi sebuah keseimbangan antara pikiran,
tubuh, dan jiwa, dan
keselarasan dengan
alam.
Kesehatan
dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti pemindahan
dari tanah leluhur,
penyitaan, degradasi lingkungan, polusi dan kontaminasi. Obat-obatan tradisional tidak
mampu mengatasi penyakit
baru yang disebabkan
oleh faktor luar. Misalnya kontaminasi sebagai
akibat pertambangan, kanker, AIDS
dan polusi radioaktif.
Di Brasil, penambang emas ilegal
yang menerobos ke tanah milik penduduk
asli membawa penyakit-penyakit baru. Lebih dari 21 persen
masyarakat Yanomami meninggal akibat
penyakit malaria, pernapasan, dan TBC, serta
keracunan akibat merkuri yang
digunakan untuk menggali emas,
dan penyakit yang disebabkan oleh
prostitusi paksa terhadap penduduk
asli perempuan. Sejumlah
konflik kekerasan juga
terjadi antara penduduk asli dan masyarakat adat dengan garimpeiros
tersebut. Semua pihak Brasil
menyatakan, apabila tindakan-tindakan
khusus tidak segera diambil
maka masyarakat Yanomami
akan punah.60
60 ILO. Report of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendations. Jenewa, 1995, hal. 289; dan ibid., 1997,
hal. 305.
Kesehatan masyarakat
hukum adat di
kebanyakan negara berada
di bawah standar nasional. “Mereka memiliki
angka kematian bayi tertinggi, tingkat harapan hidup yang
lebih rendah dan lebih banyak
terkena penyakit kronis dibandingkan
penduduk yang bukan penduduk asli
di
negara manapun.”61
Pada November 1997, sebuah konferensi mengenai
kesehatan kaum muda
penduduk asli diselenggarakan di Cooktown, Aus- tralia bagian
utara. Delegasi penduduk asli menyatakan komunitas mereka
menderita karena tingginya
penyakit sosial: penyalahgunaan
narkoba, kekerasan seksual, penahanan,
tuna wisma, bunuh diri,
kematian bayi, kematian, dan diabetes.”62
Salah satu delegasi penduduk asli
dari Hawai’i menunjukkan, makanan
tradisional penduduk asli sangat
penting bagi kesehatan mereka. Namun
karena sumber daya
alam yang semakin berkurang,
maka makanan tradisional yang
tersedia pun semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat hukum adat
sangat erat terkait
dengan tanah mere ka.
Di Selandia Baru,
mas ya r a kat Taenui
sukses membangun sistem
perawatan kesehatan berdasarkan
perbaikan lahan
tradisional milik masyarakat Taenui.63
61 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Health and Indigenous Peoples. Catatan olehSekretariat. Jenewa.
E/CN.4/Sub.2/AC.4/1997/4, hal.1.
62 IWGIA.
Indigenous Affairs, No.1, 1998, hal.21.63 Ibid.
Semua pihak memastikan bahwa layanan
kesehatan yang memadai tersedia bagi masyarakat
terkait, atau menyediakan sarana agar
memungkinkan mereka merancang dan memberikan layanan kesehatan di
bawah tanggung jawab dan kontrol mereka
sendiri. Sehingga mereka dapat menikmati
standar kesehatan fisik dan mental tertinggi.
Sistem pelayanan kesehatan akan memberi
preferensi pada pelatihan dan dipekerjakannya pekerja kesehatan masyarakat lokal,
yang berfokus pada perawatan kesehatan primer sambil mempertahankan hubungan erat dengan
tingkatan lain dari layanan perawatan
kesehatan.
Penyediaan layanan kesehatan
akan dikoordinasikan dengan
langkah- langkah sosial, ekonomi dan budaya di negara itu. Konvensi
ini menekankan faktor-faktor
penting dalam penyediaan layanan
kesehatan bagi masyarakat
hukum adat, seperti:
• Layanan kesehatan
tersebut harus berbasis
komunitas.
• Layanan kesehatan
tersebut harus bersifat
saling melengkapi praktik-praktik pengobatan
tradisional, dan harus mencakup segala
aspek praktik-praktik tersebut.
• Komunitas masyarakat
hukum adat harus terlibat secara aktif.
• Masyarakat lokal harus
dilatih bekerja agar terampil menyediakan layanan
kesehatan, dan pada akhirnya mengambil tanggung jawab dalam penyediaan layanan kesehatan ini, bila
menginginkannya.
• Semua
pihak harus menyediakan
sumber daya untuk layanan
perawatan kesehatan ini, seperti
yang dilakukan untuk semua warga negara.
Tujuan utama program ini adalah untuk mengalihkan
tanggung jawab
dan pengawasan penuh terhadap
layanan kesehatan kepada
masyarakat hukum adat
atau komunitas, ketika
mereka siap mengambil tanggung jawab ini.
Layanan
kesehatan tidak boleh
dipisahkan. Layanan kesehatan harus
dihubungkan ke tindakan-tindakan lain seperti peningkatan
fasilitas perumahan, kondisi air, sanitasi dan kondisi
kerja. Karena semua faktor penunjang
ini memengaruhi kesehatan masyarakat hukum adat.
Jaminan Sosial
Di banyak negara, masyarakat
hukum adat tidak
dilindungi secara
penuh oleh layanan
jaminan sosial. Seperti
program manfaat untuk tuna
karya, lansia, orang sakit dan
orang cacat. Hal ini dimungkinkan karena
mereka tinggal di
daerah pedesaan yang
kurang berkembang
dan tidak tercakup dalam survei
yang dilakukan semua pihak. Ini dapat diartikan program- program
tersebut tidak menanggapi situasi sosial masyarakat hukum
adat, di mana banyak
dari mereka yang
tidak bekerja dalam sektor
“formal” namun bekerja sebagai
pekerja musiman, pekerja sementara,
pekerja migran, atau berusaha sendiri.
Program-program
jaminan kesejahteraan sosial akan
diperluas secara bertahap untuk menjangkau
masyarakat terkait, dan diterapkan tanpa diskriminasi terhadap mereka.Untuk memastikan
bahwa masyarakat hukum
adat dilindungi secara
layak oleh program
jaminan sosial, konvensi
ini menegaskan:
• Kebutuhan untuk memperluas program-program
seperti itu dengan mengikutsertakan
masyarakat hukum adat.
• Program-program ini harus menanggapi situasi khusus
masyarakat hukum adat.
• Kebutuhan untuk memastikan bahwa masyarakat
hukum adat
memiliki hak yang sama
dalam mengakses layanan
jaminan sosial seperti
layaknya semua warga negara lainnya.
Hubungan Lintas Perbatasan
Semua pihak kedua
negara akan mengambil langkah-langkah tepat, termasuk dengan menggunakan kesepakatan internasional. Ini untuk
memudahkan hubungan dan kerja sama lintas perbatasan antara penduduk asli dan masyarakat adat, termasuk kegiatan di bidang ekonomi, sosial, budaya,
spiritual dan lingkungan. Beberapa penduduk asli
dan masyarakat adat
dipisahkan oleh perbatasan nasional dan
hidup di negara
yang berbeda. Contohnya masyarakat
Saami yang tersebar di seluruh
Finlandia, Norwegia, Swedia dan
Rusia; masyarakat Karen tinggal di Thai- land
bagian Utara dan beberapa daerah di
Myanmar; suku Kunda di Kolumbia dan Panama;
dan masyarakat San tinggal
di Botswana, Namibia dan
Afrika Selatan.73
Mereka adalah
orang yang sama,
mereka berbagi identitas budaya yang
sama. Bagi mereka,
hubungan budaya, sosial, politik dan
ekonomi tidak berhenti pada perbatasan
negara.
Untuk menanggapi situasi seperti
ini, Konvensi No. 169 menekankan bahwa
semua pihak harus
dapat menjamin penduduk asli
dan masyarakat adat
yang sama, namun
tinggal di negara
berbeda dapat berkomunikasi
dan berpindah secara bebas
melintasi perbatasan. Untuk
melakukan hal ini, semua pihak dapat menggunakan kesepakatan bilateral dan internasional.
Organisasi penduduk asli dan masyarakat
adat lintas perbatasan Di samping itu, banyak juga penduduk asli yang
dipisahkan oleh perbatasan
negara memiliki organisasi lintas perbatasan
sendiri. Organisasi ini meliputi Inuit
Circumpolar Conference (ICC),
Saami Council (Dewan
Saami), IMPECT (Inter-Mountain
Peoples Edu- cation and Culture in Thailand
Association), dan COICA (Coordinadora de las Organizaciones IndÃgenas de la Cuenca Amazonica).
73 Lihat peta di IWGIA: The Indigenous World.
Kopenhagen, 1998.