Credit : rri.co.id |
Tahun 1928 silam, tepatnya tanggal 28 Oktober, sekelompok anak muda bersumpah menyatukan tekat SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA : INDONESIA. Mendasar pada kesadaran atas realitas bahwa Negara Indonesia terdiri atas ribuan pulau, berbagai suku, budaya, dan bahasa, bahkan berbagai agama dan kepercayaan, sumpah menyatukan Nusantara ini terbukti mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mengundang kekaguman dunia. Di atas segala bentuk perbedaan yang ada, Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan dengan Pancasila sebagai pengikat yang menyatukan seluruh anak bangsa. Indonesia yang multikultur, yang terdiri atas ribuan pulau ini sekarang berkembang menjadi Negara besar yang punya peran besar dalam kehidupan dunia saat ini.
Kini, setelah hampir seabad berlalu, rasa-rasanya semangat Sumpah Pemuda ini telah semakin luntur. Rasa nasionalisme, kecintaan terhadap negeri, dan kebersamaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika tampak semakin hari semakin terlupakan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sepertinya sudah tak lagi dipahami maknanya dan tak lebih dari sekedar slogan semata. Kemana perginya semangat persatuan yang begitu nyaring terdengar kala kita peringati Hari Sumpah Pemuda ?
Tak bisa dipungkiri, dampak pemilu dan pemilihan presiden secara langsung telah menciptakan polarisasi kelompok masayarakat, yang memuncak di pemilihan presiden 2014, pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, dan pemilihan presiden 2019. Luka-luka dampak dukungan politik itu masih terasa dan terpelihara hingga saat ini terutama yang terbungkus dalam isu-isu SARA, pemanfaat agama untuk kepentingan politik tertentu, sampai pada perang narasi di media sosial. Kita lihat saja di beberapa wilayah masih ada perilaku diskriminasi terhadap kelompok minoritas, pembubaran ibadah, pelarangan pendirian bahkan perusakan tempat ibadah, sampai soal seragam anak sekolah.
Kondisi ini tak ayal menghasilkan kondisi yang berpotensi memicu perpecahan bangsa. Kesadaran multikultur semakin tergerus dengan hadirnya ideologi-ideologi baru yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Awali dari Dunia Pendidikan
Sejak dulu bangsa ini majemuk dan kemajemukan ini telah menjadi landasan berkehidupan dan berkebangsaan yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar, yang berdiri diatas segala perbedaan baik dalam hal suku, agama, dan ras. Maka realitas perbedaan dan kemajemukan ini mesti dinikmati dan disyukuri dengan membangun sebuah peradaban yang inklusif dan toleran dalam segala sendi kehidupan. Harapannya, bisa tercapai kehidupan yang damai, selaras, harmonis, dan berperadaban dengan mengedepankan sinergitas dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menjauhi segala bentuk pertikaian yang sifatnya destruktif dan membahayakan eksistensi kemanusiaan manusia itu sendiri.
Seringnya terjadi benturan dan pertikaian antar anak bangsa, memang sudah menjadi realitas menyedihkan yang kita hadapi saat ini. Yang sesungguhnya penting dan perlu dipikirkan secara serius, sistematis, dan komprehensif adalah upaya-upaya meminimalisir konflik dan membangun kesadaran terhadap keragaman dalam masyarakat. Tumbuhnya sikap dan kesadaran tentang realitas yang pluralis-multikultur ini semakin dirasakan penting agar dapat melahirkan sikap yang toleran dan memandang mereka yang berbeda sebagai mitra yang harus dihormati dan dihargai.
Pendidikan adalah salah satu media yang efektif melahirkan generasi yang memiliki pandangan bahwa realitas multikultur ini merupakan bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Internalisasi pemahaman dan kesadaran terhadap realitas yang pluralis–multikultur melalui jalur pendidikan dalam semua jenjang, tentu akan memiliki dampak yang konkret dalam kehidupan secara luas.
Mengapa pendidikan multikultur ini penting ? Ada beberapa alasan yang menjadikan pendidikan multikultur ini menjadi semakin dirasakan penting.
Pertama, realitas bangsa Indonesia tingkat heterogenitasnya sangat tinggi, nampak didalam masyarakat terdapat perbedaan-perbedaan baik dalam agama, suku, ras, latar belakang budaya, dan sebagainya. Pemahaman terhadap realitas yang berbeda ini akan mempermudah dalam menjembatani perbedaan, mengurangi persepsi negative terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Setidaknya, seseorang akan lebih bisa menentukan sikap positif ketika harus berhadapan dengan orang yang berbeda dari dirinya sehingga mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya friksi.
Kedua, setiap relasi antar pribadi akan mengandung potensi interaksi multikultur. Dalam ranah kemajemukan masyarakat, setiap hubungan yang dibangun dapat terjadi pada individu-individu dengan latar belakang yang berbeda. Maka diperlukan pemahaman masing-masing individu terhadap individu lain sehingga interaksi dapat menghasilkan sesuatu yang konstruktif sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Ketiga, primordialisme bukanlah paham yang tepat untuk dikembangkan dalam kehidupan masyarakat multikultur. Maka setiap individu penting untuk membuka diri terhadap perbedaan sehingga tidak terjebak dalam fanatisme sempit dan sikap primordial yang membuatnya tidak mampu menghargai individu lain yang berbeda.
Keempat, dalam masyarakat yang heterogen potensi terjadi friksi sangat tinggi sehingga melalui pendidikan multikultur, diharapkan akan semakin banyak eksistensi masyarakat yang memiliki cakrawala pandang yang luas tentang realitas multikultur, sehingga lebih mampu mengedepankan toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan.
Desain Pendidikan Multikultur
Sesungguhnya, pendidikan tak mesti harus selalu berorientasi pada tuntutan pemenuhan kebutuhan kerja, tetapi juga ditekankan pada pembelajaran mengenai nilai-nilai dimana peserta didik dapat melihat, memahami, dan menghadapi realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sayangnya, kurikulum pendidikan saat ini tampaknya lebih mengarah kepada tuntutan pemenuhan kebutuhan kerja, sementara prosentase pendidikan akan nilai-nilai, norma-norma, dan patriotisme-nasionalisme semakin kecil. Maka tak mengherankan jika generasi muda sekarang ini tak lagi banyak yang hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, tak lagi hafal Pancasila apalagi Butir-Butir Pancasila, bahkan enggan mengikuti upacara bendera. Lagu-lagu daerah semakin hilang popularitasnya, pun demikian pakaian daerah.
Pendidikan mulai jenjang terrendah sampai jenjang yang paling tinggi, dapat didesain untuk membangun dan memberikan gambaran ideal tentang pluralitas dan multikultural. Pendidikan multikultur bisa digambarkan sebagai upaya membuka visi kita kepada cakrawala yang lebih luas, hingga mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama atau kepercayaan. Pendidikan multikultur merupakan pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan agama atau kepercayaan. Dengan demikian, diharapkan setiap individu dapat menempatkan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia apapun latar belakang kulturnya.
Konstruksi pendidikan multikultural berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis baik secara agama maupun multikultur yang memandang bahwa keragaman dalam hidup merupakan suatu realitas yang harus dihadapi dan disikapi dengan penuh kearifan. Tentu diperlukan faktor-faktor pendukung seperti perilaku keseharian yang berbasis pada persamaan dan kesamaan dalam memandang setiap individu, serta kedewasaan intelektual dan emosional dalam menyikapi perbedaan.
Salah satu komponen dalam pendidikan adalah pembelajaran. Dimensi pluralis-multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketenteraman tatanan kehidupan bermasyarakat.
Ada beberapa prinsip yang bisa dikembangkan dalam model pembelajaran pluralis-multikultural.
Pertama, dimulai dari pengenalan jati diri pribadi masing-masing individu untuk mengukur sejauh mana diri pribadi melihat relevansi pluralis-multikultural ini berpengaruh terhadap kehidupan pribadi.
Kedua, mengembangkan sikap non-etnosentris. Ini berarti dalam setiap pembelajaran ditujukan untuk membangun kesadaran untuk tidak mengunggulkan diri sendiri maupun kelompok, tetapi lebih mengedepankan adanya pemahaman yang mutualis dan empati terhadap keanekaragaman kultural.
Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural harus dikembangkan secara integratif, komprehensif, dan konseptual sehingga bisa terintegrasi dalam semua materi pelajaran, harus menyentuh aspek afektif dan kognitif dimana akan terbangun satu keterkaitan antara teori dengan realitas keseharian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, serta mencakup realitas sosial dan perjalanan sejarah berbagai kultur (=suku, agama, ras, kelompok) baik secara lokal, nasional, maupun global sehingga dapat menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keragaman yang ada. Tentu saja yang terpenting kesemuanya itu tak hanya tercantum dalam kurikulum tetapi diterapkan dalam proses pembelajaran dan dinamika social di dalam kelas.
Twitter Penulis : Rya Wiedy