berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

PENDIDIKAN MULTIKULTUR : KAPAN DIMULAI ?


Pertama : Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea : Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.


Credit : rri.co.id
                                                                

   Tahun 1928 silam, tepatnya tanggal 28 Oktober, sekelompok anak muda bersumpah menyatukan tekat SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA : INDONESIA. Mendasar pada kesadaran atas realitas bahwa Negara Indonesia terdiri atas ribuan pulau, berbagai suku, budaya, dan bahasa, bahkan berbagai agama dan kepercayaan, sumpah menyatukan Nusantara ini terbukti mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mengundang kekaguman dunia. Di atas segala bentuk perbedaan yang ada, Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan dengan Pancasila sebagai pengikat yang menyatukan seluruh anak bangsa. Indonesia yang multikultur, yang terdiri atas ribuan pulau ini sekarang  berkembang menjadi Negara besar yang punya peran besar dalam kehidupan dunia saat ini.  

Kini, setelah hampir seabad berlalu, rasa-rasanya semangat Sumpah Pemuda ini telah semakin luntur. Rasa nasionalisme, kecintaan terhadap negeri, dan kebersamaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika tampak semakin hari semakin terlupakan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sepertinya sudah tak lagi dipahami maknanya dan tak lebih dari sekedar slogan semata. Kemana perginya semangat  persatuan yang begitu nyaring terdengar kala kita peringati Hari Sumpah Pemuda ? 

   Tak bisa dipungkiri, dampak pemilu dan pemilihan presiden secara langsung telah menciptakan polarisasi kelompok masayarakat, yang memuncak di pemilihan presiden 2014, pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, dan pemilihan presiden 2019. Luka-luka dampak dukungan politik itu masih terasa dan terpelihara hingga saat ini terutama yang terbungkus dalam isu-isu SARA, pemanfaat agama untuk kepentingan politik tertentu, sampai pada perang narasi di media sosial. Kita lihat saja di beberapa wilayah masih ada perilaku diskriminasi terhadap kelompok minoritas, pembubaran ibadah, pelarangan pendirian bahkan perusakan tempat ibadah, sampai soal seragam anak sekolah. 
Kondisi ini tak ayal menghasilkan kondisi yang berpotensi memicu perpecahan bangsa. Kesadaran multikultur semakin tergerus dengan hadirnya ideologi-ideologi baru yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Awali dari Dunia Pendidikan
   Sejak dulu bangsa ini majemuk dan kemajemukan ini telah menjadi landasan berkehidupan dan berkebangsaan yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar, yang berdiri diatas segala perbedaan baik dalam hal suku, agama, dan ras. Maka realitas perbedaan dan kemajemukan ini mesti dinikmati dan disyukuri dengan membangun sebuah peradaban yang inklusif dan toleran dalam segala sendi kehidupan. Harapannya, bisa tercapai kehidupan yang damai, selaras, harmonis, dan berperadaban dengan mengedepankan sinergitas dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menjauhi segala bentuk pertikaian yang sifatnya destruktif dan membahayakan eksistensi  kemanusiaan manusia itu sendiri. 

   Seringnya terjadi benturan dan pertikaian antar anak bangsa, memang sudah menjadi realitas menyedihkan yang kita hadapi saat ini. Yang sesungguhnya penting dan perlu dipikirkan secara serius, sistematis, dan komprehensif adalah upaya-upaya meminimalisir konflik dan membangun kesadaran terhadap keragaman dalam masyarakat. Tumbuhnya sikap dan kesadaran tentang realitas yang pluralis-multikultur ini  semakin dirasakan penting agar dapat melahirkan sikap yang toleran dan memandang mereka yang berbeda sebagai mitra yang harus dihormati dan dihargai. 

   Pendidikan adalah salah satu media yang efektif melahirkan generasi yang memiliki  pandangan bahwa realitas multikultur ini merupakan bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi  nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Internalisasi pemahaman dan kesadaran  terhadap realitas yang pluralis–multikultur melalui  jalur pendidikan dalam semua jenjang, tentu akan memiliki dampak yang konkret dalam kehidupan secara luas. 

   Mengapa pendidikan multikultur ini penting ?  Ada beberapa alasan yang menjadikan pendidikan multikultur ini menjadi semakin dirasakan penting. 

Pertama, realitas bangsa Indonesia tingkat heterogenitasnya sangat tinggi, nampak didalam masyarakat terdapat perbedaan-perbedaan baik dalam agama, suku, ras, latar belakang budaya, dan sebagainya. Pemahaman terhadap realitas  yang  berbeda ini akan mempermudah dalam menjembatani perbedaan, mengurangi persepsi negative terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Setidaknya, seseorang akan lebih bisa menentukan sikap positif ketika harus berhadapan dengan orang yang berbeda dari dirinya sehingga mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya friksi. 

Kedua, setiap relasi antar pribadi akan mengandung potensi interaksi multikultur. Dalam ranah kemajemukan masyarakat, setiap hubungan yang dibangun dapat terjadi pada individu-individu dengan  latar belakang yang berbeda. Maka diperlukan pemahaman masing-masing individu terhadap individu lain sehingga interaksi dapat menghasilkan sesuatu yang konstruktif sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Ketiga, primordialisme bukanlah paham yang tepat untuk dikembangkan dalam kehidupan masyarakat multikultur. Maka setiap individu penting untuk membuka diri terhadap perbedaan sehingga tidak terjebak dalam fanatisme sempit dan sikap primordial yang membuatnya tidak mampu menghargai individu lain yang berbeda. 
Keempat, dalam masyarakat yang heterogen potensi terjadi friksi sangat tinggi sehingga melalui pendidikan multikultur, diharapkan akan semakin banyak eksistensi masyarakat yang memiliki cakrawala pandang yang luas tentang realitas multikultur, sehingga lebih mampu mengedepankan toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan.

Desain Pendidikan Multikultur
Sesungguhnya, pendidikan tak mesti harus selalu berorientasi pada tuntutan pemenuhan kebutuhan kerja, tetapi juga ditekankan pada pembelajaran mengenai nilai-nilai dimana peserta didik dapat melihat, memahami, dan menghadapi realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sayangnya, kurikulum pendidikan saat ini tampaknya lebih mengarah kepada tuntutan pemenuhan kebutuhan kerja, sementara prosentase pendidikan akan nilai-nilai, norma-norma, dan patriotisme-nasionalisme  semakin kecil. Maka tak mengherankan jika generasi muda sekarang ini tak lagi banyak yang hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, tak lagi hafal Pancasila apalagi Butir-Butir Pancasila, bahkan enggan mengikuti upacara bendera. Lagu-lagu daerah semakin hilang popularitasnya, pun demikian pakaian daerah. 

Pendidikan mulai jenjang terrendah sampai jenjang yang paling tinggi, dapat didesain untuk membangun dan memberikan gambaran ideal tentang pluralitas dan multikultural. Pendidikan multikultur bisa digambarkan sebagai upaya membuka visi kita kepada cakrawala yang lebih luas, hingga mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama atau kepercayaan. Pendidikan multikultur merupakan pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan agama atau kepercayaan. Dengan demikian, diharapkan setiap individu dapat menempatkan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap  harkat dan martabat manusia apapun latar belakang kulturnya.

Konstruksi pendidikan multikultural berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis baik secara agama maupun multikultur yang memandang bahwa keragaman dalam hidup merupakan suatu realitas yang harus dihadapi dan disikapi dengan penuh kearifan. Tentu diperlukan faktor-faktor pendukung seperti perilaku keseharian yang berbasis pada persamaan dan kesamaan dalam memandang setiap individu, serta kedewasaan intelektual dan emosional dalam menyikapi  perbedaan.

Salah satu komponen dalam pendidikan adalah pembelajaran. Dimensi pluralis-multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketenteraman tatanan kehidupan bermasyarakat.
Ada beberapa prinsip yang bisa dikembangkan dalam model pembelajaran pluralis-multikultural. 

Pertama, dimulai dari pengenalan jati diri pribadi masing-masing individu untuk mengukur sejauh mana diri pribadi melihat relevansi pluralis-multikultural ini berpengaruh terhadap kehidupan pribadi. 

Kedua, mengembangkan sikap non-etnosentris. Ini berarti dalam setiap pembelajaran ditujukan untuk membangun kesadaran untuk tidak mengunggulkan diri sendiri maupun kelompok, tetapi lebih mengedepankan adanya pemahaman yang mutualis dan empati terhadap keanekaragaman kultural.
Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural harus dikembangkan secara integratif, komprehensif, dan konseptual sehingga bisa terintegrasi dalam semua materi pelajaran, harus menyentuh aspek afektif dan kognitif dimana akan terbangun satu keterkaitan antara teori dengan realitas  keseharian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, serta mencakup realitas sosial dan perjalanan sejarah berbagai kultur (=suku, agama, ras, kelompok) baik secara lokal, nasional, maupun global sehingga dapat menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keragaman yang ada. Tentu saja yang terpenting kesemuanya itu tak  hanya tercantum dalam kurikulum tetapi diterapkan dalam proses pembelajaran dan dinamika social di dalam kelas. 


Pendekatan Etika
    Etika mengandung makna nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku. Ada korelasi yang signifikan antara etika dengan pluralism dan multikulturalime. Pertama, hubungan antar sesama manusia berada dalam wilayah pengaturan etika, yakni bagaimana sikap perlakuan individu terhadap individu lain dalam  khasanah multikultur. Kedua, perspektif etika sangat penting dalam rangka menentukan kepastian moral secara rasional dan obyektif tentang segala sesuatu dalam hubungannya dengan individu lain.  Ketiga, rujukan etika seringkali dapat diterima bagi pihak-pihak yang berbeda pendapat mengenai sesuatu yang diyakini.
    Pendekatan etika dalam kurikulum pendidikan menjadi cukup relevan karena  di dalam etika itu sendiri mencakup sejumah prinsip. Pertama, prinsip egaliter yang memandang manusia dilahirkan memiliki derajat yang sama. Kedua, prinsip keadilan dimana setiap individu wajib memperlakukan individu  lain yang berbeda secara sama, adil, dan tidak diskriminatif dalam berbagai hal. Ketiga, prinsip toleransi dimana setiap individu wajib menghargai, menghormati, dan membiarkan pendirian atau pendapat, kepercayaan, pandangan, serta kebiasaan yang berbeda atau bertentangan. Keempat, prinsip saling menghormati, kerja sama dan pertemanan sebagai implikasi dari sikap toleran. Kelima,  prinsip damai yang mengandung makna penciptaan kehidupan yang selaras dengan sesama manusia melalui interaksi dan komunikasi yang setara.
   Mengingat ancaman disintegrasi yang semakin meluas saat ini, tidak ada salahnya jika saat ini kita mulai menggagas muatan pendidikan multikultur dalam kurikulum pendidikan di setiap tingkatan. Menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, kecintaan terhadap negeri, lagu-lagu nasional dan daerah. Bukannya UU Pendidikan memberikan otonomi ke daerah untuk menyusun kurikulum lokal ? *


Twitter Penulis : Rya Wiedy

Share: Youtube

Tradisi Bagi Anak di Lio



Berdasarkan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 menerangkan beberapa pengertian bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Selengkapnya download 👇👇

UU No 35 Thn 2014 download disini

Anak Menurut Budaya Lio

Anak dalam bahasa Lio "ana". Beberapa ungkapan yang menerangkan "ana" dalam bahasa Lio bisa kita lihat dibawah ini. Ungkapan - ungkapan tersebut sangat mempengaruhi dengan status serta menjadikan anak bagian dari patriliear atau matrilinear.  
  1. Ngeu gi ngeda pe'pa. (berkembang biak).
  2. Nge le'ka tuka be'ka le'ka kambu. Beberapa suku kata ini menerangkan dilahirkan dari rahim ibu. "Nge le'ka tuka" berkembang dari perut. "Be'ka le'ka kambu". Kata "be'ka" artinya berkembang dan meluas. Seperti ungkapan "ae be'ka" artinya banjir dan meluap dari sungai. Kata "kambu" artinya lemak. Jadi "Nge le'ka tuka be'ka le'ka kambu" mengandung makna terlahir dari perut atau rahim. 
  3. Kolo nia. Kolo artinya kepala. Nia artinya dahi. Jadi "kolo nia" menerangkan bahwa anak tersebut menjadi bagian dari garis keturunan ayah / patrilinear atau garis keturunan ibu / matrilinear. 
  4. Bagi ana atau bagi anak. Bagi anak terjadi karena jenis perkawinan ayah dan ibu dari anak tersebut.
  5. Wangga wo'o kili rembi. Wangga artinya pikul. Wo'o artinya busur panah. Kili artinya membawa sesuatu wadah yang digantung sebelah menyebelah dipundak. Rembi artinya bakul anyaman dengan tali panjang berukuran sedang.
  6. Mutu gu ia pai atau ha'i sada mutu. Ungkapan ini  menerangkan kematian.
  7. Ka kana ru'e nggewu. Ungkapan kepada ayah yang sampai ajalnya tidak bisa membawa istri dan anak - anaknya ke rumahnya untuk menjadikan istri dan anaknya patrilinear.

Sebagian ulayat di Lio sangat pegang teguh tradisi bagi anak. Dalam tradisi pembagian anak, sang anak akan menjadi bagian dari rumpun keluar ayah atau rumpun keluarga ibu. Anak yang yang meneruskan garis keturunan ayah akan bekerja di ladang, sawah milik sang ayah dan akan meneruskan tradisi leluhur di rumpun keluarga ayah. Begitupun kalau anak menjadi penerus generasi sang ibu. 

Baca Juga : Perkawinan Adat Lio 

Mungkin hal semacam ini sangat sulit dipahami karena tidak terjadi di ulayat Lio lainnya. Tetapi disebagai Lio sebut saja Wologai, Nduaria, Peibenga, Mukureku ,Wolobewa tradisi ini masih dipegang teguh sampai sekarang. 

Jadi "ana" menurut sebagian orang Lio yaitu "eo nge le'ka tuka ine kambu ame mo tau susu nggua nama bapu".

Tradisi Bagi Anak di sebagian Lio

Tradisi pembagian anak dimulai dengan jenis perkawinan dari ayah dan ibu sebelumnya. Tradisi yang menyebabkan terjadinya bagi anak yaitu dari jenis perkawinan "Dei ngai pawe ate" atau perkawinan yang terjadi atas dasar "suka sama suka" dari pasangan tersebut tanpa diketahui oleh orang tua dari pihak lelaki dan pihak wanita. Beberapa ungkapan yang menerangkan jenis perkawinan suka sama suka seperti "dei le'ka kaju pawe le'ka ae" atau "tei pare wole bewa jawa bupa ria" atau "tei taka te'a lo ere". 

Secara harafiah ungkapan "dei ngai pawe ate". Yang mana dei (suka) ngai (napas) pawe (baik) ate (hati) atau mengandung arti gadis yang dipilih karena cinta dan pria menyukainya. Juga diumpamakan “dei leka kaju pawe leka ae, yang mana dei (suka) le'ka (pada) kaju (kayu) pawe (baik) le'ka (pada) ae (air). Si pria megibaratkan kekasihnya seperti kayu dan air. Si pria menyukai kayu dan air tersebut. Perumpaan lainnya “tei taga te’a lo ere” yang mana "tei (lihat) taga (betis) te’a (menguning atau matang) lo (tubuh) ere (mempesona) mengandung arti si pria memilih kekasih karena melihat betis seperti bulir padi yang menduning, badannya halus nan cantik. Perumpaan lainnya “tei pare wole bewa jawa dupa ria” yang mana tei (lihat) pare (padi) wole (tangkai) bewa (panjang) jawa (jagung) dupa (batang) ria (besar). Si pria mengibaratkan kekasikan yang dinaksir ibarat setangkai padi panjang dan sebatang jagung besar. 

Semua perumpaan diatas menerangkan bahwa pria memilih kekasihnya karena rasa kagum dan perasaan cinta kepala kekasihnya. Dari rasa kagum dan cintanya dia mengutarakan perasaannya kepada wanita pilihannya. Si wanita tersebut menerima cinta si pria tersebut. Mereka sepakat untuk membina rumah tangga atas dasar suka sama suka. Karena suka sama suka atau dasar perkawinannya “cinta” maka tahap perkawinanya tidak dilalui dari  tahap awal. Tidak melalui proses masuk minta. Perkawinan jenis ini terjadi bisa karena mempelai wanita sudah hamil, mempelai laki-laki langsung tinggal dirumah perempuan dan langsung jadian. 

Sekarang lebih dikenal dengan istilah “kawin masuk” dimana mempelai laki-laki akan meninggalkan keluarganya dan tinggal bersama dengan keluarga mempelai wanita. Dalam kehidupan sehari – hari sang ayah dari mempelai wanita akan mengatakan “pati topo lelo eo bosu talo, pati su’a dhawe eo lemba talo” (diserahkan tofa dan parang untuk bekerja kebun yang tidak ada habisnya). Artinya mempelai pria dengan status kawin masuk akan di bahasakan : “ko’o lo’o re’wo boko” (jadi bagian dari keluarga wanita). Bila statusnya sampai mempelai laki meninggal, maka istilah untuk orang terssebut menjadi “ka kana ru’e ngewu”. 

Perkawinan jenis ini bukan berarti yang pria tidak bisa lagi menebuskan belis. Bisa ditebus dengan beberapa syarat, diantaranya :

  1. Saat saudara laki dari sang istri/ipar/eja menikah, dimana ada bahasa “weta wa’u nara nai” (saudara perempuan keluar rumah saudara laki-laki masuk rumah), artinya dalam hal membelis semua tuntutan dari keluarga istrinya ipa/eja menjadi tanggungjawabnya. Ini terjadi ketika saudara laki - laki atau dari istrinya menikah atau dalam bahasa Lio dikenal dengan sebutan "eja". Setelah mengetahui tuntutan dari calon istri dari eja dia sanggup memberikan semua belis dari keluarga besar eja nya. 
  2. Bila mempelai sudah banyak memberi hewan atau lainnya, “dia” bisa mengeluh dan berkata, “wara ku baja r’wa, kolo ku ro r’wa”. Disini sang pria dan keluarganya sudah siap untuk membicarakan belis, ulang dari awal. Yang sudah diberikan bisa diperhitungkan dan bisa juga tidak diperhitungkan atau dikenal dengan sebutan "ngawu lewa".

Pembagian anak terjadi saat ayah atau ibu meninggal dunia. Saat meniggal dunia baik keluarga ayah ataupun keluarga ibu dahulukan tradisi penguburan. Dari pihak ayah akan melaksanakan tradisi membawa atau menanggung hewan atau yang dikenal dengan sebutan "wurumana". Sampai pada malam ke empat setelah penguburan, keluarga dari sang ayah akan ke rumah keluarga sang ibu, menyampaikan bahwa ada hal yang harus dibicarakan. Keluarga sang ibu juga akan menyampaikan kepada semua tetuanya untuk ikut serta dalam forum tersebut. 

Baca Juga : Wurumana

Ketika sudah berkumpul, dari keluarga sang ayah akan menyampaikan maksud kedatangan mereka. 

"kami mai po ina na, ndu po no'o ana, ema, eda, tu'a kita eo mutu gu ia pai. Kami no ate mete, ra eo kai reki mo tau kili rembi wangga wo'o ghe ngeni. Mo tau susu nggua nama bapu ema ghe. 
Artinya : Maksud kedatang kami ini dengan anak, bapak, keponakan (ayah bila sang ayah yang meninggal) yang sudah meninggal. Kami dengan harapan anak dari dia juga untuk melanjutkan tradisi leluhur dikeluarga bapaknya.

Dalam pembagian tradisi pembagian anak, bisa dilaksanakan apabila selama hidupnya sang ayah selalu melaksanakan "wurumana" setiap ada hajatan di keluarga sang ibu. Dengan wurumana tersebut, menjadi pertimbangan keluarga besara sang ibu apakah bisa dilaksanakan tradisi pembagian anak atau tidak. Kalau disetujui karena layak dilaksanakan pembagian anak, maka putra dan putri sulung menjadi penerus garis keturunan sang ibu. Ungkapan lokalnya dikenal dengan "sa weta sa nara ana sa're pa'a" atau "ana wawo pare". Sedangkan anak ke 3 dan seterusnya meneruskan garis keturunan ayah.

Apabila anak putra tunggal maka dilihat saat sang anak menikah. Ketika sang anak menikah dan pem-beli-san sang anak ditanggung bersama makan sang anak akan dikenal dengan sebutan, "ana ke'la embu wisa". Yang artinya sang putra tersebut meneruskan garis keturunan ayah dan juga garis keturunan ibu. Kalau putri tunggal jarang terjadi pembagian. Sang putir menjadi penerus garis keturunan ibu. Sang putri dianggap manusia asli dalam rumah, yang sewaktu - waktu bisa dinobatkan menjadi "ine ria fai ngg'e" atau yang melaksanakan semua seremonial adat dalam rumah.

Tradisi pembagian anak tersebut berdampak pada kehidupan sehari - hari. Sejak terjadi kesepakatan pembagian anak, maka yang meneruskan garis keturunan ayah akan bekerja pada lahan atau tanah garapan keluarga sang ayah. Sebaliknya dengan anak yang meneruskan garis keturunan dang ibu akan bekerja di lahan atau tanah milik keluarga sang ibu. Pembagian lahan garapan ini tidak berlaku pada tanah atau lahan yang diperoleh karena usaha bersama dari ayah dan ibu. 

Tulisan ini masih jauh dari kata "Sampoerna". Apabila ada koreksi, saran dan kritiknya muatkan dalam komentar bibawah ini.

Share: Youtube

Peran Guru Dalam Mempertahankan Budaya Indonesia Untuk Membentuk Karakter Siswa

Oleh : Sr. Maria Hedwiq,KFS

Sr. Maria Hedwiq, KFS
Indonesia mempunyai keberagaman sosial yang terdiri dari budaya, suku bangsa, agama, adat istiadat, dan lain-lain. Prinsip yang digunakan sebagai dasar Negara Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki arti berbeda- beda tapi tetap satu jua. Oleh karena itu Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, agama, adat-istiadat, budaya, dan lain-lain, tetapi menjadi satu kesatuan bangsa. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan budaya merupakan pikiran, akal budi, dan adat istiadat (Manurung et al., 2017). Kebudayaan menjadi ciri khas suatu bangsa yang melambangkan jati diri bangsa tersebut. Seiring perkembangan zaman, Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam. Untuk melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia dibutuhkan rasa nasionalisme yang tumbuh pada individu untuk menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap bangsa Indonesia. masing-masing budaya di setiap daerah di indonesia memiliki keunikan yang berbeda-beda. Kebudayaan akan selalu mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu sehingga masyarakat yang memiliki kebudayaan itu harus tetap mengenal, memelihara, dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki agar setiap perubahan yang terjadi tidak menghilangkan karakter asli dari kebudayaan itu sendiri. 

Upaya pelestarian budaya dilakukan guna berjalannya pembentukan karakter warga Negara pada suatu bangsa. Pembentukan karakter suatu Negara merukapan hal penting dilakukan untuk menjaga eksistenti suatu bangsa atau Negara. Eksistensi suatu bangsa akan bertahan apabila bangsa tersebut memiliki identitas yang kuat (Wulan & Affandi, 2016). Pembentukan karakter tidak dapat dibentuk dalam waktu singkat, diperlukan kateladanan, kesabaran, pembiasaan, dan pengulangan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia Karakter merupakan sifat, atau ciri watak seseorang yang membedakan dari orang lain (Widiyastuti, 2010). Pembentukan karakter harus sejak dini diberikan kepada siswa terutama pada jenjang sekolah dasar.

Pendidikan karakter dapat dilakukan pada proses pembelajaran atau lainnya. Dalam proses pembelajaran, karakter dapat dibentuk melalaui metode, materi dan strategi yang diberikan oleh guru dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan (Widiyastuti, 2010). Bukan hanya melalui proses pembelajaran saja, karakter juga dapat dibentuk melalui kegiatan sekolah yaitu ekstrakulikuler. Ekstrakulikuler merupakan Kegiatan ekstrakulikuler merupakan serangkaian kegiatan terprogram yang dilakukan diluar kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk menambah pengetahuan baru, mengasah kemampuan serta menumbuhkan minat dan bakat siswa (Apriyanti & Hidayat, 2019). Bukan hanya hal itu saja, kegiatan ekstrakulikuler merupakan salah satu kegiatan yang dapat menumbuhkan karakter siswa, termasuk diantaranya adalah kepemimpinan, disiplin, kejujuran, dan lain-lain. Hal tersebut juga dilakukan di Sekolah Indonesia, yang memiliki visi yaitu mewujudkan pusat pendidikan dan kebudayaan yang menghasilkan peserta didik: bertaqwa, berbudi, berbudaya, berprestasi, dan berwawasan global. Budaya sekolah yang ada di Sekolah Indonesia mencakup, budaya jujur, kerjasama, disiplin. Hal tersebut tidak terlepas dari peran guru atau pendidik Sekolah Indonesia. 

Kegiatan Pramuka dalam rangka peringati HUT Soempah Pemoeda 2021

Peranan guru di Sekolah sangat kuat dalam mempertahankan budaya Indonesia untuk membentuk karakter siswa. 

Guru berperan dalam usaha membantu dalam membentuk siswa yang berbudaya dan berkarakter, khusunya karakter Cinta Tanah Air Indonesia Dalam mempertahankan budaya Indonesia di Sekolah memerlukan konsep pembelajaran berbasis budaya, disamping konsep pem-belajaran peran guru juga dibutuhkan dalam mempertahankan Indonesia, hal tersebut merupakan upaya peran guru dalam mempertahankan budaya indonesia untuk membentuk karakter siswa di Sekolah. 

Konsep Pembelajaran Berbasis Budaya Indonesia

Pada saat pandemi, pemerintah telah meng-himbau rakyatnya untuk sosial distancing dengan menerapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal tersebut tentunya akan membatasi ruang gerak manusia untuk bersosial dan beraktivitas diluar rumah (Ahsani, 2020). Konsep pembelajaran pada saat pandemi ini, menerapkan sistem pembelajaran BDS (Belajar Di Sekolah) untuk siswa yang rumahnya dengan sekolah atau yang memakai kendaraan pribadi. Namun demikian, pembelajaran tersebut tetap dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan. Dan satu kelas dibagi 2 kelompok jadi, masuk secara bergantian. Selain BDS, juga menerapkan sistem BDR (Belajar Dari Rumah). Meskipun pembelajaran dilakukan dirumah, namun siswa tetap diberi dampingan oleh guru yaitu dengan cara menerapkan instrumen yang bisa memantau bahwa siswa tetap meningkatkan karakter mereka walau harus belajar dirumah. Belajar dirumah bisa dilakukan dengan panduan orangtua. Meski demikian, anak didik dirumah harus diberi edukasi yang positif dan produktif. Dengan adanya kemajuan digital yang sangat canggih, belajar dirumah bisa dilakukan dengan cara online tanpa harus bertatap muka dengan guru dan teman. Unruk itu, dalam mengoptimalkan sistem belajar dirumah bisa berjalan dengan baik harus diperlukan sarana dan prasarana yang baik pula seperti fasilitas internet dalam bentuk kuota belajar (Ahsani, 2020). Di Sekolah mempunyai prinsip pembelajaran yang berupa guru benar-benar mendidik peserta didik supaya mereka menjadi orang yang memiliki karakter sejak kecil. Kemudian, pada saat pembelajaran dirumah juga menyediakan feedback laporan orang tua. Indonesia yang memiliki keanekaragaman, dapat diterapkan lewat berbagai kesenian, yang ada. Kesenian inilah yang nantinya berkembang menjadi ciri khas . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan budaya merupakan pikiran, akal budi, dan adat istiadat (Manurung et al., 2017). Kebudayaan merupakan suatu hasil kegiatan dan penciptaaan akal budi manusia, yang meliputi: kepercayaan, kesenian, serta adat istiadat. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi berpendapat bahwa budaya adalah segala sesuatu yang di dapat dari akal budi manusia. (Damayanti, 2015). Karena tidak hanya bekerja dengan akal budinya saja, tetapi menggunakan konsep yang kuat, serta perasaan dan kehendak.

Budaya sebagai pendidikan, dalam hal menyampaikannya bukan sekedar dilakukan pada kompleks pendidikan saja, tetapi lingkungan keluarga juga mempengaruhi. Lingkungan juga memiiki peran yang sangat penting terhadap perilaku manusia, khususnya di lingkungan sekolah. Karena disekolah banyak harapan agar bisa memperbaiki perilaku siswa dari yang kurang baik menjadi lebih baik lagi, dan seterusnya. Sekolah juga memberikan lingkungan yang menunjang bagi kesuksesan dari pendidikan yang telah diharapkan.

Memperkenalkan budaya dilembaga pendidikan bisa diajarkan lewat mata pembelajaran seni budaya. Ada tiga macam model pembelajaran berbasis budaya antara lain : pertama, model pembelajaran berbasis budaya melalui permainan tradisional dan lagu-lagu daerah. Kedua, model pembelajaran berbasis budaya melalui cerita rakyat, dan yang ketiga yaitu model pembelajaran berbasis budaya melalui penggunaan alat-alat tradisional (Wuryandani, 2010).


Peran Guru dalam Mempertahankan Budaya Indonesia

Keaneka ragaman budaya yang ada di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya (Abdullah, 2016). Peran guru dalam mempertahankan budaya Indonesia sangat kuat untuk membentuk karakter siswa. Apalagi di tengah-tengah kehidupan dengan warga Negara asing, pasti muncul kekhawatiran akan hilangnya budaya negeri sendiri. Budaya sekolah merupakan kualitas sekolah didalam kehidupan sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai-nilai dan spirit tertentu (Eva, 2016). 

Hasil karya yang mengandung keindahan dan dapat di ekpresikan dengan sebuah gerakan, suara, dan ekspresi lainnya adalah kesenian (Fauzan & Nashar, 2017). Kesenian dapat di kembangkan melalui sebuah pengetahuan-pengetahuan yang nantinya menjadi budaya ataupun tradisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. factor lingkungan menjadi salah satu peran yang sangat penting terhadap perilaku manusia, khususnya ada pada lingkungan sekolah. Peran guru dalam mempertahankan budaya Indonesia adalah dengan tetap memperkenalkan budaya Indonesia di dalam lembaga pendidikan tersebut. Guru bisa berperan mengajarkan kesenian lewat mata pelajaran seni budaya, ada tiga macam model pembelajaran berbasis budaya, antara lain bisa dengan melalui permainan tradisional, lagu-lagu daerah, penggunaan alat-alat tradisional dan lain sebagainya (Wuryandani, 2010). Dengan adanya mata pelajaran seni budaya, siswa menjadi sering mempelajari bagaimana kebudayaan Indonesia itu, dan guru juga berperan memperkenalkan dan mengajarkan kebu-dayaan apa saja yang ada di Indonesia. Karena guru memiliki komponen dalam pembentukan budaya sekolah dan juga memiliki peranan yang penting untuk mencapai suatu tujuan pendidikan (Mulyati et al., 2013).

Peran guru dalam mempertahankan budaya Indonesia, guru juga tidak hanya mengajarkan tentang pengetahuan umum saja, akan tetapi juga mengajarkan kesenian. Kesenian sendiri diajarkan melalui Kegiatan ekstrakulikuler yang dapat menambah wawasan pengetahuan siswa tentang kebudayaan Indonesia. Meliputi kesenian Tari daerah , alat music tradisional, membuat hasta karya termasuk melukis batik yang menjadi ciri khas Negara Indonesia. Tidak bernaung di langit Indonesia bukan berarti peserta didik kehilangan akar budaya dan tradisi sekolah yang melahirkan banyak alumni, dengan begitu cukup membekali mereka dengan kesenian yang memadai. Guru sebagai fasilitaor dalam mempertahankan budaya Indonesia tentunya dengan terus memperkenalkan banyak budaya dan kesenian bangsa Indonesia melalui kegiatan ekstrakulikuler ataupun dengan pelajaran seni budaya tersebut dengan tujuan agar peserta didik mampu mempelajari bahkan mempraktekkan kesenian ataupun budaya Indonesia. 

Peran guru dalam Mempertahankan Budaya Indonesia untuk Membentuk Karakter Siswa di Sekolah

Pendidikan berperan penting dalam perkembangan karakter seseorang. Karena melalui pendidikan menjadi sarana dalam membangun karakter dan watak seseorang dengan cara pembelajaran yang baik atau terarah. Pendidikan berkarakter dilakukan secara terpadu sesuai jalurnya, baik dengan cara formal, informal maupun non formal (Anam & Sakiyati, 2019). 

Semua usaha yang bisa dilakukan guru/pendidik dalam mempengaruhi karakter siswanya merupakan definisi dari pendidikan berkarakter. Guru berperan dalam usaha membantu sesorang/peserta sehingga mereka bisa memper-hatikan, memahami, dan melakukan nilai-nilai yang berkaitan dengan etika di Sekolah.

Peranan Guru di Sekolah sangat kuat dalam mempertahankan budaya Indonesia untuk membentuk karakter siswa

Ditengah-tengah kehidupan dengan warga negara asing pastilah menjadi kekhawatiran akan hilangnya budaya Negara sendiri. Tidak bernaung dilangit Indonesia bukan berarti peserta didik kehilangan akar budaya dan tradisi sekolah yang melahirkan banyak alumni ini membekali mereka dengan kesenian yang cukup memadai. Peserta didik mahir memainkan musik, tarian daerah, dan membuat hasta karya termasuk melukis batik. Keceradasan memang diperlukan, namun karakter kecerdasan tersebut tidak akan bermakna. Pendidikan karakter yang ada di Sekolah tidak hanya didapatkan dalam proses kegiatan pembelajaran saja, akan tetapi pendidikan karakter juga bisa didapatkan melalui kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan ekstra-kulikuler merupakan serangkaian kegiatan ter-program yang dilakukan diluar kegiatan pembe-lajaran yang bertujuan untuk menambah pengetahuan baru, mengasah kemampuan serta menumbuhkan minat dan bakat siswa.

Ada beberapa karakter yang bisa diterapkan di sekolah, antara lain yaitu :

  1. KedisiplinanPeserta didik harus memiliki karakter disiplin dengan cara melakukan kebiasaan yang bisa mencerminkan sikap disiplin terhadap peserta didik. Sikap disiplin yang timbul dalam diri peserta didik atas kemauan sendiri tanpa ada unsur keterpaksaan dari orang lain. Di sekolah menerapkan tata tertib sekolah yang harus dilakukan peserta didik agar mampu menumbuhkan karakter kedisiplinan (Fitriyah, 2018)
  2. Cinta budaya. Sekolah merupakan wadah kreativitas agar siswa tidak hanya pandai dalam bidang akademik tetapi juga wadah imajinasi dan kreasi siswa. Hal itu dapat dilihat bahwa Sekolah memiliki program ekstrakurikuler tari. Pentingnya dalam memahi belajar tari di jenjang sekolah dasar (SD) tidak hanya di nilai dari estetikanya saja, melainkan juga di pahami melalui pembuatan ide sampai ide tersebut dapat terealisasikan. Mulai dari pemilihan tari yang cocok untuk di ajarkan di jenjang sehingga dapat di apresiasi melalui pertunjukan pensi yang di gelar setiap akhir tahun pelajaran. Karena ditengah-tengan hidup diantara orang lain, hal itu bisa memberikan kebanggaan terhadap Bangsa Indonesia, dan bisa memperkenalkan budaya-budaya Indonesia kepada masyarakat luar negeri. Tujuan diadakannya pantas seni akhir tahun pelajaran guna sebagai upaya melestarikan serta mengembangkan budaya Indonesia Tujuan adanya pendidikan dan kebiasaan yang dilakukan di lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga yaitu menambah cinta terhadap budaya yang abadi Indonesia. 
  3. Cinta Tanah Air. Mempunyai rasa kecintaan terhadap tanah air Indonesia merupakan hal sangat penting yang harus dimiliki peserta didik, karena sebagai perwujudan kebanggaan terhadap tanah airnya, rela berkorban bagi bangsa dan negaranya, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa. Seseorang yang memiliki rasa cinta tanah air akan melakukan segala hal untuk melindungi, menjaga kedaulatan, dan kehormatan. Rasa cinta tanah air yang dimiliki seseorang inilah yang akan mendorong seseorang dalam membangun negara yang penuh dedikasi. Maka dari itu, rasa cinta terhadap tanah air perlu dikembangkan disetiap jiwa individu yang termasuk warga negara supaya tujuan hidup bersama bisa tercapai (Tarmizi, 2017).

Terdapat berbagai macam kegiatan ekstra-kulikuler yang mampu membentuk karakter cinta tanah air yang ada di Sekolah Indonesia bisa melalui kegiatan PASKIBRAKA, pramuka, dan kegiatan-kegiatan ektrakulikuer lainnya yang mampu mengasah kemampuan siswa. Kegiatan tersebut tentu tidak lepas dari peran guru yang berperan ganda dalam melestarikan dan membentuk karakter siswa di Sekolah

Kesimpulan

Konsep pembelajaran dalam masa pandemi ini menerapkan sistem pembelajaran BDS (Belajar Di Sekolah) dan BDR (Belajar Di Rumah). Selain itu, guru juga memiliki peran dalam mempertahankan budaya Indonesia. Yaitu dengan cara mengajarkan kesenian. Kesenian sendiri diajarkan melalui Kegiatan ekstrakulikuler yang dapat menambah wawasan pengetahuan siswa tentang kebudayaan Indonesia. Kesenian tersebut meliputi Tari daerah, alat music tradisional, membuat hasta karya termasuk melukis batik yang menjadi ciri khas Negara Indonesia. Dalam pelestarian tersebut tentu saja terdapat campur tangan dari guru yang selalu membagi ilmu pengetahuan kepada siswanya mengenai kebudayaan Indonesia. pembentukan karakter sudah di tanamkan sejak memasuki jenjang taman kanak-kanak dan bingkai dalam berbagai macam bentuk kegiatan. Karakter yang diterapkan dalam sekolah tersebut meliputi kedisiplinan, cinta budaya, dan cinta tanah air yang berupa ekstrakulikuler PASKIBRAKA, yang bersemboyan “Satu untuk semua, semua untuk satu”. Dengan begitu diharapkan semua guru dapat mempertahankan budaya indonesia untuk membentuk karakter siswa.

Penulis adalah pengajar di SMPK Amal dan Kurban (Amkur) Sambas, Kalimantan Barat.

Share: Youtube

Patrilinear dan Matrilinear di Lio Ende

 oleh Ludger S

Lio merupakan satu wilayah adat di Kabupaten Ende yang terdiri dari beberapa suku dan clan adat. Beberapa sebutan yang sering dilafalkan seperti Lio Utara yang tersebear di kecamatan Wewaria, Maurole, Kota Baru dan Detukeli. Lio Tengah yang tersebar di kecamatan Detusoko, Kelumutu dan sebagian Wolowaru dan sebagian Ndona Timur. Lio Barat yang mendiami kecamatan Nonda dan Ndona Timur. Lio Selatan yang mendiami kecamatan Wolowaru, Wolojita, sebagian Ndona Timur. Lio Timur yang tersebar di kecamatan Lio Timur dan Ndori. 

Wilayah Lio terkenal dengan multikulturalnya. Beberapa suku (Unggu, Mbuli, Lise, Moni, dll), dengan budaya, dialeg bahasa, beberapa agama, dan tradisi sangat memeriahi kehidupan sehari-hari masyarakat Lio. Masyarakat yang beragam ini hidup dan berinteraksi dengan nyaman tanpa adanya perbedaan yang meretakkan integrasi ke-Lio-an mereka. Sebagai makhluk sosial, tentu saja mereka bersosialisasi dengan mengatasnamakan teman, kepentingan, dan perasaan. Integrasi ini juga termasuk adanya pernikahan antara dua orang yang memiliki latar belakang suku yang berbeda.

Siklus kehidupan dari kelahiran hingga kematian selalu menjadi suatu sejarah kehidupan dari setiap individu manusia. Diantara kelahiran dan kematian tentu ada perkawinan. Disetiap tatanan sosial budaya, perkawianan dikategorikan sebagai matrilinear, patrilinear dan multilinear. Sebagai penekanan disini matrilinear adalah struktur masyarakat geneologis pertalian darah menurut garis ibu sedangkan patrilinear adalah struktur masyarakat geneologis pertalian darah menurut garis ayah dan multilinear adalah struktur masyarakat geneologis pertalian darah menurut garis ayah dan juga ibu. Apabila patrilinear dan matrilinear bersatu, maka imbas yang ditimbulkan adalah ke sang anak. Sang anak akan kesulitan untuk mendapatkan garis keturunan dari ayah atau ibunya karena jika berada di daerah kedua orang tuanya, maka ia tidak dianggap asli dari daerah keduanya orangtua. Hal ini terjadi karena apabila ia berada di daerah sang ibu yang menganut patrilinear namun suaminya tidak berasal dari daerah tersebut maka anak mereka tidak dianggap mendapatkan garis suku dari sang ibu, begitu pula bila berada di daerah sang ayah yang menganut matrilinear.

Hal diatas adalah contoh negatif dari perkawinan multikultural. Namun jika ditilik melalui kacamata yang berbeda, perkawinan multikultural akan berdampak bagus bagi anak mereka karena sang anak akan belajar menerima perbedaan di dalam hidupnya secara langsung. Ia mampu menghargai budaya-budaya, orang-orang, bahasa-bahasa yang berbeda, mampu beradap tadi dengan baik, dan mampu memiliki sikap toleransi yang baik.

Jadi anak dari hasil perkawinan multikultural bukanlah anak "gadungan" seperti kebanyakan orang awam menyebutnya, terkhusus di daerah pedalaman yang mendapat tetangga yang memiliki anak dari hasil perkawinan multikultural.

Patrilinear dan Matrilinear di Lio

Seperti budaya lainnya di berbagai belahan dunia, di Lio juga mempunyai budaya perkawinan. Dari setiap perkawinan tentunya setiap pasangan menginginkan memiliki anak, cucu yang selanjutnya menjadi generasi penerus keluarga. Ini tentu menjadi kebahagiaan tersendiri. 

Sebagian suku di Lio menganut patrilinear, sebagaiannya matrilinear, mengacu pada jenis perkawinan adat. Apakah jenis perkawinan "dei ngai pawe ate (suka sama suka), ruru gare (lamaran), pa'a tu'a (perkawinan yang terjadi karena perkawinan generasi terdahulu)". 

Baca Juga : Perkawinan Adat Lio

Dari jenis perkawinan yang dilaksanakan terdahulu sangat mempengaruhi hak anak terhadap garis keturunan ayah atau garis keturunan ibu. Ditiap jenis perkawinan adat tersebut kita akan mengenal hantaran atau mahar atau belisnya. Belis atau mahar menjadi unsur penentu apakah anak mereka menjadi patrilinear atau matrilinear.

Patrilinear

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Kata ini sering kali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang berarti garis. Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. 

Sementara itu, patriarkat berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu pater yang berarti "ayah", dan archein yang berarti memerintah. Jadi, patriarki berarti kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Sebagian besar beberapa suku di Lio menganut Patrilinear atau mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Seorang gadis dengan atau tanpa mahar akan meninggalkan keluarganya dan bersatu serta menjadi bagian dari keluarga suami. Anak - anak yang lahir dari hasil perkawinan mereka menjadi rumpun keluarga besar keluarga laki - laki. Mereka akan bekerja dilahan atau kebun milik keluarga ayah. Hubungan kekerabatan dengan keluarga ibu akan tetap terjalin dalam hal "wurumana". Seperti pada saat kelahiran, pernikahan anak - anak mereka peran paman atau saudara dari ibu sangat besar. 

Matrilinear

Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini sering kali disamakan dengan matriarkhat atau matriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu mater yang berarti ibu, dan linea yang berarti garis. Jadi, matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu matriarkhat berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu mater yang berarti ibu, dan archein yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan.

Baca Juga : Wurumana

Dalam adat matrilineal, anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi yang lebih besar daripada garis keturunan bapak

Seorang anak menjadi matrilinear disebabkan dari jenis perkawinan ayah dan ibu mereka. Seperti pada jenis perkawinan suka sama suka atau "dei ngai pawe ate". Perkawinan jenis ini tidak menuntut belis atau mahar. Seberapapun yang dihantar oleh laki - laki tidak menjadi hitungan. Kelak berdampak pada anak, dimana anak akan menjadi matrilinear yang berhak atas warisan keluarga ibu mereka dan dibawah pengawasan sang paman atau saudara laki-laki dari ibu. Sang suami atau bapak terkesan kawin masuk. 

Kelak jikalau ada pembicaraan lanjutan dari keluarga laki-laki, maka anak pertama dan kedua tetap menjadi bagian dari keluarga ibu. Dalam sebutan lokal di Lio dikenal dengan sebutan "ana wawo pare". Sedang anak yang ke-3 dan seterusnya menjadi patrilinear. Bagaimana kalau anak hanya 1 atau 2 orang? Anak tersebut tetap menjadi matrilinear.  


Share: Youtube

RPJMD KABUPATEN ENDE TAHUN 2014-2019

Kebijakan Pembangunan Kabupaten Ende Tahun 2014-2019

Share: Youtube

Cerita Rakyat "Ata Wolo"

 Oleh : Ludger S


Suatu ketika hiduplah satu keluarga yang juga sebagai tuan tanah atau sebagai mosalaki (tua adat). Sebut saja namanya, Beke. Dia mempunya tiga orang anak, dua putra dan satu putri. Kedua putra bernama "Ndange dan Ngenda. Sedangkan yang putri sebut saja "Kibhi". Ketiga anaknya masing - masing sudah berkeluarga. 

Menjadi kebiasaan yang wajib bahwa setiap tahun dikmapung Beke harus melaksanakan seremonial adat tahunan yang disebut "Nggua". Ini dilakukan sebagai simbol syukuran atas keberhasilan dalam kehidupan mereka. Keberhasilan itu berupa hasil panen yang melimpah, kehidupan mereka yang diberkati oleh Tuhan dan leluhur. Nggua juga sebagai simbol bahwa setelah acara seremonial tersebut dimulainya musim tanam untuk tahun berikutnya. 

Baca Juga : Bulan dalam Bahasa Lio

Sebelum dimulainya acara Nggua mereka harus menyiapkan daging dari binatang atau hewan yang didapati dari hutan atau dalam bahasa Lio disebut, "nake oto". Suatu malam Beke menginstruksikan kepada kedua putranya untuk berburu daging hutan. Besok setelah ada daging hutan akan dimulainya seremonial adat atau "nggua".

Pagi - pagi benar berangkatlah Ndange dan Ngenda untuk berburu. Dengan beberapa ekor anjing piaraan mereka mulai menyusuri hutan terdekat. Akhirnya sebelum matahari tepat diatas kepala mereka sudah mendapat tiga ekor musang. Sambil beristirahat dipinggir kali kedua kakak beradik mulai memikirkan bagaimana cara membagi hasil buruan mereka.

Ndange, sebagai kakak mulai membagi musang tersebut. Ini kamu, ini saya lalu yang ini siapa? Dicobanya hal yang sama beberapa kali. Ini kamu, ini saya lalu yang ini untuk siapa? Dalam bahasa Lio, ina kau, ina aku na eo ina sai? 

Sudah beberapa kali sang kakak Ndange membagi itu, tetap tidak terbagikan yang satu ekornya. Akhirnya sang adik Ngenda mengambil alih dan berkata, Kak, coba saya bagi. Sang adik mulai membagikan hasil buruan. "ina kae, ina aku ina sai? Dilakukannya berulang - ulang beberapa kali. Tetapi tidak ada hasilnya. Yang satu ekornya tetap tidak terbagikan. 

Sementara itu dikampung sang bapak, Beke sudah mulai gelisah. Matahari sudah condong kebarat sudah mendekati bibir gunung di belakang kampung. Bapak Beke bertanya ke orang - orang yang ada, apakah kamu melihat Ndange dan Ngenda? Semua menjawab tidak tau dan tidak ketemu dengan kedua anaknya. Dalam kegelisahan akhirnya Bapak Beke meninta bantuan kepada suami anaknya untuk mencari sampai ketemu kedua putranya. 

Baca Juga : Hukum Adat Lio

Dengan semangat sang suang dari anak putrinya pergi mencari kedua iparnya. Ip[ar dalam bahasa Lio dipanggil dengan sebutan "Eja". Akhirnya sambil menyusuri daerah hujan dia berinisiatif untuk memanggil kedua ejanya. Ejaaaaa....... eja......eja.... Beberapa saat kemudian dia menemukan kedua ejanya dipinggi kali. Kedua ejanya langsung menyambut dengan pertanyaan. "ngere emba ai? (bagaimana?) Sambil terengah - engah sang eja menjawab, "aku eo ema si'i gae miu ga. leja leu rewa na miu iwa tei rewo". (saya disuruh bapak untuk mencari kamu. Matahari sudah condong kebarat tetapi kamu belum muncul kekampung).

Ndange, "ngere ina eja, kami na rewa senea dapa luwu. ta,... dapa luwu eko telu, kami menga imu rua we". (begini eja, kami sudah dapat jatah sejak tadi tetapi yang didapat 3 ekor sedangkan kami hanya 2 orang). Sambung ejanya. Nah coba bagi diantara kamu dua. Ndange langsung ambil alih untuk membaginya. Kembali dengan rumusan yang sama, ini kamu, ini saya ini siapa? Berulang kali Ndange lakukan itu. Ganti dengan sang adik Ngenda. Ina kae, ina aku ina sai? Ngenda juga mengalami hal yang sama, tidak bisa membagi ketiga ekor musang untuk dau orang. 

Akhirnya sang eja meminta untuk membagikan hasil buruan kakak beradik itu. Sang eja duduk bersila dikedua kakak beradik lalu lakukan pembagian buruan itu. Ini eja Ndange, ini eja Ngenda ini saya. Akhirnya dengan senyum puas kedua kakak beradik berkata, mesi kau mai si nenea na deki rewa ghea nua ga kita na. (coba saja kamu datang sedari dati pasti kita sudah sampai dikampung). Akhirnya dengan senyum puas mereka bertiga meninggalkan hutan menuju kampung. Bapak Beke yang sudah dari awal menunggu akhirnya puas dengan kedatangan 2 putra dan anak menantunya. 

 

 

Share: Youtube

Mengenal Gaslighting dan Contoh Perilakunya

Gaslighting  adalah tindakan memanipulasi seseorang dengan memaksa korban untuk mempertanyakan pikiran, perasaan dan peristiwa yang dialami. Istilah gaslighting berasal dari drama dan film yang berjudul “Gaslight”. Dalam film tersebut, tokoh suami memanipulasi sang istri untuk meyakinkannya bawa ia akan gila. Baik disengaja maupun tidak, gaslighting adalah salah satu bentuk manipulasi. Ini dapat terjadi dalam hubungan kerja, pertemanan, keluarga, dan pasangan.

Tanda – tanda gaslighting

Dilansir dari Healthline, menurut Robin Stern, PhD, penulis buku The Gaslight Effect: How to Spot and Survive the Hidden Manipulation Others Use to Control Your Live, berikut adalah tanda-tanda seseorang menjadi korban gaslighting :

·        Merasa diri berbeda 

·        Menjadi lebih cemas dan tidak percaya diri

·        Sering mempertanyakan perasaan sendiri 

·        Merasa selalu salah 

·        Sering meminta maaf

·        Merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak bisa mengidentifikasinya 

·        Sering mempertanyakan sikap dan perilaku sendiri 

·        Merasa terisolasi dari teman dan keluarga

·        Merasa sulit membuat keputusan

·        Merasa putus asa

·        Merasa sulit menikmati aktivitas yang disukai

Contoh gaslighting

·        Meremehkan perasaan 

·        Memberitahu bahwa ada orang-orang yang berbicara buruk tentang korban

·        Mengatakan suatu hal yang kemudian mereka bantah

·        Menyangkal peristiwa yang dialami korban

Apa yang harus dilakukan saat menjadi korban gaslighting?

Para pelaku gaslighting akan membuat korbannya meragukan diri sendiri, bahkan kewarasannya. Untuk gambaran yang lebih jelas, beberapa contoh tindakan gaslighting adalah sebagai berikut:
Menyadari bahwa diri sendiri adalah korban gaslighting adalah langkah awal yang penting untuk mencari pertolongan.

Langkah selanjutnya, korban bisa menemui psikiater, psikolog, atau terapis untuk melakukan konsultasi.

Para profesional tersebut dapat membantu korban memahami dan membantu korban keluar dari keraguan dan ketakutan yang dialami.

Korban akan diajak untuk belajar mengelola keraguan dan kecemasan serta mengembangkan keterampilan untuk mengatasinya.


Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook

Gerunion Creator

Wikipedia

Hasil penelusuran

Adsense

Recent Posts

Pepatah Lio

  • Ni Sariphi Tau Wini, Tuke Sawole ngara du nggonde.
  • Lowo Jawu Ae Ngenda.
  • Ndange Beke dan Ngenda Beke.