berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Hukum Adat Lio

Oleh : Ludger S


Hukum adat
 adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang tersebar menurut ulayat adat istiadatnya di Nusantara ini. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
.

Definisi Hukum Adat

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, menjelaskan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku. Prof. Djojodigoeno  menjelaskan kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur)lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).

Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya ditoleransi. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.

Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

Lingkungan Hukum Adat

Lingkungan hukum adat di wilayah Lio tersebar dibeberapa kecamatan sesuai hak atas ulayat masing - masing.  Kecamatan Detusoko ; Wologai, Nua One, Detusoko, Ndito, Saga, Wolofeo, Wolomage, Ranga, Wolotolo, Roa, Wolomoni, wologeru dan lainnya. Di Kecamatan Wolowaru ; Lise, Mbuli, Jopu. Di Kecamatan Ndori ; Ndori, Maubasa, Lise dan lainnya. Di Kecamatan Lio Timur ; Lise, mego dan lainnya. Di Kecamatan Wolojita ; Nggela, Pora, Tenda, dan lainnya. Di Kecamatan Ndona Timur ; Roga, Kurulimbu, Sokoria dan lainnya. Di Kecamatan Wewaria ; Nua Ngenda, Lowo Daga, Fataatu, Nuabaru, Wolomude, Tanali, Potu, Anaranda, dan lainnya. Di Kecamatan Maurole ; Kedoboro, Detuara dan lainnya. Di Kecamatan Kota Baru ; Mula Watu Baru, Pise, Ndondo, Tiwusora dan lainnya. Di Kecamatan Detukeli ; Nggesa, Nida, Watunggere, Wolobalu, Kanganara, Detukeli, Nua Pu dan lainnya. Di Kecamatan Ndona ; Ndona, Wolotopo, Ngalupolo dan lainnya.


Ini didasarkan pada garis keturunan Lio yang pada umumnya adalah keturunan dari Lepembusu (maaf tidak dijelaskan anak keturunan Lepembusu).


Penegak  Hukum Adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat. Dalam bahasa lokal Lio pemangku adat lebih dikenal dengan istilah “Mosalaki” dan atau "Atalaki" (pemangku adat laki-laki) dan “Ine Ria Fai Ngga’e” (pemangku adat perempuan) yang sekarang lebih populer dengan sebutan “ata ine”.
Tidak semua mosalaki/atalaki berperan sebagai pengambil keputusan menegakkan hukum adat. Mosalaki yang mempunyai peranan untuk menegakkan hukum adalah “mosalaki ria bewa”. Istilah-istilah untuk penegak hukum ini “ria sai ndeto peto au bo" (kebesaran turun temurun sejak adanya hukum adat)keso besi rero mbelo (sebagai penentu yang benar dan yang salah), benar melanggar atau tidak melanggar, atau dalam tatanan hukum nasional menyerupai dengan hakim. 
Dengan ditetapkan jenis pelanggaran serta sanksi yang ditetapkan, mosalaki ria bewa memberikan kesempatan kepada mosalaki pidhi wiwi laki lapi lema ongga (humas) menyampaikan jenis sanksi yang ditetapkan kepada yang didakwah bersalah.

Jenis Hukum Adat
Sala ria leko bewa (pelanggaran besar)
Dari beberapa sumber, berbagai macam kesalahan dikategorikan dalam kesalahan besar yakni mengancam keberadaan mosalaki seperti :
1. Mbou ria ramba bewa (merampas hak dan kebesaran mosalaki)
Dibeberapa kampung adat telah dikuasakan atas ulayat kepada garis keturunan tertentu di kampung tertentu. Kepada mereka diberikan hak atas tanah, melaksanakan beberapa seremonial adat atau lainnya. Tetapi kepada mereka tidak diberikan tanggungjawab tertentu pula, seperti tetap memberikan hasil panenan mereka ke ulayat induk pada saat tertentu. Jikalau mereka tidak melaksanakan tanggungjawab tersebut, mereka disebut dengan pelanggaran hukum adat mbou ria ramba bewa.

2. Pi singi Re'te Langi (pemindahan batas ulayat oleh kampung adat tetangga)
Jenis pelanggaran seperti ini dilakukan mediasi antar ulayat adat. Bila tidak saling menghargai atau saling mengklaim atas kepemilikan batas ulayat sengketa bisa terjadi peperangan. Siapa yang menang akan menguasai tanah sengketa tersebut.

3. Noka laki oa ongga (mencaci maki mosalaki)
Jenis pelanggaran ini berdampak pada pengusiran pelaku dengan semua anggota keluarganya.

Ola sala leko kobe leja (Pelanggaran dalam keseharian)
Jenis pelanggaran ini yang terjadi dalam masyarakat dalam kesehariannya.
·        pela pani (selingkuh),
·        naka (curi),
·        pe ata polo (menuduh orang suanggi),
·        mbou ramba (rampas hak),
·        rore/wela (membunuh),
·        noka oa (caci maki),
·        jengi nula (membakar),
·        langga lelo (melanggar),
·        kela rewo (menuduh),

Jenis Sanksi Adat
Beberapa hukuman yang bisa dijatuhkan sanksi kepada yang dinyatakan salah :
·         wale (ganti),
·         poi (denda)
·         pesa ka (makan minum),
·         mi mina (perdamaian),
·         rago kola (usir),
·         teo tipu (memberi tanda),
·         gelu toko (ganti tulang)
·   dhoa kota langga kasa (melewati batas hak adat), ini khusus untuk yang pelanggaran ringan tapi langsung ke aparat penegak hukum formal, dan aparat penegak hukum formal mengembalikan kasus tersebut ke penyelesaian lokal maka sebagai pelapor akan dikenakan jenis hukum adat ini.
·         eko we’o (binatang)
·         wea ngawu (emas lokal)
·         uma rema (kebun),
·         lawo-lambu (pakaian),

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

Aneka Hukuman dan Sanksi Adat
Maaf tidak dijelaskan disini,....

Jalannya Penegakkan Hukum Adat
Maaf tidak dijelaskan disini,....
Orang Lio juga mempunyai semacam advokat. Dimana untuk membicarakan penyelesaian pelanggaran diserahkan kepada orang yang dipercayakannya.

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Sejak Indonesia Merdeka, secara langsung beberapa pelanggaran berat diserahkan ke tatanan Hukum Formal yang berlaku di Indonesia. Sedangkan pelanggaran ringan yang yang bisa diselesaikan akan diselesaikan secara adat. Pelanggaran berat misalnya membunuh.

Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook