Definisi Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, menjelaskan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku. Prof. Djojodigoeno menjelaskan kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya ditoleransi. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.
Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Lingkungan Hukum Adat
Lingkungan hukum adat di wilayah Lio tersebar dibeberapa kecamatan sesuai hak atas ulayat masing - masing. Kecamatan Detusoko ; Wologai, Nua One, Detusoko, Ndito, Saga, Wolofeo, Wolomage, Ranga, Wolotolo, Roa, Wolomoni, wologeru dan lainnya. Di Kecamatan Wolowaru ; Lise, Mbuli, Jopu. Di Kecamatan Ndori ; Ndori, Maubasa, Lise dan lainnya. Di Kecamatan Lio Timur ; Lise, mego dan lainnya. Di Kecamatan Wolojita ; Nggela, Pora, Tenda, dan lainnya. Di Kecamatan Ndona Timur ; Roga, Kurulimbu, Sokoria dan lainnya. Di Kecamatan Wewaria ; Nua Ngenda, Lowo Daga, Fataatu, Nuabaru, Wolomude, Tanali, Potu, Anaranda, dan lainnya. Di Kecamatan Maurole ; Kedoboro, Detuara dan lainnya. Di Kecamatan Kota Baru ; Mula Watu Baru, Pise, Ndondo, Tiwusora dan lainnya. Di Kecamatan Detukeli ; Nggesa, Nida, Watunggere, Wolobalu, Kanganara, Detukeli, Nua Pu dan lainnya. Di Kecamatan Ndona ; Ndona, Wolotopo, Ngalupolo dan lainnya.
Ini didasarkan pada garis keturunan Lio yang pada
umumnya adalah keturunan dari Lepembusu (maaf tidak dijelaskan anak
keturunan Lepembusu).
Dari beberapa sumber, berbagai macam kesalahan dikategorikan dalam kesalahan besar yakni mengancam keberadaan mosalaki seperti :
1. Mbou ria ramba bewa (merampas hak dan kebesaran mosalaki)
Dibeberapa kampung adat telah dikuasakan atas ulayat kepada garis keturunan tertentu di kampung tertentu. Kepada mereka diberikan hak atas tanah, melaksanakan beberapa seremonial adat atau lainnya. Tetapi kepada mereka tidak diberikan tanggungjawab tertentu pula, seperti tetap memberikan hasil panenan mereka ke ulayat induk pada saat tertentu. Jikalau mereka tidak melaksanakan tanggungjawab tersebut, mereka disebut dengan pelanggaran hukum adat mbou ria ramba bewa.
2. Pi singi Re'te Langi (pemindahan batas ulayat oleh kampung adat tetangga)
Jenis pelanggaran seperti ini dilakukan mediasi antar ulayat adat. Bila tidak saling menghargai atau saling mengklaim atas kepemilikan batas ulayat sengketa bisa terjadi peperangan. Siapa yang menang akan menguasai tanah sengketa tersebut.
3. Noka laki oa ongga (mencaci maki mosalaki)
Jenis pelanggaran ini berdampak pada pengusiran pelaku dengan semua anggota keluarganya.
Ola sala leko kobe leja (Pelanggaran dalam keseharian)
Jenis pelanggaran ini yang terjadi dalam masyarakat dalam kesehariannya.
- Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
- Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
- Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)