Oleh : Ludger S
Nggua Ria, tradisi terpendam dari Kaki Gunung Lepembusu
Gawi leja
Pulau
Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kekayaan dan khasanah
budaya yang sangat beragam. Pulau yang terbentang dari Labuan Bajo di bagian
barat hingga Larantuka di ujung timur menyimpan beragam tradisi dan pesona yang
masih terpendam belum banyak diungkap, salah satunya adalah sebuah kampong adat
bernama Wologai.
Kampung
adat Wologai terletak di Desa Wologai Tengah yang merupakan salah satu desa di
Kecamatan Detusoko, Kab. Ende, Flore, Nusa Tenggara Timur. Pada saat ini desa
tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa bernama Emilianus Linu.
Secara
geografis Desa Wologai Tengah terletak pada ketinggian 1045 dpl dengan curah
hujan 3219 mm dan suhu rata-rata 350 C dengan luas wilayah administrasi desa
kurang lebih 64 km2 dan terdiri dari 4 dusun, yaitu Dusun Wologai, Faunaka,
Resetlemen dan Pasado’o.
Batas
wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Kebesani, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Roga, sebelah barat berbatasan dengan Desa Wologai, dan
di sebelah timur berbatasan dengan Desa Wologai Timur.
Sebagai
sebuah kampong adat, Situs perkampungan adat Wologai berada persis pada sebuah
puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh 7 situs rumah adat dan pada bagian
puncak bukitnya terdapat sebuah Kanga/Hanga sebagai pusat dari ritual Gawi
(tarian tandak) serta sebuah bangunan khas bernama Keda, dan situs kampong adat
tersebut terpisah dari perkampungan masyarakat secara umum yang berada di tepi
jalan dan pada bagian depan kampong.
Memasuki
kampong adat Wologai, sebuah suasana lain langsung terasa, seolah berada dan
kembali ke abad lalu, demikian seperti diungkapkan oleh salah seorang
penjelajah dari National Geographic yang pernah mampir ke kampong adat tersebut
sekian tahun silam.
Selain
situs kampong adat, Wologai ternyata menyimpan sebuah daya tarik lain, terutama
atraksi budaya bernama Nggua Ria yang selalu dilaksanakan setiap tahunnya pada
tanggal 25 Agustus s/d 15 September 2012.
Dalam
kehidupan sehari-hari, secara structural, masyarakat Wologai terbagi menjadi 3
bagian dalam struktur adatnya, yaitu:
1. Mosalaki
Mosalaki adalah pemegang kekuasaan
secara adat dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakatnya,
yang berdasarkan tugas dan fungsinya terbagi menjadi beberapa bagian, antara
lain:
1) Mosalaki pu’u,
2) Mosalaki ria bewa,
3) Mosalaki pu maru
4) Mosalaki kago kao
5) Mosalaki pati tali boka
bela
6) Mosalaki paki te’do
7) Mosalaki sa’o le’pa
8) Mosalaki koe kolu
9) Mosalaki kaka longgo
10) Mosalaki boge geto
dan lainnya
2. Ine Ria Fai Ngga’e
Ine ria fai ngga’e
(nyonya besar ) memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan seremonial dalam
rumah adat seperti “rase pare”, s’re are tana nasu uta watu, dan lainnya. Ine
ria fai ngga’e adalah tunggal. Sedangkan di beberapa rumah adat lainnya hanya
disebut dengan “ata ine” (mama). Proses menjadi ata ine, sama dengan proses
penobatan mosalaki
3. Ana Kalo Fai Walu
Adalah anak dari ine ria
fai ngga’e, ata ine dan para mosalaki. Dalam ritual Nggua Ria tersebut,
keseluruhan struktur masyarakat adatnya tersebut dapat dilihat dan memudahkan
siapa saja untuk dapat mengetahui lebih dekat sebuah kearifan lain dari
Komunitas Masyarakat Adat di Kampung Wologai.
Nggua
Ria dalam tradisi masyarakat adat di Wologai merupakan sebuah ritual yang harus
dan wajib untuk dilaksanakan dan tidak boleh mengurangi salah satu ritual atau
prosesinya, karena dipercaya akan mendatangkan akibat yang buruk bagi kampong
dan masyarakatnya.
Susu Nggua Nama Bapu, Sakiwa Sedeka Ma’e Duna Rewo,
Susu Ma’e Du’u Nama Dute.
Sebuah kalimat dalam bahasa Suku Lio yang sarat makna, menjadi sebuah pegangan
bagi masyarakat dalam Komunitas Adat di Wologai. Kalimat yang dapat diartikan
bahwa Pesta Adat (Nggua=Pesta dan Ria=Besar) setahun sekali harus dan wajib
untuk dilaksanakan dan jangan berhenti (terputus) secara turun temurun.
Benar
adanya, bahwa kalimat sarat makna diatas, sejak zaman leluhurnya hingga saat
ini masih terus dijaga, dilaksanakan dan dilestarikan. Pewarisan yang telah
berlangsung secara turun temurun, bahkan masih dilaksanakan secara lengkap,
karena syarat utama dari pelaksanaan ritual Nggua Ria dalam tradisi masyarakat
Suku Lio di Wologai adalah melaksanakan keseluruhan prosesi ritualnya tanpa ada
satupun bagian yang dihilangkan.
Secara
lengkap, ritual adat Nggua Ria di Wologai dapat dilihat pada table dibawah ini :
Ritual Wari Pare
Wari = Jemur dan Pare = Padi, dapat diartikan sebagai menjemur Padi, yang merupakan hasil panen dari musim tanam yang baru lewat.
Ritual tersebut dilaksanakan selama 1 minggu secara bergiliran menurut urutan rumah adatnya, yaitu : Sa’o Ria, Sa’o Sokoria, Sa’o Rini, Sa’o Wolomena, Sa’o Nua Ro’a, Sa’o Wologhale, Maknanya:
Ritual Sowo Kibi
Seperti ritual Wari Pare, Ritual Sowo Kibi (Kibi=Emping), atau bisa diartikan membuat emping juga dilakukan secara berurutan berdasarkan urutan rumah adatnya, yaitu: Sa’o Ria, Sa’o Sokoria, Sa’o Rini, Sa’o Wolomena, Sa’o Nua Ro’a, Sa’o Wologhale, Maknanya:
Rase Pare & Kibi
Nai Keu
Poto Keu & Ia Keu (sore dan malam hari)
Gawi Sia (malam hingga pagi hari)
Sebuah tarian massal yang bermakna kebersamaan, dan merupakan sebuah tarian wajib dalam ritual dalam Suku Lio termasuk di Wologai.
Di Wologai, ritual gawi dilaksanakan di puncak bukit situs kampong tersebut bernama Kanga/Hanga tepat didepan sebuah bangunan khas Lio bernama Keda dan ditengahnya terdapat tubu musu (batu) dan pada bagian bawahnya dikelilingi oleh 7 buah rumah adat.
Sebelum ritual gawi dilakukan, dilakukan pembersihan Kanga dan hanya dilakukan oleh orang2 tertentu dalam struktur masyarakat adat di Wologai serta hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Ritual gawi akan dilakukan semalam suntuk dari malam hingga pagi hari, kemudian istirahat (ritual lainnya)
Gawi Leja (dilakukan siang hingga sore hari)
Merupakan ritual Gawi kedua setelah Gawi pertama yang dilaksanakan pada siang hari hingga sore menjelang malam hari.
Pire Uwi Pesa Loka Bara (siang) & malam hari Poke M’ko (Rago Atapolo)
Nggera Kibi di Kanga
Po’o Te’u di Lowo Po’o (pagi hingga siang hari) & Rego Gaku (sore hari)
Ritual memasak dalam bamboo yang dilakukan ditepi sungai/kali dan oleh masyarakat setempat disebut Lowo (sungai) dan Po’o (bamboo) dan dilaksanakan sejak pagi hingga siang hari. Dalam ritual tersebut semua pemangku adat mengenakan pakaian khas Suku Lio, baik laki2 maupun perempuan.
Saat po'o te'u semua "ana kalo fai walu" (masyarakat adat) turut terlibat. Secara adat, telah ada pembagian tugas dan lokasi pelaksanaan untuk masing - masingnya sesuai dengan warisan leluhurnya. Sebelum dilaksanakan po'o te'u, kaum laki-laki membuat pondok dari enau dan tempat "po'o are" untuk memasak nasi bambu. Setelah selesai mengerjakan, kaum perempuan mulai po'o, sementara laki-laku mencari udang di kali terdekat dengan cara penangkapan tradisional "meti ra'a". Udang yang didapat dan yang paling besar diserahkan kepada "Mosalaki" (tua adat) untuk ritual "rago te'u" usir tikus. Kepada yang mendapat udang besar, diberikan imbalan berupa "are po'o" nasi yang dimasak pakai bambu.
Secara filosofis, ritual "po'o te'u" adalah ritual tolak bala hama tanaman, dengan dilaksanakan "po'o are" memasak nasi dengan bambu untuk mengusir tikus, karena setelah pelaksanaan po’o dilanjutkan dengan pelaksanaan “s’te ngi’i te’u”.
Rego Gaku (dinihari) disekitar kampung
Sebuah ritual yang dilaksanakan setelah ritual Po’o Te’u, dengan menggunakan bebunyian/alat music dari bamboo.
Pire (hari berpantang) selama 1 minggu
Terdapat
keunikan lain dalam tradisi Nggua Ria di Kampung Adat Wologai, dimana warga
masyarakat yang merupakan keturunan dari Wologai dan telah tersebar pada
beberapa kampong lain akan datang untuk melaksanakan ritual Nggua Ria dan kita
dapat mengetahui asal usul/keturunannya berdasarkan Sa’o Ria (rumah adat).
Bagaimana
Menuju Kampung Wologai
Untuk mencapai Kampung Adat Wologai
sangatlah mudah, karena kampong tersebut terletak dekat dengan jalan trans
Flores atau hanya berjarak 2 km dari simpang Wokonio di jalan trans Flores
dengan kondisi aspal mulus hingga ke pintu gerbang situs kampong adatnya.
Bagi para pengunjung atau wisatawan
yang tertarik untuk mengunjungi kampong adat Wologai juga tidak terlampau
sulit. Aksesibiitas yang baik serta didukung oleh transportasi yang memadai
memudahkan siapapun yang tertarik untuk datang dan menikmati pesona lain di
Kampung adat Wologai.
Untuk menuju Wologai dapat melalui 2
arah, yaitu:
Dari arah barat (Kota
Ende, Bajawa atau Labuan Bajo).
Khusus
dari kota Ende.
Merupakan
ibukota Kabupaten Ende dan terdapat sebuah bandara perintis bernama Aroeboesman
dan biasa didarati oleh pesawat-pesawat berkapasitas kecil (maksimal 42-60
orang), diantaranya adalah Trigana Trans Nusa dan Merpati.
Dari
kota Ende menuju Kampung Wologai dapat ditempuh selama 1 jam menggunakan
kendaraan roda-4 atau roda-2 dengan jarak sekitar 42 km.
Tidak
sulit untuk mendapatkan kendaraan (mobil) sewaan di kota tersebut, karena
banyak jasa-jasa travel yang tersedia, khususnya untuk para wisatawan asing yang
datang ke Flores, dengan biaya sewa per hari rata-rata antara Rp. 350.000 –
400.000.
Bila
ingin menginap dan menikmati denyut kehidupan sehari-hari masyarakat Wologai
dan sekitarnya, dapat memilih untuk menginap di Detusoko (pusat kecamatan),
dimana tersedia sebuah penginapan yang lumayan baik dan dikelola oleh para
Suster CIJ dengan biaya per harinya sekitar Rp. 75.000 – 100.000, dan jarak
menuju Wologai dari Detusoko sekitar 10 km.
Bagi
yang ingin menginap langsung di Wologai, tidak perlu khawatir, asal tidak
menuntut fasilitas memadai, para pengunjung dapat mencari dan menginap di
rumah-rumah penduduk, dan apabila kesulitan, dapat menghubungi Kepala Desa
(Emilianus Linu) atau meminta bantuan dari saudara Ludger Sore (seorang pemuda
asli Wologai yang sangat serius membantu mendokumentasikan dan berjuang bersama
masyarakat untuk terus melestarikan budayanya).
Sebelum
mencapai Wologai dari arah Kota Ende, kita dapat menikmati pesona alam khas
Flores yang didominasi oleh gunung dan lembah, serta hamparan sawah bertingkat
di daerah Detusoko dan Ekoleta, atau merasakan sensasi air panas Ae Oka di
Detusoko, serta akan melewati kampong adat Wolondopo (terdapat mumi kaki more)
dan Wolojita (terdapat jenazah yang dikubur diatas pohon beringin). Landsekap
alam yang menarik akan menjadi nuansa tersendiri bagi kita sebelum memasuki
kampong adat Wologai yang apabila dilihat dari jalan trans Flores hanya
terlihat bubungan atap rumah adat dan dikelilingi oleh hutan/agroforestry yang
didominisi oleh pepohonan kemiri, cengkeh dan kopi.
Dari arah timur (Kota
Maumere/Larantuka).
Terdapat
bandara Frans Seda yang dapat didarati oleh pesawat berbadan lebar dan beberapa
airline yang masuk ke Maumere, antara lain: Wings Air, Merpati, Batavia,
Trigana/Trans Nusa.
Jarak
tempuh dari Kota Maumere menuju Wologai relative lebih jauh (kurang lebih 110
km dengan waktu tempuh selama lebih kurang 4 jam).
Banyak
tersedia penginapan di Kota tersebut (apabila kesorean) dan sebelum mencapai
Wologai, dari Maumere kita akan melalui beberapa tempat eksotis, diantaranya
Bukit Nilo (8 km dari Kota Maumere), Pantai Paga (tepi jalan trans Flores),
Pantai Koka (2,5 km dari jalan trans Flores – harus berjalan kaki), Sa’o Ria
(rumah adat) di Wolowaru (persis di tepi jalan trans Flores), kampong adat di Wolofeo
(4 km dari Wolowaru), Moni (persinggahan sebelum menuju Danau Kelimutu), dan
lain-lain.
Sisi Lain dari Kampung Adat Wologai dan sekitarnya
1. Para pengunjung yang
datang ke kampong Wologai juga biasanya disambut dengan upacara adat berupa
taria-tarian (termasuk dalam paket wisata), dan untuk hal tersebut dapat
menghubungi kepala desa setempat.
2.
Puncak Gunung Lepembusu
Terdapat sebuah menara Telkom yang
saat ini menjadi salah satu lokasi favorit bagi para wisatawan untuk
mendapatkan gambaran landsekap pulau Flores pada sisi barat (hingga wilayah
Bajawa) dan timur (hingga Maumere) serta utara (Laut Flores) dan selatan (Laut
Sawu).
3.
Sawah bertingkat
Merupakan salah satu ciri khas
persawahan di Pulau Flores dan merupakan tempat dengan hamparan sawah
bertingkat terluas di Pulau Flores. Akan sangat menarik apabila para pengunjung
datang tepat pada saat selesai musim tanam atau jelang musim panen.
Para penduduk yang ramah juga akan
menjadi daya tarik lain bila sekedar ingin mampir untuk bergabung bersama
warga/petani merasakan desahan nafas para petani saat mengolah sawahnya, dan
dibagian lembah terdapat sebuah sungai jernih yang menjadi sandaran sekaligus
sumber air bagi ribuan penduduk hingga ke pusat kota di Ende.
4.
Kampung adat Wolondopo dan
Wolojita
Berjarak sekitar 7 km dari Wologai,
kedua kampong adat tersebut juga menyimpan pesonanya sendiri. Mumi Kaki More,
yang merupakan jenazah dari sang kepala suku dan terbentuk tanpa pengawetan
sama sekali dan dapat dilihat dengan melakukan sebuah ritual khusus yang langsung
dilakukan oleh penerus dari generasi sang mumi, serta jenazah diatas sebuah
pohon beringin di belakang kampong Wolojita akan membawa kita pada sebuah
suasana lain di masa silam.
5.
Danau Kelimutu
Salah satu destinasi wisata utama di Flores
selain Komodo, hanya berjarak sekitar 25 km dari Wologai, tersedia banyak
penginapan di Desa Koanara, mulai kelas Melati hingga skala hotel berbintang.
Wari = Jemur dan Pare = Padi, dapat diartikan sebagai menjemur Padi, yang merupakan hasil panen dari musim tanam yang baru lewat.
Ritual tersebut dilaksanakan selama 1 minggu secara bergiliran menurut urutan rumah adatnya, yaitu : Sa’o Ria, Sa’o Sokoria, Sa’o Rini, Sa’o Wolomena, Sa’o Nua Ro’a, Sa’o Wologhale, Maknanya:
Seperti ritual Wari Pare, Ritual Sowo Kibi (Kibi=Emping), atau bisa diartikan membuat emping juga dilakukan secara berurutan berdasarkan urutan rumah adatnya, yaitu: Sa’o Ria, Sa’o Sokoria, Sa’o Rini, Sa’o Wolomena, Sa’o Nua Ro’a, Sa’o Wologhale, Maknanya:
Rase Pare & Kibi
Nai Keu
Poto Keu & Ia Keu (sore dan malam hari)
Gawi Sia (malam hingga pagi hari)
Sebuah tarian massal yang bermakna kebersamaan, dan merupakan sebuah tarian wajib dalam ritual dalam Suku Lio termasuk di Wologai.
Di Wologai, ritual gawi dilaksanakan di puncak bukit situs kampong tersebut bernama Kanga/Hanga tepat didepan sebuah bangunan khas Lio bernama Keda dan ditengahnya terdapat tubu musu (batu) dan pada bagian bawahnya dikelilingi oleh 7 buah rumah adat.
Sebelum ritual gawi dilakukan, dilakukan pembersihan Kanga dan hanya dilakukan oleh orang2 tertentu dalam struktur masyarakat adat di Wologai serta hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Ritual gawi akan dilakukan semalam suntuk dari malam hingga pagi hari, kemudian istirahat (ritual lainnya)
Gawi Leja (dilakukan siang hingga sore hari)
Merupakan ritual Gawi kedua setelah Gawi pertama yang dilaksanakan pada siang hari hingga sore menjelang malam hari.
Gawi Leja (dilakukan siang hingga sore hari)
Merupakan ritual Gawi kedua setelah Gawi pertama yang dilaksanakan pada siang hari hingga sore menjelang malam hari.
Pire Uwi Pesa Loka Bara (siang) & malam hari Poke M’ko (Rago Atapolo)
Nggera Kibi di Kanga
Po’o Te’u di Lowo Po’o (pagi hingga siang hari) & Rego Gaku (sore hari)
Ritual memasak dalam bamboo yang dilakukan ditepi sungai/kali dan oleh masyarakat setempat disebut Lowo (sungai) dan Po’o (bamboo) dan dilaksanakan sejak pagi hingga siang hari. Dalam ritual tersebut semua pemangku adat mengenakan pakaian khas Suku Lio, baik laki2 maupun perempuan.
Saat po'o te'u semua "ana kalo fai walu" (masyarakat adat) turut terlibat. Secara adat, telah ada pembagian tugas dan lokasi pelaksanaan untuk masing - masingnya sesuai dengan warisan leluhurnya. Sebelum dilaksanakan po'o te'u, kaum laki-laki membuat pondok dari enau dan tempat "po'o are" untuk memasak nasi bambu. Setelah selesai mengerjakan, kaum perempuan mulai po'o, sementara laki-laku mencari udang di kali terdekat dengan cara penangkapan tradisional "meti ra'a". Udang yang didapat dan yang paling besar diserahkan kepada "Mosalaki" (tua adat) untuk ritual "rago te'u" usir tikus. Kepada yang mendapat udang besar, diberikan imbalan berupa "are po'o" nasi yang dimasak pakai bambu.
Secara filosofis, ritual "po'o te'u" adalah ritual tolak bala hama tanaman, dengan dilaksanakan "po'o are" memasak nasi dengan bambu untuk mengusir tikus, karena setelah pelaksanaan po’o dilanjutkan dengan pelaksanaan “s’te ngi’i te’u”.
Rego Gaku (dinihari) disekitar kampung
Rego Gaku (dinihari) disekitar kampung
Sebuah ritual yang dilaksanakan setelah ritual Po’o Te’u, dengan menggunakan bebunyian/alat music dari bamboo.
Pire (hari berpantang) selama 1 minggu
Terdapat
keunikan lain dalam tradisi Nggua Ria di Kampung Adat Wologai, dimana warga
masyarakat yang merupakan keturunan dari Wologai dan telah tersebar pada
beberapa kampong lain akan datang untuk melaksanakan ritual Nggua Ria dan kita
dapat mengetahui asal usul/keturunannya berdasarkan Sa’o Ria (rumah adat).