Kebijakan Pembangunan Kabupaten Ende Tahun 2014-2019
Download disini : RPJMD Kabupaten Ende Tahun 2014-2019
berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara
Susu nggua maE duU nama bapu maE dute - www.gerunioncreator.web.id.
PaA loka rewu rera leka duA bapu ata mata - www.gerunioncreator.web.id.
Roe sai ote we piki menga eo monge - www.gerunioncreator.web.id.
Nggoe menga no wiwi lamba menga no lema - www.gerunioncreator.web.id.
Ni saripi tau wini tuke sawole ngara du nggonde - www.gerunioncreator.web.id.
Kebijakan Pembangunan Kabupaten Ende Tahun 2014-2019
Download disini : RPJMD Kabupaten Ende Tahun 2014-2019
Oleh : Ludger S
Suatu ketika hiduplah satu keluarga yang juga sebagai tuan tanah atau sebagai mosalaki (tua adat). Sebut saja namanya, Beke. Dia mempunya tiga orang anak, dua putra dan satu putri. Kedua putra bernama "Ndange dan Ngenda. Sedangkan yang putri sebut saja "Kibhi". Ketiga anaknya masing - masing sudah berkeluarga.
Menjadi kebiasaan yang wajib bahwa setiap tahun dikmapung Beke harus melaksanakan seremonial adat tahunan yang disebut "Nggua". Ini dilakukan sebagai simbol syukuran atas keberhasilan dalam kehidupan mereka. Keberhasilan itu berupa hasil panen yang melimpah, kehidupan mereka yang diberkati oleh Tuhan dan leluhur. Nggua juga sebagai simbol bahwa setelah acara seremonial tersebut dimulainya musim tanam untuk tahun berikutnya.
Sebelum dimulainya acara Nggua mereka harus menyiapkan daging dari binatang atau hewan yang didapati dari hutan atau dalam bahasa Lio disebut, "nake oto". Suatu malam Beke menginstruksikan kepada kedua putranya untuk berburu daging hutan. Besok setelah ada daging hutan akan dimulainya seremonial adat atau "nggua".
Pagi - pagi benar berangkatlah Ndange dan Ngenda untuk berburu. Dengan beberapa ekor anjing piaraan mereka mulai menyusuri hutan terdekat. Akhirnya sebelum matahari tepat diatas kepala mereka sudah mendapat tiga ekor musang. Sambil beristirahat dipinggir kali kedua kakak beradik mulai memikirkan bagaimana cara membagi hasil buruan mereka.
Ndange, sebagai kakak mulai membagi musang tersebut. Ini kamu, ini saya lalu yang ini siapa? Dicobanya hal yang sama beberapa kali. Ini kamu, ini saya lalu yang ini untuk siapa? Dalam bahasa Lio, ina kau, ina aku na eo ina sai?
Sudah beberapa kali sang kakak Ndange membagi itu, tetap tidak terbagikan yang satu ekornya. Akhirnya sang adik Ngenda mengambil alih dan berkata, Kak, coba saya bagi. Sang adik mulai membagikan hasil buruan. "ina kae, ina aku ina sai? Dilakukannya berulang - ulang beberapa kali. Tetapi tidak ada hasilnya. Yang satu ekornya tetap tidak terbagikan.
Sementara itu dikampung sang bapak, Beke sudah mulai gelisah. Matahari sudah condong kebarat sudah mendekati bibir gunung di belakang kampung. Bapak Beke bertanya ke orang - orang yang ada, apakah kamu melihat Ndange dan Ngenda? Semua menjawab tidak tau dan tidak ketemu dengan kedua anaknya. Dalam kegelisahan akhirnya Bapak Beke meninta bantuan kepada suami anaknya untuk mencari sampai ketemu kedua putranya.
Dengan semangat sang suang dari anak putrinya pergi mencari kedua iparnya. Ip[ar dalam bahasa Lio dipanggil dengan sebutan "Eja". Akhirnya sambil menyusuri daerah hujan dia berinisiatif untuk memanggil kedua ejanya. Ejaaaaa....... eja......eja.... Beberapa saat kemudian dia menemukan kedua ejanya dipinggi kali. Kedua ejanya langsung menyambut dengan pertanyaan. "ngere emba ai? (bagaimana?) Sambil terengah - engah sang eja menjawab, "aku eo ema si'i gae miu ga. leja leu rewa na miu iwa tei rewo". (saya disuruh bapak untuk mencari kamu. Matahari sudah condong kebarat tetapi kamu belum muncul kekampung).
Ndange, "ngere ina eja, kami na rewa senea dapa luwu. ta,... dapa luwu eko telu, kami menga imu rua we". (begini eja, kami sudah dapat jatah sejak tadi tetapi yang didapat 3 ekor sedangkan kami hanya 2 orang). Sambung ejanya. Nah coba bagi diantara kamu dua. Ndange langsung ambil alih untuk membaginya. Kembali dengan rumusan yang sama, ini kamu, ini saya ini siapa? Berulang kali Ndange lakukan itu. Ganti dengan sang adik Ngenda. Ina kae, ina aku ina sai? Ngenda juga mengalami hal yang sama, tidak bisa membagi ketiga ekor musang untuk dau orang.
Akhirnya sang eja meminta untuk membagikan hasil buruan kakak beradik itu. Sang eja duduk bersila dikedua kakak beradik lalu lakukan pembagian buruan itu. Ini eja Ndange, ini eja Ngenda ini saya. Akhirnya dengan senyum puas kedua kakak beradik berkata, mesi kau mai si nenea na deki rewa ghea nua ga kita na. (coba saja kamu datang sedari dati pasti kita sudah sampai dikampung). Akhirnya dengan senyum puas mereka bertiga meninggalkan hutan menuju kampung. Bapak Beke yang sudah dari awal menunggu akhirnya puas dengan kedatangan 2 putra dan anak menantunya.
Tanda – tanda gaslighting
Dilansir
dari Healthline, menurut Robin Stern, PhD, penulis buku The
Gaslight Effect: How to Spot and Survive the Hidden Manipulation Others Use to
Control Your Live, berikut adalah tanda-tanda seseorang menjadi korban
gaslighting :
·
Merasa diri berbeda
·
Menjadi lebih cemas dan tidak percaya diri
·
Sering mempertanyakan perasaan sendiri
·
Merasa selalu salah
·
Sering meminta maaf
·
Merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak bisa
mengidentifikasinya
·
Sering mempertanyakan sikap dan perilaku sendiri
·
Merasa terisolasi dari teman dan keluarga
·
Merasa sulit membuat keputusan
·
Merasa putus asa
· Merasa sulit menikmati aktivitas yang disukai
Contoh
gaslighting
·
Meremehkan perasaan
·
Memberitahu bahwa ada orang-orang yang berbicara buruk tentang
korban
·
Mengatakan suatu hal yang kemudian mereka bantah
· Menyangkal peristiwa yang dialami korban
Para pelaku gaslighting akan membuat korbannya meragukan diri sendiri, bahkan
kewarasannya. Untuk gambaran yang lebih jelas, beberapa contoh tindakan gaslighting
adalah sebagai berikut:
Menyadari bahwa diri sendiri adalah korban gaslighting adalah langkah awal yang
penting untuk mencari pertolongan.
Langkah
selanjutnya, korban bisa menemui psikiater, psikolog, atau terapis untuk
melakukan konsultasi.
Para
profesional tersebut dapat membantu korban memahami dan membantu korban keluar
dari keraguan dan ketakutan yang dialami.
Korban akan
diajak untuk belajar mengelola keraguan dan kecemasan serta mengembangkan
keterampilan untuk mengatasinya.
Cara mendapatkan manfaatnya cukup mudah, ambil daun dadap serep yang masih segar, lalu tumbuk bersama daun sosor bebek. Setelah itu, letakkan pada permukaan perut. Lakukan cara ini secara rutin dan teratur sampai perut mulas mereda.
Untuk mendapatkan manfaat dadap serep untuk mengatasi asam urat cukup mudah, Anda hanya perlu mengonsumsi air rebusan dadap serep. Lakukan cara ini secara rutin dan teratur sampai asam urat mereda.
Caranya cukup mudah, pilih daun dadap serep yang masih segar, lalu gunakan sebagai lalapan untuk menu sehari-hari.
Oleh : Ludger S
Dalam kehidupan sehari - hari tentu secara sadar maupun tak sadar kita menjalani ukuran atau takaran dalam satuan tertentu. Seperti saat kita ke kebun, ke kantor, ke sekolah dan aktivitas lainnya secara tak sadar kita telah mengukur kegiatan kita dengan satuan ukuran tertentu. Kita telah mengukur jarak dari rumah ke kebun ke sekolah, ketempat kerja. Selalu dan selalu mengukur setiap aktifitas kita dengan satuan ukuran panjang, lebar, luas, tinggi, dalam, besar, kecil, banyak sedikit dan lainnya.
Pati Tali Boka Be'la, hanya digunakan saat pembagian lahan kepada "ana kalo fai walu" (warga ulayat adat). Lahan ini bisa dari pembukaan hutan adat, atau tanah adat lainnya. Dalam hal "pati tali boka be'la" satuan ukuran panjang yang digunakan, tali yang diambil dari hutan dan "be'la" berupa bambu yang sangat tipis. Maaf saya tidak tahu apa nama latin atau bahasa Indonesia nya. Tali dan be'la yang sudah disiapkan oleh mosalaki akan menjadi ukuran luas kebun warga. Sebutan lokal, "satali sabe'la". Yang mana tali menjadi ukuran panjang dan be'la menjadi ukuran lebar.
Pembangunan Rumah. Dalam hal Pembangunan rumah, satuan ukuran panjang yang sering digunakan adalah, "paga, suku, re'pa, papa, ga'pe.Ini terungkap dalam Pembangunan "Keda" dengan sebutan "Sasiku sapaga".
Oleh : Ludger S
Suatu bilangan dinyatakan dengan lambang bilangan yang disebut Angka. Penulisan angka ini bermacam-macam yang dapat dinyatakan dengan lambang. Sebaliknya, setiap lambang hanya mewakili sebuah bilangan saja, seperti lambang 4 hanya mewakili bilangan empat saja. Jadi setiap bilangan dapat diwakili oleh lebih dari satu lambang, dan sebaliknya setiap lambang hanya mewakili satu bilangan saja.
Sama seperti budaya lain yang tersebar di Nusantara. Dalam kehidupan sehari - harinya setiap adat dan tradisi mempunyai sistim bilangan masing masing - masing.
Baca Juga : Wurumana Part1
Bilangan Orang Lio
Mari kita membuktikan bilangan asli yang ada di Suku Lio Ende
oleh : Ludger S.
Banyak ulasan tentang Lio atau kata Lio. Disini saya hanya mengulas tentang Suku Lio dari "Lio Sa Ligo Dongo Sa Pongo" dari garis keturunan "Ndange Beke dan Ngenda Beke". Mereka yang menempati kampung Nua One, Lise Boko, Lise Laka dan seterusnya.
Kepemimpinan di suku Lio umumnya dilihat dari hak ulayat. Ada hak persekutuan adat, ada hak tunggal. Ini berdasarkan hak atas tanah yang mereka tempati dan mereka miliki. Disebut persekutuan karena dalam suatu ulayat terdiri dari beberapa clan adat yang membentuk satu kampung persekutuan adat. Yang hak tunggal karena kepemilikan tanah ulayat merupakan hak perseorangan. Kepemimpinan Adat adalah sistem kepemimpinan yang ditetapkan secara adat untuk mengatur penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah masing - masing terutama masalah penguasaan lahan. Pemimpin adat dipimpin oleh "Mosalaki".
Baca Juga : Perkawinan Adat Lio di Kampung Wologai
MOSALAKI
Mosalaki terdiri dua suku kata, "Mosa" yang berarti jantan atau laki - laki dan "laki" yang berarti tuan. Dibeberapa kampung persekutuan adat terdiri dari beberapa orang mosalaki. Sedangkan dibeberapa kampung adat yang mempunyai hak tunggal, hanya ada satu mosalaki.
Sebagai contoh. Sebut saja Kampung A dipimpin oleh mosalaki yang bernama Ngenda. Dalam kesehariannya ada beberapa seremonial adat yang harus dijalankan. Seperti seremonial "Po'o, keti uta" dan lain sebagainya. Ngenda memiliki 2 anak laki - laki. Ngenda akan membagi tugas kepada anaknya untuk melaksanakan seremonial adat tersebut. Maka anak Ngenda akan disebut laki dengan seremonial adat sesuai tugas dan fungsinya.
Pada dasarnya, mosalaki adalah satu orang dalam satu wilayah. Pembagian peran dan tugas terjadi karena terlahirnya beberapa anak laki - laki dari sang mosalaki. Anak sulung akan menerima warisan kesulungan.
Pembagian Mosalaki
Baca Juga : Hukum Adat Lio
Setiap warga yang ikut serta dalam pembagian lahan dari mosalaki atas tanah ulayat saat pembukaan hutan adat untuk tujuan berkebun atau tujuan lainnya mereka memiliki hak garap atas lahan yang telah dibukanya. Lahan hasil pembukaan hutan oleh mosalaki tersebut merupakan milik individu pembuka lahan dan dapat diwariskan kepada keturunannya.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi warga pendatang, kecuali warga tersebut telah diterima sebagai anggota masyarakat adat setempat dan selanjutnya memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan lahan tersebut untuk keperluan perladangan atau perkebunan.
Kepemilikan lahan dapat pula diperoleh dari hasil warisan orang tuanya atau warisan masing - masing rumah adat. Sistem pewarisan masyarakat suku Lio adalah hak warisan diberikan kepada anak laki-laki juga kepada anak perempuan. Namun anak perempuan tersebut berhak memanfaatkan lahan untuk kepentingan berkebun atau kepentingan lainnya atas persetujuan saudara laki-lakinya. Menurut ketentuan adat, anak perempuan walaupun tidak berhak atas warisan lahan, saudara laki-lakinya wajib memberikan makan kepada saudara perempuannya. Seorang anak perempuan tidak menerima warisan dari orang tuanya karena dia akan mendapatkan lahan dari suaminya apabila dia telah menikah.
Ini tidak berlaku pada dengan jenis perkawinan tertentu yang menerangkan "kawin masuk". Lahan hasil warisan sifat kepemilikannya adalah mutlak dan dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya sesuai dengan kemampuannya. Hak atas lahan hasil warisan ini dapat dipindah tangankan sesuai dengan aturan adat.
Secara umum, tanah ulayat di suku Lio tidak diperbolehkan untuk jual beli.
Oleh : Ludger S
Sebelum kita membahas tentang Gawi atau Tarian Gawi ada baiknya kita mengenal beberapa hal penting tentang gawi.
Kanga. Tempat bermain tandak. Berbentuk lingkaran dari batu - batu alam yang membentuk pagar kelilingnya dengan Tubu (stupa) dalam lingkarannya. Kanga dikenal dengan 2 jenis. Ada "kanga le'ko" untuk para pemula yang mau melatih gawi dan Kanga yang asli dan sakral untuk bermain tandak.
Bpk. Serilus Seko Ata Sodha di Kampung Wologai |
Ulu. Pemimpin Gawi itu biasa disebut dengan ungkapan Ulu. Ulu memberikan aba-aba kepada para peserta tarian dengan menggerakkan tongkat yang berjumbai ekor sapi atau ekor hewan lainnya ditangan kirinya. Ulu memberikan semangat kepada peserta gawi terutama kepada Naku Ae
Eko. Orang kedua yang memimpin Gawi adalah Eko. Eko berperan menjaga keberlangsungan tarian Gawi dengan cara merapatkan peserta gawi untuk tidak terlalu berjauhan.
Naku Ae. Naku Ae ini terdiri dari beberapa pemuda yang berperawakan gagah yang bertugas untuk memeriahkan Gawi. Naku Ae dengan semangat bermain Gawi, mereka berupaya agar seluruh peserta dapat ikut larut dalam kegembiraan bersama dalam tarian itu.
Ana Rusa. Adalah seorang laki - laki yang memberi semangat kepada peserta gawi. Ana Rusa selalu dalam lingkaran gawi. Bergerak kesana kemari dengan gerakan tubuh seperti menghipnotis orang untuk tetap bermain tandak / gawi.
Gawi
Gawi adalah tarian tradisional yang dilakukan secara masal di beberapa suku Lio Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini merupakan salah satu tarian adat masyarakat suku Ende Lio sebagai ungkapan rasa syukur atas segala rahmat yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Biasanya gawi dimainkan saat puncak seremonial adat mensyukuri hasil panen dan awal mula musim tanam. Tariian Gawi yang dilakukan secara masal dengan saling berpegangan tangan dan membentuk formasi lingkaran.
Kata Gawi sendiri terdiri dari 2 suku kata. "Ga" yang berarti segan dan "Wi" yang berarti tarik. Sehingga saat bermain gawi, setiap orang saling tarik dalam pegangan untuk menjaga kerenggangan dan saling menjaga orang disamping kiri kanannya dalam sikap santun "segan".
Gawi atau yang dikenal dengan sebutan Tandak dimainkan setelah seremonial adat "ia keu". (Apa itu "ia keu" silahkan berkunjung ke Kampung adat Wologai).
Dalam Gawi dikenal dengan dua istilah lainnya, yakni "wela ha'i" dan "ha'i rua". Wela Hai lebih tepatnya disebut irama tunggal. Ini dilakukan saat ata sodha permulaan "oro'.Saat wela ha'i, semua peserta gawi mengikuti putaran kekiri. Saat wela ha'i juga, saat dimana ata sodha menyanyikan sejarah singkat tentang suku dimana dia berada. Menjelaskan siapa saja sebagai pemangku adat (mosalaki), siapa saja yang berperanan dalam tugas adatnya. Saat wela ha'i juga semua peserta gawi diminta hening, beberapa kali menyahut oro dari ata sodha.
Ha'i Rua. Saat ha'i rua, semua peserta gawi bergerak kearah kanan. disini mulai menunjukkan peran masing - masing. Ata sodha mulai dengan nyanyian menghibur, pantun. Ulu mulai memberikan semangat. Naku ae mulai meliuk - liuk badannya memberi semangat. Tetap dalam lingkaran saling berpegangan mulai dengan gerakan kekanan. Saat ini orang mulai hitung berapa lapis manusia yang hadir. Dalam Kanga yang tidak seberapa luas, bisa mencapai 7 lingkaran.
Ata sodha akan melihat seberapa semangat gawi yang dimainkan. Apabila sudah menunjukan kelelahan akan kembali ke gerakan awal, "wela ha'i".
Dalam gawi juga dikenal dengan 2 sebutan. Gawi Sia dan gawi Leja. Gawi sia yang dimainkan malam hari sampai matahari terbit. Sedangkan gawi leja, gawi pada siang hari atau setelah gawi sia.
Pada umumnya tarian gawi merupakan ungkapan syukur atas hasil panen kepada "Du'a gheta landi leja, Ngga'e ghale wena tana" (Tuhan ditengah matahari, Tuhan didasar bumi). Sehingga saat bermain gawi, semua dengan mengenakan pakaian lokal. Yang perempuan mengenakan pakaian Lawo (sarung daerah khusus perempuan) dan Lambu (baju adat khusus perempuan). Yang laki - laki mengenakan pakaian Ragi (sarung adat khusus laki - laki) dan lambu. Yang laki - laki bisa mengenakan baju ketiak atau baju alas juga bisa tidak mengenakan baju. Khusus untuk para tua adat (mosalaki) mereka akan memakai luka (selendang adat) dan lesu (destar). Tua adat wanita mengenakan baju hitam.
Larangan dalam gawi :