berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Perkawinan Adat Lio di Wologai

oleh : Ludger S

Perkawinan Adat Lio di Wologai 

Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya“ dalam pergaulan hidup dan kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena perkawinan. Selain memiliki faedah yang besar, perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sesuai dengan rumusan itu, perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbutan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya. Sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

Perkawinan merupakan ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang - kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat - istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Dari beberapa uraian diatas kita melihat bagaimana sebuah perkawinan itu terjadi di daerah Ende Flores NTT, khusunya di daerah Lio. Seperti di daerah lainnya, orang Lio juga mempunyai tatanan, upacara dan ritual perkawinan. Bedanya nikah secara hukum adat tidak secara tertulis. Perkawinan dan pernikahan menurut adat Lio juga mendefenisikan menyatukan dua pasangan beda jenis kelamin dalam ikatan lahir dan batin secara adat. Ini terbukti dengan simbol ungkapan adat “tubu tau mula jumu, lodo nda wa sea ae mesa, ngara da gheta liru mera”. Ini merupakan ungkapan perumpaan dengan arti “tiang batu untuk menanam, batu ceper/plat yang rata dipenuhi air, menghadap ke langit yang memerah”.
Dari beberapa legenda lokal, “ana kalo” (anak yatim piatu), wawi toro (rasi bintang), awal mulanya berkembang manusia karena mengikuti petunjuk dari belalang yang memberi petunjuk yang selalu disebut dalam bahasa Lio “poi nosi nombi pera”.
Dari beberapa legenda yang diwariskan awalnya manusia belum mengenal rasa malu, belum mempunyai mampu berkembang biak. Semua kehidupan tergantung dari alam. Suatu senja sepasang anak yatim piatu melihat belalang sedang berlengketan (sedang birahi dan melangsungkan perkawinan), ketika itu juga sepasang yatim piatu itu mengerti bagaimana berkembangbiak. Setelah matahari terbenam diufuk barat, mereka mencoba dan berhasil. Itulah sepenggal cerita tentang “ana kalo”.
Sebelum kita melihat uraian perkawinan mari kita mengenal beberapa istilah dan jenis barang yang sering dipakai saat melaksanakan sebuah tatanan perkawinan.

JENIS BARANG ATAU BAHAN YANG AKAN DIGUNAKAN DALAM PERKAWINAN

Ngawu (emas bentuk lokal orang Lio). Di Lio ngawu merupakan benda pusaka dan selalu ada ditiap masing – masing rumah adat atau clean. Ngawu merupakan warisan leluhur. Ngawu digunakan untuk belis perkawinan, bayar denda (poi), simbol suatau ikatan perjanjian adat dan lain sebagainya. Bentuknya selalu oval, lubang ditengah, ada rumbai - rumbai dipinggir atas, samping kiri kanan dan ada bentuk dibawahnya. Dilihat dari berntuknya ada beberapa jenis “ngawu” ; riti (kecil), piso manu (sedang), jamba (besar). Dari kandungan kadar emasnya, ome mbulu (10 gram), ome mbulu rua (20 gram), ome mbulu telu (30 gram), ome mbulu lima (50 gram). Sebutan lain untuk “ngawu” berupa, jaka tape (emas dgn tempahannya direbus), pole keku (elastis jika diputar). Untuk jumlahnya selalu dengan sebutan sa tenga (1/2 = 2 buah yang berkadar sama), sa liwu (satu liwut = 4 buah yang berkadar sama).

Wea, bentuknya sama dengan “ngawu”. Kenapa disebut wea? Orang Lio selalu menyambungkan kata “wea” dengan kata “bara”. “Wea bara” artinya emas yang sangat kecil kandungan emasnya. Untuk wea tidak ada sebutan “ome” atau gram. Leluhur sering menggunakan wea dan atau wea bara sebagai pemberian atas suatu kesalahan diantara kerabat dan keluarga. Misalnya ketika mabuk tuak lokal (moke) atau dalam bahasa daerah diistilahkan “denu de’gu jita pia” dan terjadi pertengkaran, untuk pemulihan nama baik dan simbol perdamaian diberikan “wea bara”.

Eko (ekor artinya hewan). Hewan yang sering digunakan dalam kebudayaan lokal Lio berupa babi, kuda, kerbau. Dengan adanya perkembangan jaman atau dalam bahasa Lio dikenal dengan sebutan “ngeu gi nge’da pe’pa” selain jenis hewan diatas bisa diganti dengan kambing dan sapi.

Doi atau uang. Dalam proses perkawinan, uang selalu digunakan bersamaan dengan materi lain baik dari pihak laki - laki maupun dari pihak wanita. Dalam tradisi Lio nominal uang yang digunakan selalu disesuaikan dengan kemajuan zaman. Dahulu leluhur selalu menyebutkan uang dengan istilah, doi doka. Artinya doi/uang sa doka (sekeping uang 50 sen).

Mbola atau bakul merupakan karya seni lokal Lio berupa hasil kerajinan ibu – ibu yang terbuat dari anyaman lontar atau jenis lontar lainnya yang dilapisi bilah bambu aur. Mbola digunakan untuk mengisi macam – macam bahan makanan yaitu beras, padi, ubi dan lainnya.

Luka atau selendang. Luka menjadi simbol kebesaran bagi kaum laki – laki terpilih atau pemangku adat. Ini terlihat dalam sebutan untuk tetuah adat “tege no lesu nggubhu no luka” ikat dengan destar dan selimut dengan selendang. Ungkapan ini bermakna kepada orang yang memakainya mempunyai kekuasaan dan tanggungjawab yang besar. Luka juga untuk digunakan untuk tarian lokal “wanda pa’u”. Tarian yang selalu dipentas ketika ada pesta adat atau acara – acara lainnya yang bermakna kegembiraan.

Lawo, Ragi, Lambu, Luka, Lesu. Lawo atau sarung perempuan. Lawo merupakan karya tenunan lokal dengan motif khas daerah. Sebutan satuan dalam jumlah lembaran – lembaran dikenal dengan sebutan “pata”. Pata pija artinya berapa lembar. Lawo selalu didominasi dengan warna coklat. Ada beberapa motif dengan warna yang berbeda yang ditenun secara melingkar atau garis tegak lurus. Diameter sarung selalu lebih kecil dari ragi. Ragi adalah kain tenun pria berbentuk sarung. Didominasi warna hitam, diameternya lebih lebar. Selan warna hitam ada beberapa warna menghiasi “ragi” yang ditenun dalam bentuk melingkar atau garis tegak lurus. Lambu adalah baju. Orang Lio mempunyai baju adat daerah yang selalu digunakan oleh kaum wanita. Untuk laki – laki selalu disebut lambu sabhe atau baju ketiak. Lambu juga sering disebut baju bodo. Luka atau selendang. Berbentuk lembaran persegi memanjang dengan rumbai dikedua ujung disisi panjangnya. Luka selalu dibalut melintang pada pundak atau melingkar pada leher seorang pemangku adat dalam melaksanakan ritual adat. Dalam pelaksanaan adat setempat wanita tidak memakai luka sama seperti pria. Untuk wanita diikat melingkar pada pinggang. Luka juga digunakan untuk menari yang sering dikenal dengan tarian “wanda pa’u”. Warna luka selalu menyerupai “lawo”, didominasi warna coklat dengan beberapa hiasan motiv lainnya yang ditenun untuk mempertegas khas dan nama masing – masingnya. Lesu atau destar, hanya digunakan oleh kaum pria yang dipasang melingkar di kepala. Pria yang mengenakan lesu adalah mosalaki atau pemangku adat. Selalin mosalaki pria lainpun bisa mengenakan lesu dalam upacara pernikahan, pentasan seni budaya dan lainnya.

Pare, pare isi, vilu / ndene, kibi. Beberapa bahan dan makanan yang selalu ada disetiap acara perkawinan dan pernikahan. Pare atau padi. Pare isi atau beras. Vilu / ndene atau kue cucur lokal yang terbuat dari adonan tepung beras, gula aren. Vilu yang ada di Lio berbentuk oval memanjang dan padat. Kibi atau emping, terbuat dari padi yang direndam, disangan dan ditumbuk hingga bentuknya menjadi ceper.


PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PERKAWINAN ADAT LIO

Secara umum kita mengenal “nuwamuri” atau pemuda dan “weki jemu” atau pemudi. Nuwamuri dan weki jemu dilihat dari batasan usianya. Nuwamuri lo’o dan jemu lo’o atau remaja usia 15 – 20 tahun. Usia nuwamuri dan weki jemu antara 20 – 30 tahun. Sejak menjadi nuwamuri dan wekijemu lo’o sudah dilatih untuk bertanggungjawab dalam beberapa peran sebagai makluk sosial dan sebagai anggota keluarga. Misalnya mereka diajarkan atau diajak untuk berladang dan melaksanakan pekerjaan lainnya. Seorang pemuda membantu pekerjaan ayahnya dan sesekali membantu pekerjaan ibunya. Begitu pula dengan seorang pemudi, membantu pekerjaan ibunya sesekali membantu pekerjaan ayahnya. Ini terbukti dari ungkapan petuah – petuah yang selalu didengar “dau no kumu jubu lima bita” (harus dengan karya tangan sendiri), dau no runga ra (harus dengan keringat sendiri), kema ngere ata ko’o ka ngere ata ria, kema ngere ata ria ka ngere ata ko’o (kerja seperti budak makan seperti bos, kerja seperti bos makan seperti budak). Semua petuah – petuah yang mengajarkan untuk bekerja rajin, kuat dengan usaha sendiri sehingga bisa dinikmati dengan penuh rasa syukur.
Kedua belah pihak, pihak laki – laki  dan pihak perempuan, rumpun keluarga pria dan rumpun keluarga wanita.

Pihak laki – laki (papa ata kaki)                                  
           Ine (mama), ema (bapak), eda (om/paman), eba (tante / bibi), ema du’a (bapak besar), ine du’a (mama besar), ema lo’o (bapak kecil), ine lo’o (mama kecil), ka’e (kakak), aji (adik), we’ta (saudari), eja (ipar), kunu (keluarga), wuru (keluarga keturunan ibu), doa be’la (keluarga keturunan bapak).
          Semua keluarga besar yang disebut diatas merupakan anggota keluarga besar yang diundang untuk menjadi pihak keluarga besar laki – laki. Masing – masing akan membantu untuk keberhasilan berlangsungnya proses perkawinan. Secara umum semua yang disebut diatas akan membantu dalam bentuk ; wea, ngawu, eko, doi.

Pihak perempuan (papa ata fai) 
Ine (mama), ema (bapak), eda (om/paman), eba (tante / bibi), ema du’a (bapak besar), ine du’a (mama besar), ema lo’o (bapak kecil), ine lo’o (mama kecil), ka’e (kakak), aji (adik), nara (saudara), ipa (ipar), kunu (keluarga), wuru (keluarga keturunan ibu), doa be’la (keluarga keturunan bapak). 
Semua keluarga besar yang disebut diatas merupakan anggota keluarga besar yang diundang untuk menjadi pihak keluarga besar perempuan. Masing – masing akan membantu untuk keberhasilan berlangsungnya proses perkawinan. Secara umum semua yang disebut diatas akan membantu dalam bentuk ; pare, pare isi, ragi, lawo, luka, lesu, lambu.

Juru bicara (Ata mbabho) 
Juru bicara (jubir) yang menjadi pembicara antara para pihak dalam pada perkawinan di Lio dibutuhkan juru bicara. Para pihak menyediakan masing – masing juru bicara. Juru bicara tentu memahami tentang perkawinan adat lio. Bagaimana bila jubir tersebut berada dipihak laki – laki? bagaimana bila berada dipihak perempuan. Jubir biasa dihargai sa liwu sa eko (satu liwut mas satu ekor hewan). Dalam situasi tertentu jubir harus bisa berfungsi sebagai penenang.

Penghubung (ha’i jala) 
Untuk menyampaikan amanat dari pihak laki – laki dan pihak perempuan diangkatlah dari masing – masing pihak seorang yang bertugas sebagai penghubung atau dalam bahasa lio disebut sebagai “ha’i jala”.

Pa’te Bheto Tali Nao (jembatan dan pengikat) 
Beberapa jenis perkawinan harus ada “pa’te bheto tali nao”. Sebagai jembatan yang menghubung yang pengikat kesepakatan antara pihak perempuan dan pihak laki – laki.

JENIS – JENIS PERKAWINAN ADAT LIO

Beberapa defenisi para ahli menyebutkan perkawinan adat merupakan ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah yang didahului dengan rangkaian upacara adat perkawinan itu sendiri. Orang Lio mendefenisikan perkawinan dengan sebutan “nge kunu be’ka kapa, nge sa pi dhuka sa pi, nge’da sa lape ra’o sa lape” yang berarti “tambah keluarga semakin banyak, tambah satu angkatan (sa pi = 30 tahun) bertambah pula angkatannya, berkembang satu generasi (sa lape = 70 tahun) bertambah pula generasinya. Petuah serupa juga terlihat dari istilah, “susu nggua ma’e du’u, nama bapu ma’e dute”. Ungkapan ini mengandung makna “jangan berhenti melaksanakan seremonial adat, jangan berhenti melaksanakan ritual adat. Penekanan ini menceriterakan supaya generasi dalam masing – masing clean adat, untuk terus melanjutkan semua karya, semua warisan tradisi ke generasi berikutnya. Ungkapan lainnya yang mengandung makna berkembang biaklah “ngeu gi nge’da pepa”.
Di Lio, perkawinan selalu disebut dengan “nika atau nika nua”. Secara umum perkawinan akan mempengaruhi kehidupan dalam tatanan adat dan tradisi selanjutnya. Sebut saja untuk menjadi pemimpin cleannya masing – masing sebagian syaratnya adalah jenis pernikahan yang terdahulu yang digunakan.
Orang Lio mengenal 6 (lima) jenis perkawinan ; 1Dhuku Tu Lengge Lima, 2Pa’a Tu’a, 3Ruru Gare, 4Se’re Pa’a, 5Dei Ngai Pawe Ate dan  6Paru Nai.

1.   Dhuku Tu Lengge Lima
Perkawinan “Dhuku tu lengge lima”. dhuku (tekuk) tu (antar) lengge (lingkaran) lima (tangan). Harafiahnya tekuk antar dilingkaran tangan mengandung arti perkawinan antara dengan keluarga dekat dan sedarah. Perkawinan jenis ini sudah jarang ditemukan. Orang Lio menyebutkan perkawinan jenis ini bertujuan untuk menjaga kemurnian darah, sebab perkawinan ini berlaku antara putri dari saudara laki – laki dan putra dari anak suudari wanita (Ana eda doa/anak dari paman sekandung dengan ibu).

“Lengo, Ratu, Jumba, tiga laki – laki dan Mi seorang perempuan adalah saudara se-ayah se-ibu. Mereka tinggal di kampung Mbotu Ndati mereka termasuk keluarga mampu. Banyak harta, hewan dan lahan garapan yang mereka miliki. Mereka terlahir dari ayah bernama Kaki yang juga seorang pemangku adat (mosalaki) di rumah adat “sa’o ata wolo” dengan ibu bernama Mbu. Lengo, Ratu dan Kaki memanggil Mi “weta” dan Mi memanggil Lengo, Ratu dan Jumba “nara”. Dengan penuh kasih sayang Kaki dan Mbu membesarkan keempat anak mereka. Tak terasa ketiga putranya sudah menjadi seorang “nuwamuri” yang gagah berani dan putri semata wayangnya sudah menjadi “ata jemu” yang cantik jelita. Dengan persetujuan orang tuanya, Lengo si putra sulung menikah dengan anak dari Wara mosalaki “sa’o rini” rumah sekampung dengannya, dari keturunan ibunya dengan jenis perkawinan “pa’a tu’a. Begitu juga dengan kedua adiknya menikah dengan anak - anak dari rumah adat yang bersebelahan dengan mereka dan jenis perkawinan “ruru gare atau tana ale”. Sedangkan satu – satunya saudari mereka Mi menikah dengan Woda dari rumah adat “sa’o panggo”. Beberapa waktu berlalu masing – masing mereka dikarunia putra dan putri. Dari Lengo lahirlah dua putri bernama Mbejo dan Remo dan dua putra bernama Woka dan Wake. Begitu juga dengan Ratu dan Jumba. Mi melahirkan putra tunggal bernama Mbusu dan putri bernama Bupu. Anak – anak mereka tumbuh menjadi nuwamuri dan ata jemu. Mbusu putra dari Woda dan Mi memilih menikah dengan Mbejo anak dari Lengo (saudara kandung mamanya)”.
Ini hanya sebuah cerita belaka. Nama – nama orang, nama rumah adat, yang ada dalam cerita diatas bukan yang sebenarnya.

Inilah yang dinamakan dengan jenis perkawinan “dhuku tu lengge lima”. Perkawinan antara anak saudara dan anak saudari. Dari pihak saudara atau nara adalah anak perempuan dan dari pihak saudari atau weta adalah anak laki – laki. Jenis perkawinan ini dilangsungkan bisa atas dasar anak – anak saling mencintai dan atau juga dijodohkan oleh orang tuanya.

2.   Pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo
Sebelum kita mengurai jenis perkawinan ini, mari kita memahami dulu arti dari “pa’a tu’a”. Kata pa’a artinya menabung/menyimpan. Tu’a arti lurusnya kuat, dalam tatanan perkawinan tu’a adalah mama/ibu dari perempuan yang akan dinikahkan, atau mertua perempuan.
Ndiwi sepu lawo, ndiwi artinya pilin atau pegang, sepu artinya ujung dan lawo itu sarung. Ndiwi sepu lawo memegang ujung sarung. Sarung siapa yang dipegang? Bisa sarung dari saudari kandung ayah kandung atau saudari jauh ayah dari keluarga serumpun.

“Adalah Lopi seorang pemuda dari “sa’o ata wolo” anak dari Laka dan Ba’ke menikah dengan Tiwe dari “sa’o benga”anak dari Peto dan Nela. Mereka menikah dengan jenis perkawinan “ruru gare”. Waktu pembicaraan belis semua bisa diberikan oleh pihak Lopi. Karena bisa diselesaikan semua yang diwajibkan dalam tuntutan adat pihak Peto dan Nela mengantarkan anaknya Tiwe ke rumah Lopi yang dikenal di Lio dengan sebutan “be’i bu’u dha ndawa” yang berarti mengantar anak perempuan kepihak laki – laki (Lopi) karena semua belis sudah diselesaikan. Beberapa waktu kemudian ada perkawinan yang terjadi di rumah ada sa’o benga atau di rumpun keluarga Peto dan Nela. Karena kekurangan tuntutan saat pembelisan pernikahan keluarga Peto dan Nela mereka meminta bantuan ke keluarga Lopi atau dalam bahasa Lio dikenal dengan “mbana ju” (pergi minta). Lopi menyanggupi permintaan dari pihak keluarga Peto dan Nela dan memberikan sejumlah emas dan hewan. Saat Lopi memberikan sudah disampaikan ke pihak Peto dan Nela bahwa bantuan yang diberikan digantikan dengan seorang gadis yang kelaknya bisa dinikahkan dengan anaknya Lopi atau dengan anak dari keluarga serumpun dengan Lopi. Peto dan Nela menyanggupi syarat yang diberikan oleh Lopi. Saat itulah terjadi “pa’a tua atau ndiwi sepu lawo” Tiwe istri dari Lopi. Saat terjadi kesepakatan untuk “pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo Tiwe, sudah ditentukan siapa yang akan dinikahkan dengan dengan keluarga Lopi kelak. Sebut saja Mopa, putri yang ditentukan oleh pihak Peto dan Nela untuk menikah dengan laki – laki dari pihak Lopi.

Perkawinan Pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo sering menjadi konflik. Beberapa pertanyaan yang muncul yang bisa menimbulkan konflik. Bagaimana kalau Mopa menikah dengan lelaki lain yang bukan dari keluarga atau rumah adat Lopi? Bagaimana kalau keluarga Lopi tidak mau menikah dengan Mopa dengan alasan tertentu? Kalau Mopa menikah dengan laki – laki lain yang bukan dari rumah adat Lopi maka pihak keluarga Peto dan Nela harus menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Lopi dengan menunjuk gadis lain sebagai gantinya. Atau suatu saat ketika keluarga dari Lopi menikah dengan gadis dari keluarga Peto langsung dibuatkan kesepakatan bahwa gadis itu adalah Mopa.

3.   Ruru gare atau Tana Ale
Perkawinan “ruru gare atau tana ale” (artinya pergi tanya) dengan menggunakan jasa “ha’i jala” (pengentara kedua pihak), merupakan jenis perkawinan yang sering dilaksanakan diantara kedua mempelai dengan status sosial ekonomi yang mapan. Perkawinan jenis ini bermula dari kemauan sang pria kepada pasangan yang disukainya. Bisa karena pria mencintai pasangannya atau bisa karena dijodohkan oleh kedua orang tua dari masing – masing pasangan. Setelah terjadi kesepakatan dari kedua rumpun keluarga melalui “ha’i jala” atau perantara maka dilanjutkan dengan proses “pa’te bheto tali nao” atau mengikat kuat hasil kesepakatan dari kedua rumpun keluarga. Jenis perkawinan ini juga berakhir dengan “kolo wu eko beta” (belis tertebus habis/tuntas). Setelah keluarga pria sepakat untuk memilih keluarga wanita yang diinginkan, juru bicara dimandatkan untuk menanyakan keluarga wanita atas keinginan keluarga pria.

“di kampung Lise Laka terdapat beberapa rumah adat (sa’o nggua). Sebut saja “sa’o benga, sa’o sadhe, sa’o ata wolo, sa’o rini, sa’o bhisu koja, sa’o nua guta” dan rumah adat lainnya. Di Sa’o Rini sebagai mosalakinya Jira. Sa’o Nua Guta sebagai mosalakinya Loba. Dari pernikahan Jira dengan Nggua lahirlah 2 putra Rega dan Rua serta seorang putri Mbagho. Begitu juga dengan Loba, dari perkawinannya dengan Danga dikaruniai seorang putra bernama Nggiri dan putri bernama Nalu. Beberapa waktu berlalu, anak – anak dari Jira dan Loba sudah menjadi pemuda dan pemudi. Adalah Rega putra dari Jira ingin menjadikan Nalu putri dari Loba sebagai istrinya. Maksud baik dari Rega disampaikan kepada ayahnya Jira. Sebagai ayah Jira menyetujui pilihan putranya. Jira menginginkan Nalu pilihan anaknya Rega harus menjadi bagian dari rumpun keluarga besar rumah adatnya. Sehingga kelak anak – anak yang terlahir dari pasangan Rega dan Nalu menjadi anggota keluarga besar Jira. Keinginan besar Jira dibuktikan saat proses “ruru gare atau tana ale” dengan memilih Mbele sebagai “ha’i jala” atau perantara. Setelah terjadi kesepakatan antara keluarga Jira dan Loba dengan bantuan Mbele sebagai “hai jala” maka selanjutnya dilaksanakan perjanjian yang mengikat kedua rumpun keluarga dengan ritual “pa’te bhato tali nao” atau pengikat yang sebelumnya menjadi ha’i jala.

Pa’te bhato tali nao atau pengentara juga berfungsi sebagai juru bicara disaat membicarakan tuntutan dari pihak perempuan. Tetapi orang kepercayaan ini ditahap awalnya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kedua pihak. Setelah pihak perempuan menyetujui untuk melanjutkan proses adat selanjutnya, pihak laki – laki memberikan emas dan hewan untuk mengikat atau tanda jadi kedua pihak atas perkawinan anak mereka. Jadi pa’te bheto tali nao diartikan dengan bambu jenis bheto sebagai jembatan setelah disetujui, diikat dengan tali ijuk (tali nao).

4.   Sa’re Pa’a.
Perkawinan jenis ini terjadi antara putra dan putri dari satu keturunan dalam rumah adat yang sama. Turunan diatas lapis ke – 4 atau sebelumnya merupakan saudara sekandung dan rumah adat yang sama.

“Seko seorang mosalaki di sa’o sadhe. Dari perkawinannya dengan Lanu lahirlah 2 putra Ghale dan Babo serta seorang putri bernama Mara. Ghale dan Babo menikah dengan gadis pilihannya masing- masing dari kampung yang sama tetapi rumah adat yang berbeda. Mara menikah dengan Wara, pria dari kampung dan rumah adat berbeda. Karena Wara tidak menyanggupi belis maka anak – anak yang terlahir dari Mara dan Wara tetap menjadi anggota rumpun keluarga besar sa’o sadhe, menjadi tanggungjawab Seko. Selanjutnya keturunan dari Ghale memperanakkan Gharu, Gharu memperanakan Ndale, Ndale memperanakan Mite, Mite memperanakkan Ndopo, dari Ndopo lahirlah 2 putri Geno dan Jani serta seorang putra bernama Lando.
Dari keturunan Mara memperanakkan Dani, Dani memperanakkan Nggumbe, Nggumbe memperanakkan Leta, Leta memperanakkan Lambe. Dari Lambe lahirlah 2 putra bernama Mbulu dan Rede serta seorang putri bernama Mbadhi. Mbulu akhirnya menikah dengan Geno. Perkawinan antara Mbulu dan Geno terjadi digenerasi sekandung yang kelima. Ini disebut perkawinan Sa’re Pa’a.

Perkawinan jenis inilah yang sebuah bahasa adat menyebutkan “tei pati duna mea”. Secara harafiah tei (dapat) pati (berikan) duna (kurang) mea (malu). Mengadung arti kalau ada diberikan, kalau tidak ada tidak dituntut.

5.   Dei Ngai Pawe Ate
Jenis perkawinan ini juga dikenal dengan istilah “dei leka kaju pawe leka ae atau tei taga te’a lo ere atau tei pare wole bewa jawa dupa ria”.  Secara harafiah dei ngai pawe ate “dei (suka) ngai (napas) pawe (baik) ate (hati) atau mengandung arti gadis yang dipilih karena cinta dan pria menyukainya. Juga diumpamakan “dei leka kaju pawe leka ae, “dei (suka) leka (pada) kaju (kayu) pawe (baik) leka (pada) ae (air). Si pria megibaratkan kekasihnya seperti kayu dan air. Si pria menyukai kayu dan air tersebut. Perumpaan lainnya “tei taga te’a lo ere” tei (lihat) taga (betis) te’a (menguning atau matang) lo (badan) ere (halus) mengandung arti si pria memilih kekasih karena melihat betis seperti bulir padi yang menduning, badannya halus nan cantik. Perumpaan lainnya “tei pare wole bewa jawa dupa ria” tei (lihat) pare (padi) wole (tangkai) bewa (panjang) jawa (jagung) dupa (batang) ria (besar). Si pria mengibaratkan kekasikan yang dinaksir ibarat setangkai padi panjang dan sebatang jagung besar. Semua perumpaan diatas menerangkan bahwa pria memilih kekasihnya karena rasa kagum dan perasaan cinta yang mendalam. Dari rasa kagum dan cintanya dia mengutarakan perasaannya kepada wanita pilihannya. Si wanita tersebut menerima cinta si pria tersebut. Mereka sepakat untuk membina rumah tangga atas dasar suka sama suka. Karena suka sama suka atau dasar perkawinannya “cinta” maka tahap perkawinanya tidak dilalui dari  tahap awal. Tidak melalui proses masuk minta. Perkawinan jenis ini terjadi bisa karena mempelai wanita sudah hamil, mempelai laki-laki langsung tinggal dirumah perempuan dan langsung jadian.
Sekarang lebih dikenal dengan istilah “kawin masuk” dimana mempelai laki-laki akan meninggalkan keluarganya dan tinggal bersama dengan keluarga mempelai wanita. Dalam kehidupan sehari – hari sang ayah dari mempelai wanita akan mengatakan “pati topo lelo eo bosu talo, pati su’a dhawe eo lemba talo” (diserahkan tofa dan parang untuk bekerja kebun yang tidak ada habisnya). Artinya mempelai pria dengan status kawin masuk akan di bahasakan : “ko’o lo’o r’wo boko” (jadi hamba dari keluarga wanita). Bila statusnya sampai mempelai laki meninggal, maka istilah untuk orang tersebut menjadi “ka kana ru’e nggewu”. 
Perkawinan jenis ini bukan berarti yang pria tidak bisa lagi menebuskan belis. Bisa ditebus dengan beberapa syarat, diantaranya :
  1. Saat saudara laki dari sang istri/ipar/eja menikah, dimana ada bahasa “weta wa’u nara nai” (saudara perempuan keluar rumah saudara laki-laki masuk rumah), artinya dalam hal membelis semua tuntutan dari keluarga istrinya ipa/eja menjadi tanggungjawabnya.
  2. Bila mempelai sudah banyak memberi hewan atau lainnya, “dia” bisa mengeluh dan berkata, “wara ku baja r’wa, kolo ku ro r’wa”. Disini sang pria dan keluarganya sudah siap untuk membicarakan belis, ulang dari awal. Yang sudah diberikan bisa diperhitungkan dan bisa juga tidak diperhitungkan.
  3. Bila ada kematian salah satu pasangan, istri/suami. Dari pihak keluarga laki – laki menanyakan bagaimana dengan anak – anak pasangan suami istri yang sudah meninggal. Ini akan dilaksanakan pembagian anak. Anak I dan anak II menjadi bagian dari keluarga istri. Sedangkan anak ke III dan selanjutnya menjadi bagian dari keluarga perempuan. Bila anak hanya satu atau dua maka, tergantung dari pihak keluarga istri mau bersama – sama mengakui anak atau hanya dari pihak istri yang berhak.
6.   Paru Nai
Paru nai tediri dari dua suku kata paru = lari dan nai = naik. Tapi dalam perkawinan paru nai diartikan gadis lari dan masuk kerumah laki-laki. Perkawinan jenis ini dalam pelaksanaan belisnya tidak menjadi tuntutan. Jenis perkawinan ini juga menimbulkan konflik. Keluarga wanita akan merasa malu dan terhina karena perlakukan anak gadisnya.
Beberapa sebab terjadinya perkawinan “paru nai”
  1. Didasari suka sama suka 
  2. Ada riwayat “pa’a tu’a” 
  3. Tidak ada persetujuan dari salah satu pihak baik pihak laki maupun pihak perempuan. 
  4. Sang laki-laki mau dijodohkan oleh orang tuanya atau sebaliknya, dan sebab lainnya.
Berdasarkan sebab – sebab diatas wanita meninggalkan keluarganya kerumah laki-laki dan menikah dengan pilihannya.

Share: Youtube

Wa’u Tosa


Oleh Ludger S


Wa'u Tosa

Sejak dilaksanakannya acara “poto keu uwi” (masukan pinang dan jenis umbian) kerumah adat utama (sa’o ria/sa’o bhisu koja) dan lima rumah adat lainnya yang mempunyai “keu uwi” selanjutnya dilaksanakan acara “wa’u tosa”. Secara harafiah ungkapan “wa’u tosa” berasal dari kata wa’u (turun) dan tosa (bersihkan tapi lebih kepada bersihkan beras hasil tumbuk).
Jadi seremonial “wa’u tosa” adalah upacara simbolik pembersihan diri dengan melaksanakan menumbuk padi menjadi beras oleh “ine ria fai ngga’e” dan ata ine di sa’o ria berjumlah tiga orang. Setelah Wa’u tosa dilkasanakannya acara “ia keu” dimana setelah ia keu akan dilaksanakan “gawi sia”.
Wa'u tosa ; mosalaki menyerahkan alu
Beberapa “ine dan ine ria fai ngga’e keluar dari rumah adat utama dengan mengenakan baju hitam khas baju adat Lio umumnya didahului oleh mosalaki pu’u, ketempat akan dilaksanakan “wa’u tosa” disebelah kanan rumah adat. Ditempat itu sudah disedikan lesung untuk menumbuk padi.
Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu tidak boleh ribut atau mengeluarkan suara apapun saat pelaksanaan upacara “wa’u tosa”, karena simbol dari seremonial ini adalah saat penyucian diri untuk puncak acara adat.
Yang sangat menarik dari seremonial “wa’u tosa” adalah padi yang ditumbuk hingga menjadi beras hanya dengan cara menyentuh bukan dengan cara hentakkan keras, dan akhirnya padi tersebut menjadi beras juga hasilnya,….




Share: Youtube

Bara


Oleh : Ludger S


Kalender Masehi atau Anno Domini (AD) dalam bahasa Inggris adalah sebutan untuk penanggalan atau penomoran tahun yang digunakan pada kalender Julian dan Gregorian. Era kalender ini didasarkan pada tahun tradisional yang dihitung sejak kelahiran Yesus dari Nazaret. Masehi dihitung sejak hari tersebut, sedangkan sebelum itu disebut Sebelum Masehi atau SM. Perhitungan tanggal dan bulan pada Kalender Julian disempurnakan pada tahun pada tahun 1582 menjadi kalender Gregorian. Penanggalan ini kemudian digunakan secara luas di dunia untuk mempermudah komunikasi.
Kata Masehi (disingkat M) dan Sebelum Masehi (disingkat SM) berasal dari bahasa Arab (المسيح), yang berarti "yang membasuh," "mengusap" atau "membelai." (lihat pula Al-Masih). Kata ini dalam terjemahan Alkitab bahasa Arab dipakai untuk istilah bahasa Ibrani "Mesiah" atau "Mesias" yang artinya "Yang diurapi".
Dalam bahasa Latin penanggalan ini disebut "Anno Domini" (disingkat AD yang berarti "Tahun Tuhan") yang dipakai luas di dunia. Dalam bahasa Inggris pada zaman modern muncul istilah Common Era yang disingkat "CE" (secara harfiah berarti "Era Umum"), sedangkan waktu sebelum tahun 1 dipakai istilah "Before Christ" yang disingkat BC (artinya sebelum kelahiran Kristus) atau Before Common Era yang disingkat "BCE" (Sebelum Era Umum).
Awal tahun Masehi merujuk kepada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih (Yesus Kristus atau dalam bahasa Ibrani: "Yesua ha-Masiah") karena itu kalender ini dinamakan menurut Yesus atau Masihiyah (Mesias). Kebalikannya, istilah Sebelum Masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut. Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8. Penghitungan kalender ini dimulai oleh seorang biarawan bernama Dionysius Exiguus (atau "Denis Pendek") dan mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.

Indonesia
Di Indonesia selain tahun Masehi yang digunakan secara resmi, secara tidak resmi masyarakat juga mengenal tahun Hijriyah/tahun islam dan tahun Imlek/tahun Tionghoa/tahun Jawa.

Wologai
Secara umum orang Wologai menyebutnya ; leja = hari, wula = bulan, kiwa = tahun. Sudah diuraiakan pada tulisan terdahulu “bulan dalam bahasa Lio” telah diuraikan nama – nama bulan dalam bahasa Lio.
Bara atau oktober. Adat Syukuran atas panenan “Nggua Ria” telah dilaksanakan pada bulan “Jelu Jena” september. Sesuai tradisi lokal di Wologai, setelah “nggua” semua masyarakat kembali melaksanakan rutinitas harian mereka sebagai petani sawah ladang. Bara menjadi persiapan musim tanam. Kebun – kebun ladang disiangin siap ditanam dengan berbagai jenis tanaman pangan lokal. Padi ladang, jewawut, petatas, ubi kayu dan jenis lainnya setelah datangnya hujan yang biasanya datang pada “wula kebe pale ae”.
Seremonial adat yang harus dilaksanakan oleh mosalaki memasuki “wula bara” tau uma ria, paki tedo. Seremonial ini akan dijelaskan pada kesempatan berikutnya.

Referensi :

Share: Youtube

Budaya Wologai Dan Globalisasi

Oleh : Ludger S


Budaya Wologai Dan Globalisasi


Kesadaran akan pentingnya memperhatikan kebudayaan nampaknya semakin meningkat. Hal ini jelas tidak bertentangan dengan titik berat bidang kesadaran akan adanya rongrongan dari luar (globalisasi). Sebaliknya, justru kesadaran akan pentingnya pendekatan budaya, mengingatkan kita bahwa bagaimanapun jalan yang ditempuh, tetaplah manusia sebagai tujuan dan subyek globalisasi. Hendaknya manusia tidak dikorbankan untuk mencapai tujuan lain selain dirinya.
Dalam arus globalisasi, tidak luput juga membicarakan negara-negara maju, bekembang, dunia pertama, kedua dan ketiga. Sebab, keberadaan negara-negara tersebut turut menentukan kemana arah arus globalisasi nantinya. Sebagaimana yang dikatakan seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o, menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika, sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, dulu dipaksakan lewat imperialisme dan kini dilakukan dalam bentuk yang lebih meluas dengan nama globalisasi.
Tata Efi
Globalisasi secara defenitif memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya.
Banyak tanggapan dari budayawan Indonesia. Dalam hal ini sudah waktunya para budayawan Indonesia harus menggali  dan menemukan keistimewaan-keistimewaan budaya yang terkandung dalam nilai-nilai ideologi pancasila, lalu memperkenalkannya kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat bangsa-bangsa lain umumnya.

Ciri-ciri berkembangnya globalisasi

Perubahan dalam konstantin ruang dan waktu, maksudnya berkembangnya barang barang seperti HP, televisi satelit, dan internet menunjukan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepat.  Pasar dan produksi ekonomi di negara negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa, maksudnya saat ini kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional, dll.

I.           Plus Minus Globalisasi terhadap seni dan budaya
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.

Dampak Positif
Perubahan Tata Nilai dan Sikap ; adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ; Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik ; Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dampak Negatif
Pola Hidup Konsumtif ; Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. Sikap Individualistik ; Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial. Gaya Hidup Kebarat-baratan ; Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeserbudaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, remaja lebih menyukai dance dan lagu barat dibandingkan tarian dari Indonesia dan lagu-lagu Indonesia, dan lainnya. Hal ini terjadi karena kita sebagai penerus bangsa tidak bangga terhadap sesutu milik bangsa. Kesenjangan Sosial ; Apabila dalam suatu komunitas masyarakathanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi danglobalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangansosial yang menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si miskin sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan Bangsa Indonesia.

II.         Terancamnya kebudayaan Wologai di era globalisasi
Dampak dari pengaruh globalisasi dan teknologi pun sudah mulai kita rasakan. Kita ambil contoh saja dari sebuah  permaianan anak-anak, sebelum era globalisasi ini muncul masih banyak sekali permainan rakyat yang identik dengan kebudayaan seperti permainan congklak, gasing, bekel, kelereng, petak umpet, dan lain-lain.
Namun yang terjadi saat ini bahwa globalisasi dan teknologi telah mengubah semuanya. Mungkin sekarang yang ada, banyak anak kecil yang sudah tidak mengenal permainan congklak, dan sudah jarang pula kita melihat anak-anak yang duduk bersama untuk bermain bekel. Melainkan yang terjadi saat ini banyak anak-anak yang lebih memilih bermain didepan komputer, laptop, atau bahkan anak-anak sekarang sudah mulai sibuk dengan handphone yang ada digenggamannya. Yang semua itu sudah tidak asing lagi untuk kita jumpai.

Melihat globalisasi dari unsur – unsur kebudayaan
Sistem peralatan & perlengkapan hidup
Peralatan untuk menjalankan rutinitas harian masih dipertahankan. Masyarakat masih menggunakan peralatan tradisional untuk menjalankan kesehariannya.
Perlengkapan hidup sudah mengalami perubahan. Rumah kolong yang mernjadi rumah warisan leluhur sudah tidak dihuni. Perlengkapan rumah tangga mengalami perubahan besar. Jarang ditemukan, periuk tanah, jenis – jenis tas lokal, perabot rumah tangga lainnya.
Sistem mata pencaharian
Umumnya orang Wologai bermata pencarian sebagai petani sawah dan ladang. Ini masih dijalankan oleh orang – orang tua. Perubahan yang terjadi, banyak kaum mudah yang bermata pencarian tidak tetap. Kadang ojek, kadang buruh material bangunan, dan banyak yang menjadi asli pengangguran. Kopi, kemiri, halia, beras bengawan, jewawut, jagung, dan lainnya yang menjadi sumber penghasilan utama di Wologai menjadi menurun hasil produksinya.
Sistem kemasyarakatan
Semangat gotong – royong menjadi tatanan sosial kemasyarakatan warisan leluhurpun menjadi perlahan menurun. Kerjasama dalam bentuk kelompok (dhawe jughu) jarang ditemukan. Kerjsasama dalam membangun rumah sudah jarang ditemukan. Orang lebih memilih kerja dibayar dan membayar.
Bahasa
Wologai menggunakan bahasa Lio umumnya. Bahasa Lio masih digunakan dalam keseharian mereka. Tetapi mereka mengguna bahasa pasar. Sedangkan bahasa yang diwariskan leluhur sudah tidak dipahami oleh generasi muda. Kesantunan dalam menyampaikan pesan kepada sesama terlihat spontan dan ceplas ceplos.
Kesenian
Alat Musik
Wologai menyimpan banyak kesenian lokal yang sudah tidak dijalankan lagi. Alat music tradisional seperti okulele, gambus, sato, fuli li, feko, lamba jawa, mou monga sudah tidak ditemukan lagi.
Tarian
Tarian – tarian “goro tenga” (menarik balok kayu untuk bangunan rumah) dijadikan tarian pentasan. Dipentaskan saat penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Dulu tarian goro tenga langsung ditarikan saat goro tenga.
Tarian wanda pau (tarian selendang) dimainkan saat pesta pernikahan dan lainnya sudah tidak menggunakan feko bu tetapi menggunakan music modern.
Sistem pengetahuan
Pengetahuan dalam kontek budaya sudah tidak dilaksnakan lagi. Dari cerita yang didapat, bagaimana meneruskan sejarah turun temurun sudah tidak diteruskan. Sejarah tentang pertalian saudara dari hubungan kawin mawin, sejarah tentang tanah warisan, sejarah tentang hak – hak ulayat, sejarah tentang asal muasal menjadi sesuatu yang dilupakan. Cara meneruskan sejarah kepada generasi berikutnya baik dengan lisan maupun tulisan.
Sistem religi
Orang Wologai percaya bahwa mereka menyembah Tuhan dengan cara tradisional. Dengan cara melaksanakan adat istiadat yang diwariskan leluhur. Dibuktikan dengan banyaknya seremonial syukuran (nggua). Selalu mengucapkan, “du’a gheta lulu wula Ngga’e ghale wena tanah” (tetua dibelakang bulan, Tuhan didasar tanah).
Di era globalisasi, pemuda dan pemudi Wologai lupa dengan konsep religi / kepercayaan warisan leluhur.

Dari ulasan diatas, suatu gejala melupakan kebudayaan warisan leluhur menjadi perhatian bersama. Bagaimana dan siapa yang mengemban tugas melestarikan serta mewariskan ke generasi berikutnya menjadi pertanyaan besar.

Kalau saya sih, menjadikan Ilmu Budaya Lokal kedalam sistim kurikulum pendidikan di sembilan tahun pertama sekolah. Heheehehe...ngayal kale ya
Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook

Gerunion Creator

Wikipedia

Hasil penelusuran

Adsense

Recent Posts

Pepatah Lio

  • Ni Sariphi Tau Wini, Tuke Sawole ngara du nggonde.
  • Lowo Jawu Ae Ngenda.
  • Ndange Beke dan Ngenda Beke.