berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Wa’u Tosa


Oleh Ludger S


Wa'u Tosa

Sejak dilaksanakannya acara “poto keu uwi” (masukan pinang dan jenis umbian) kerumah adat utama (sa’o ria/sa’o bhisu koja) dan lima rumah adat lainnya yang mempunyai “keu uwi” selanjutnya dilaksanakan acara “wa’u tosa”. Secara harafiah ungkapan “wa’u tosa” berasal dari kata wa’u (turun) dan tosa (bersihkan tapi lebih kepada bersihkan beras hasil tumbuk).
Jadi seremonial “wa’u tosa” adalah upacara simbolik pembersihan diri dengan melaksanakan menumbuk padi menjadi beras oleh “ine ria fai ngga’e” dan ata ine di sa’o ria berjumlah tiga orang. Setelah Wa’u tosa dilkasanakannya acara “ia keu” dimana setelah ia keu akan dilaksanakan “gawi sia”.
Wa'u tosa ; mosalaki menyerahkan alu
Beberapa “ine dan ine ria fai ngga’e keluar dari rumah adat utama dengan mengenakan baju hitam khas baju adat Lio umumnya didahului oleh mosalaki pu’u, ketempat akan dilaksanakan “wa’u tosa” disebelah kanan rumah adat. Ditempat itu sudah disedikan lesung untuk menumbuk padi.
Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu tidak boleh ribut atau mengeluarkan suara apapun saat pelaksanaan upacara “wa’u tosa”, karena simbol dari seremonial ini adalah saat penyucian diri untuk puncak acara adat.
Yang sangat menarik dari seremonial “wa’u tosa” adalah padi yang ditumbuk hingga menjadi beras hanya dengan cara menyentuh bukan dengan cara hentakkan keras, dan akhirnya padi tersebut menjadi beras juga hasilnya,….




Share: Youtube

Bara


Oleh : Ludger S


Kalender Masehi atau Anno Domini (AD) dalam bahasa Inggris adalah sebutan untuk penanggalan atau penomoran tahun yang digunakan pada kalender Julian dan Gregorian. Era kalender ini didasarkan pada tahun tradisional yang dihitung sejak kelahiran Yesus dari Nazaret. Masehi dihitung sejak hari tersebut, sedangkan sebelum itu disebut Sebelum Masehi atau SM. Perhitungan tanggal dan bulan pada Kalender Julian disempurnakan pada tahun pada tahun 1582 menjadi kalender Gregorian. Penanggalan ini kemudian digunakan secara luas di dunia untuk mempermudah komunikasi.
Kata Masehi (disingkat M) dan Sebelum Masehi (disingkat SM) berasal dari bahasa Arab (المسيح), yang berarti "yang membasuh," "mengusap" atau "membelai." (lihat pula Al-Masih). Kata ini dalam terjemahan Alkitab bahasa Arab dipakai untuk istilah bahasa Ibrani "Mesiah" atau "Mesias" yang artinya "Yang diurapi".
Dalam bahasa Latin penanggalan ini disebut "Anno Domini" (disingkat AD yang berarti "Tahun Tuhan") yang dipakai luas di dunia. Dalam bahasa Inggris pada zaman modern muncul istilah Common Era yang disingkat "CE" (secara harfiah berarti "Era Umum"), sedangkan waktu sebelum tahun 1 dipakai istilah "Before Christ" yang disingkat BC (artinya sebelum kelahiran Kristus) atau Before Common Era yang disingkat "BCE" (Sebelum Era Umum).
Awal tahun Masehi merujuk kepada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih (Yesus Kristus atau dalam bahasa Ibrani: "Yesua ha-Masiah") karena itu kalender ini dinamakan menurut Yesus atau Masihiyah (Mesias). Kebalikannya, istilah Sebelum Masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut. Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8. Penghitungan kalender ini dimulai oleh seorang biarawan bernama Dionysius Exiguus (atau "Denis Pendek") dan mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.

Indonesia
Di Indonesia selain tahun Masehi yang digunakan secara resmi, secara tidak resmi masyarakat juga mengenal tahun Hijriyah/tahun islam dan tahun Imlek/tahun Tionghoa/tahun Jawa.

Wologai
Secara umum orang Wologai menyebutnya ; leja = hari, wula = bulan, kiwa = tahun. Sudah diuraiakan pada tulisan terdahulu “bulan dalam bahasa Lio” telah diuraikan nama – nama bulan dalam bahasa Lio.
Bara atau oktober. Adat Syukuran atas panenan “Nggua Ria” telah dilaksanakan pada bulan “Jelu Jena” september. Sesuai tradisi lokal di Wologai, setelah “nggua” semua masyarakat kembali melaksanakan rutinitas harian mereka sebagai petani sawah ladang. Bara menjadi persiapan musim tanam. Kebun – kebun ladang disiangin siap ditanam dengan berbagai jenis tanaman pangan lokal. Padi ladang, jewawut, petatas, ubi kayu dan jenis lainnya setelah datangnya hujan yang biasanya datang pada “wula kebe pale ae”.
Seremonial adat yang harus dilaksanakan oleh mosalaki memasuki “wula bara” tau uma ria, paki tedo. Seremonial ini akan dijelaskan pada kesempatan berikutnya.

Referensi :

Share: Youtube

Budaya Wologai Dan Globalisasi

Oleh : Ludger S


Budaya Wologai Dan Globalisasi


Kesadaran akan pentingnya memperhatikan kebudayaan nampaknya semakin meningkat. Hal ini jelas tidak bertentangan dengan titik berat bidang kesadaran akan adanya rongrongan dari luar (globalisasi). Sebaliknya, justru kesadaran akan pentingnya pendekatan budaya, mengingatkan kita bahwa bagaimanapun jalan yang ditempuh, tetaplah manusia sebagai tujuan dan subyek globalisasi. Hendaknya manusia tidak dikorbankan untuk mencapai tujuan lain selain dirinya.
Dalam arus globalisasi, tidak luput juga membicarakan negara-negara maju, bekembang, dunia pertama, kedua dan ketiga. Sebab, keberadaan negara-negara tersebut turut menentukan kemana arah arus globalisasi nantinya. Sebagaimana yang dikatakan seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o, menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika, sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, dulu dipaksakan lewat imperialisme dan kini dilakukan dalam bentuk yang lebih meluas dengan nama globalisasi.
Tata Efi
Globalisasi secara defenitif memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya.
Banyak tanggapan dari budayawan Indonesia. Dalam hal ini sudah waktunya para budayawan Indonesia harus menggali  dan menemukan keistimewaan-keistimewaan budaya yang terkandung dalam nilai-nilai ideologi pancasila, lalu memperkenalkannya kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat bangsa-bangsa lain umumnya.

Ciri-ciri berkembangnya globalisasi

Perubahan dalam konstantin ruang dan waktu, maksudnya berkembangnya barang barang seperti HP, televisi satelit, dan internet menunjukan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepat.  Pasar dan produksi ekonomi di negara negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa, maksudnya saat ini kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional, dll.

I.           Plus Minus Globalisasi terhadap seni dan budaya
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.

Dampak Positif
Perubahan Tata Nilai dan Sikap ; adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ; Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik ; Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dampak Negatif
Pola Hidup Konsumtif ; Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. Sikap Individualistik ; Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial. Gaya Hidup Kebarat-baratan ; Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeserbudaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, remaja lebih menyukai dance dan lagu barat dibandingkan tarian dari Indonesia dan lagu-lagu Indonesia, dan lainnya. Hal ini terjadi karena kita sebagai penerus bangsa tidak bangga terhadap sesutu milik bangsa. Kesenjangan Sosial ; Apabila dalam suatu komunitas masyarakathanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi danglobalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangansosial yang menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si miskin sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan Bangsa Indonesia.

II.         Terancamnya kebudayaan Wologai di era globalisasi
Dampak dari pengaruh globalisasi dan teknologi pun sudah mulai kita rasakan. Kita ambil contoh saja dari sebuah  permaianan anak-anak, sebelum era globalisasi ini muncul masih banyak sekali permainan rakyat yang identik dengan kebudayaan seperti permainan congklak, gasing, bekel, kelereng, petak umpet, dan lain-lain.
Namun yang terjadi saat ini bahwa globalisasi dan teknologi telah mengubah semuanya. Mungkin sekarang yang ada, banyak anak kecil yang sudah tidak mengenal permainan congklak, dan sudah jarang pula kita melihat anak-anak yang duduk bersama untuk bermain bekel. Melainkan yang terjadi saat ini banyak anak-anak yang lebih memilih bermain didepan komputer, laptop, atau bahkan anak-anak sekarang sudah mulai sibuk dengan handphone yang ada digenggamannya. Yang semua itu sudah tidak asing lagi untuk kita jumpai.

Melihat globalisasi dari unsur – unsur kebudayaan
Sistem peralatan & perlengkapan hidup
Peralatan untuk menjalankan rutinitas harian masih dipertahankan. Masyarakat masih menggunakan peralatan tradisional untuk menjalankan kesehariannya.
Perlengkapan hidup sudah mengalami perubahan. Rumah kolong yang mernjadi rumah warisan leluhur sudah tidak dihuni. Perlengkapan rumah tangga mengalami perubahan besar. Jarang ditemukan, periuk tanah, jenis – jenis tas lokal, perabot rumah tangga lainnya.
Sistem mata pencaharian
Umumnya orang Wologai bermata pencarian sebagai petani sawah dan ladang. Ini masih dijalankan oleh orang – orang tua. Perubahan yang terjadi, banyak kaum mudah yang bermata pencarian tidak tetap. Kadang ojek, kadang buruh material bangunan, dan banyak yang menjadi asli pengangguran. Kopi, kemiri, halia, beras bengawan, jewawut, jagung, dan lainnya yang menjadi sumber penghasilan utama di Wologai menjadi menurun hasil produksinya.
Sistem kemasyarakatan
Semangat gotong – royong menjadi tatanan sosial kemasyarakatan warisan leluhurpun menjadi perlahan menurun. Kerjasama dalam bentuk kelompok (dhawe jughu) jarang ditemukan. Kerjsasama dalam membangun rumah sudah jarang ditemukan. Orang lebih memilih kerja dibayar dan membayar.
Bahasa
Wologai menggunakan bahasa Lio umumnya. Bahasa Lio masih digunakan dalam keseharian mereka. Tetapi mereka mengguna bahasa pasar. Sedangkan bahasa yang diwariskan leluhur sudah tidak dipahami oleh generasi muda. Kesantunan dalam menyampaikan pesan kepada sesama terlihat spontan dan ceplas ceplos.
Kesenian
Alat Musik
Wologai menyimpan banyak kesenian lokal yang sudah tidak dijalankan lagi. Alat music tradisional seperti okulele, gambus, sato, fuli li, feko, lamba jawa, mou monga sudah tidak ditemukan lagi.
Tarian
Tarian – tarian “goro tenga” (menarik balok kayu untuk bangunan rumah) dijadikan tarian pentasan. Dipentaskan saat penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Dulu tarian goro tenga langsung ditarikan saat goro tenga.
Tarian wanda pau (tarian selendang) dimainkan saat pesta pernikahan dan lainnya sudah tidak menggunakan feko bu tetapi menggunakan music modern.
Sistem pengetahuan
Pengetahuan dalam kontek budaya sudah tidak dilaksnakan lagi. Dari cerita yang didapat, bagaimana meneruskan sejarah turun temurun sudah tidak diteruskan. Sejarah tentang pertalian saudara dari hubungan kawin mawin, sejarah tentang tanah warisan, sejarah tentang hak – hak ulayat, sejarah tentang asal muasal menjadi sesuatu yang dilupakan. Cara meneruskan sejarah kepada generasi berikutnya baik dengan lisan maupun tulisan.
Sistem religi
Orang Wologai percaya bahwa mereka menyembah Tuhan dengan cara tradisional. Dengan cara melaksanakan adat istiadat yang diwariskan leluhur. Dibuktikan dengan banyaknya seremonial syukuran (nggua). Selalu mengucapkan, “du’a gheta lulu wula Ngga’e ghale wena tanah” (tetua dibelakang bulan, Tuhan didasar tanah).
Di era globalisasi, pemuda dan pemudi Wologai lupa dengan konsep religi / kepercayaan warisan leluhur.

Dari ulasan diatas, suatu gejala melupakan kebudayaan warisan leluhur menjadi perhatian bersama. Bagaimana dan siapa yang mengemban tugas melestarikan serta mewariskan ke generasi berikutnya menjadi pertanyaan besar.

Kalau saya sih, menjadikan Ilmu Budaya Lokal kedalam sistim kurikulum pendidikan di sembilan tahun pertama sekolah. Heheehehe...ngayal kale ya
Share: Youtube

Konstruksi Bangunan Rumah Adat Lio Wologai

Oleh : Ludger S

Konstruksi Bangunan Rumah Adat Lio Wologai



Dalam arti umum, rumah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun untuk istilah tempat tinggal yang khusus bagi hewan adalah sangkar, sarang, atau kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain. Dalam kegiatan sehari-hari, orang biasanya berada di luar rumah untuk bekerja, bersekolah atau melakukan aktivitas lain. Aktifitas yang paling sering dilakukan di dalam rumah adalah beristirahat dan tidur. Selebihnya, rumah berfungsi sebagai tempat beraktivitas antara anggota keluarga atau teman, baik di dalam maupun di luar rumah pekarangan.

Rumah dapat berfungsi sebagai tempat untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tempat untuk beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga, dan tempat untuk menunjukkan tingkat sosial dalam masyarakat.

Konstruksi rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap. Rumah memiliki jalan masuk berupa pintu dengan tambahan berjendela. Lantai rumah biasanya berupa tanah, ubin, babut, keramik, atau bahan material lainnya. Rumah bergaya modern biasanya memiliki unsur-unsur ini. Ruangan di dalam rumah terbagi menjadi beberapa ruang yang berfungsi secara spesifik, seperti kolam renang, ruang kerja, ruang belajar, kebun, ruang olahraga, ruang cuci, laboratorium, pantry, perpustakaan, ruang bermain, taman bermain, kolam ikan, ruang musik, ruang doa, kamar tidur, kamar mandi, toilet (WC), ruang makan, dapur, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras dan pekarangan.

Konstruksi rumah yang bagus harus memperhatikan efisiensi pemakaian energi. Konstruksi rumah hemat energi di Indonesia yang beriklim tropis tidak serumit konstruksi rumah di negara-negara yang beriklim subtropis, karena tidak ada perubahan musim yang ekstrem. Kebutuhan energi untuk pencahayaan, insulasi, ventilasi, pengaturan udara, dan lain-lain tidak sebesar rumah di negara-negara dengan empat musim. Efisiensi energi bisa dimaksimalkan dengan memakai pencahayaan alami di siang hari, tata letak lampu penerangan yang tepat, pemakaian lampu hemat energi, pemasanan ventilasi dan insulasi pada dinding, pemilihan atap yang tidak menyerap panas, dan pemakaian peralatan listrik yang hemat energi.

Dalam desain rumah hemat energi, termasuk didalamnya segala rancang bangunan yang ramah lingkungan, dengan meminimalkan penggunaan energi tidak terbarui dan mengoptimalkan pemanfaatan energi alami. Keterbatasan sumber daya alam membuat konstruksi rumah hemat energi menjadi semakin relevan mulai dari sekarang.



Rumah Adat di Wologai

Bentuk rumah secara umum berdiri dari beberapa tiang pancangan batu panjang ± 100 cm. batu ini adalah batu alam, bukan coran semen, beton atau sejenis lainnya. Sejak rencana pembangunan rumah, yang paling utama adalah izin dari “Mosalaki”  tua adat untuk seremonial pelatakan batu pertama atau lebih dikenal dengan sebutan “welu watu”.
Sejak orang belum mengenal semen istilah “welu watu”  disebut dengan “peso watu” (peletakan batu), dimana seremonial ini sendiri disebut dengan istilah “pije pare bara”. Beberapa jenis bahan yang harus disiapkan saat pelaksanaan “pije pare bara” seperti “wea/ngawu (emas bentuk lokal), nggako rano (eceng gondok), pare bara (beras putih), lengi nio (minyak kepala), ana manu (anak ayam) yang nantinya akan diletakan pada “l’ke p’ra” (sebuah tiang yang diyakini sebagai media prnghubung dengan leluhur dan Tuhan).

 

Urutan kontruksi rumah dari bawah ke atas sebagai berikut :

Lewu  (kolong)

Leke (tiang) : Sejak direncanakan akan membangun sebuah bangunan rumah, seperti biasa ratakan permukaan tanah dengan sebutan “ kali seka sa’o” (persiapan fondasi). Setelah “seka sa’o” dilanjutkan dengan pengambilan batu sebagai tiang  “le’ke sa’o” dengan jumlah yang selalu genap dan minimalnya 12 tiang/l’ke.

Tenga : tenga atau balok besar yang menyangga rumah dan langsung dipasang diatas tiang batu. Bentuk tenga berupa balok glondongan.

Isi : Letaknya setelah tenga sebagai penyangga dinding papan, tiang, alas papan lantai. Berbentuk balok dengan ukuran sesuai kebutuhan, 8 cm x 12 cm atau sesuai beban bangunan.

Gebe lewu : papan berukuran lebar, tebal dan selebar ukuran rumah yang dipasang pada tenda (beranda) rumah. Karena letak ruang tamu lebih rendah dengan ruang bagian dalam rumah gebe lewu berfungsi sebagai pengikatnya.
Dalo : balok sebagai alas papan lantai.


Sa’o (rumah)

Pene : Pene atau pintu. Rumah adat Lio tidak mempunyai pintu di beranda atau ruang tamu. Pintu dipasang untuk memasuki ruangan dalam rumah. Pene selalu ada dua lembar kiri dan kanan. Letaknya bagian tengah di atas gebe lewu. Yang bersamaan dengan pene ada “kume pene, benga susu, kata bendi”.

Tenda / maga : Ruang tamu. Tenda selalu dibangun bagian depan rumah. Setiap tamu yang datang, setelah menaiki tangga memasuki pintu tak berdaun langsung di tenda.

Lore :  Lore atau Lorong. Ketika memasuki rumah kita akan melewati pintu dan Lore. Kiri kanan lore terletak tunggu masak.

Waja : Tungku

Lata : Papan panjang sebagai tempat duduk
Dhembi lulu : serambi bagian belakang
Wisu : Wisu atau sudut. Merupakan tiang penyanggka rumah
Benga kebi : papan dinding
Loki : tempatnya dibelakang tungku. Bisa duduk.
Pne lo’o/pene mbasi : pintu kecil/pintu samping. Menyerupai jendela.



Ghubu : atap
Isi, Mangu, Benga toko, Gola, Jara, Isi ghubu, Soku, Eba, Tenda teo, Pate, Ki / nao, Watu Wula leja

Pentahapan kerja
Siapkan lokasi untuk pembangunan rumah atau “seka sa’o”.
Persiapan ramuam/bahan secara umum berupa pengadaan Leke, Tenga, Isi, Benga, Wisu, Kogo laba, Mangu, Isi ghubu, Ki / nao, Soku, Eba, dan lainnya.

Urutan pekerjaan bangunan
Wisu …., “naka wisu”, Dube nitu, Teka jala kuri, Ndeku leke, peja wisu, dari benga, pene lo’o, pene ria, lera, soro dalo, teo gebe lewu, reso wisu, gola, dari mangu, pije isi ghubu, kema kae, weka ndawa, beranda, nama souk, nama eba, ola teo, ate, peso wula leja, joka nitu, nai sa’o = ka nio mu’u tewu, semu remo / ka are kidhe dan seterusnya.

Nanti dijelaskan


Desain Rumah Tanpa Denah, bersama Bapak Paulus Lengga kita akan mengetahui urutan membangun Rumah Adat Wologai yang dimulai dari :
“Wisu …., “naka wisu”, Dube nitu, Teka jala kuri, Ndeku l’ke, p’ja wisu, dari benga, p’ne lo’o p’ne ria, l’ra, soro dalo, teo g’be lewu, r’so wisu, gola, dari mangu, pije isi ghubu, kema kae, w’ka ndawa, beranda, nama soku, nama eba, ola teo, ate, peso wula leja, joka nitu, nai sa’o = ka nio mu’u tewu, semu remo / ka are kidhe”. 






Share: Youtube

Kelimutu

Oleh : Ludger S, disadur dari berbagai sumber


Kelimutu

Surganya orang “Lio” itulah suatu warisan legenda dari generasi ke generasi berikutnya. Ini dibuktikan dengan seringnya “ata Lio” (suku Lio di Flores Kab. Ende) bahwa danau Kelimutu dengan 3 kawah/danau/kolam yang dalam sebutan lokal “tiwu ata bupu” (danau untuk beristirahatnya arwah orang tua) “tiwu nuwa muri we’ki je’mu’ (danau untuk peristirahatan arwah kaum muda mudi) “tiwu ata polo” (danau peristirahatan arwah orang jahat).

Cerita tentang keunikan Danau Kelimutu bukan cerita baru. Ratusan tulisan telah dihadirkan dalam berbagai bahasa dan versi untuk melukiskan keunikan itu. Namun adakah yang pernah menyinggung tentang sisi lain dari Kelimutu? Tidak bisa dimungkiri bahwa Kelimutu ternyata bukan sekadar keunikan danaunya saja.

Kelimutu ternyata memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Sayangnya, selama ini para pengunjung Kelimutu masih terfokus pada keunikan Danau Kelimutu saja. Padahal kalau meluangkan waktu untuk berpaling sejenak, melihat keragaman flora dan fauna di sekitarnya, para pengunjung dipastikan akan terkagum-kagum bahwa Kelimutu bukan saja unik, tapi juga indah.

Jejak langkah Kelimutu sebagai taman nasional dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 89/KPts-II 1983, tanggal 2 Desember 1983 tentang penunjukan area hutan di NTT seluas kurang lebih 1.667.962 hektar sebagai kawasan hutan tetap, dalamnya terdapat kelompok hutan Sokoria. Pada tanggal 4 Oktober 1985, Keputusan Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1985 menunjuk Danau Kelimutu dan kawasan hutan di sekitarnya seluas lima ribu hektar menjadi hutan suaka alam dan cagar alam seluas 16 hektar sebagai kawasan hutan wisata yang dalamnya menjadi taman wisata selua 4.984. Seperti yang diungkapkan dalam laporan akhir studi komunitas flora dan fauna yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kelimutu Ditjen PHKA-Departemen Kehutanan kerja sama dengan pusat penelitian Biologi LIPI-Bogor dikatakan bahwa selanjutnya pada tanggal 26 Februari 1992 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.279/Kpts-II/1992 terjadi perubahan fungsi dan penunjukan cagar alam Danau Kelimutu yang luasnya 5 ribu hektar menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Kelimutu.

Parameter Fisik Danau Kelimutu

Danau Biru 
Kedalaman Maks/Min 64
Diameter Danau Maks/Min 400/330
Diameter Kawah Maks/Min 580/375
Tinggi muka air (m dpl) 1382
Luas area (m persegi) 81.700
Volume (juta m kubik) 5,3
Daerah Tangkapan (105m2) 1,7

Danau Hijau 
Kedalaman Maks/Min 127
Diameter Danau Maks/Min 430/306
Diameter Kawah Maks/Min 520/375
Tinggi muka air (m dpl) 1394
Luas area (m persegi) 91.700
Volume (juta m kubik) 6,4
Daerah Tangkapan (105m2) 2,3
Danau Merah
Kedalaman Maks/Min 67
Diameter Danau Maks/Min 357/260
Diameter Kawah Maks/Min 400/360
Tinggi muka air (m dpl) 1354
Luas area (m persegi) 60.400
Volume (juta m kubik) 4,2
Daerah Tangkapan (105m2) 4,1

Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 679/Kpts-II/1997 pada tanggal 26 Februari 1997 kawasan Taman Nasional Kelimutu diperluas menjadi 5356,50 hektare. Secara administratif pemerintahan kawasan Taman Nasional Kelimutu meliputi lima kecamatan yaitu Kecamatan Detusoko, Kecamatan Wolowaru, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Ndona dan Kecamatan Kelimutu. Terdapat 24 desa yang berbatasan langsung dengan TN Kelimutu yaitu sebelah utara dengan Desa Wolofeo, Detusoko, Detusoko Barat, Wologae, Wologai Tengah, Sapijena, Nuamuri Barat. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Roga, Sokoria, Kurulimbu dan Desa Demulaka. Sebelah Timur dengan Desa Pemo, Koanara, Woloara, Tenda, Wiwipemo dan Kelurahan Wolojita. Sebelah barat dengan Desa Puutuga, Kelikiku, Wolomasi, Saga, Ndito dan Niowula.

Sebagai kawasan konservasi pengelolaan TN Kelimutu berbasiskan pada zonasi yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 16/Kpts/Dj-V/2001, tanggal 6 Februari 2001 yang terdiri atas empat zona yaitu zona inti luasnya 350,50 hektare di sekitar kawasan tiga danau yaitu tiwu ata mbupu, tiwu ata polo dan tiwu nuamuri koofai. Sedangkan zona pemanfaatan intensif luasnya 96,50 hektar terletak pada lereng yang berbatasan langsung dengan zona inti. Zona rimba luasnya 4.351.000 hektare tersebar di seluruh kawasan TN Kelimutu, berbatasan langsung dengan zona inti, serta zona rehabilitasi luasnya 558.50 hektare berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk terutama di Kecamatan Detusoko dan Kecamatan Ndona.

Kawasan Taman Nasional Kelimutu memiliki beberapa sungai yang mengalir sepanjang tahun seperti sungai Aemara dan Sungai Aebai dan juga sungai yang mengalir hanya pada musim hujan seperti sungai Lowo Ndoe, Lowo Ria, Lowo Napu, Lowo Maru, Lowo Mutu dan beberapa anak sungai yang ada dalam kawasan. Sumber-sumber air tersebut  sangat berguna bagi masyarakat, baik untuk minum dan air minum ternak serta untuk pengairan persawahan. Kawasan TN Kelimutu beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1.615 sampai 3.363 mm per tahun. Musim hujan dimulai pada bulan Desember hingga Maret. Bulan Oktober dan November merupakan musim kering. Suhu udara berkisar antara 25,5-31 derajat Celsius.

Pada musim hujan flora dalam kawasan tampak hijau, tetapi pada musim kering terutama pada bulan Oktober dan November banyak tumbuhan yang meluruhkan daunnya. Kondisi tanah dan iklim berpangaruh langsung terhadap keanekaragaman flora dan fauna yang ada di atasnya. Dari hasil studi komunitas flora dan fauna di Taman Nasional Kelimutu yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kelimutu Ditjen PHKA-Depertemen Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biologi-LIPI-Bogor pad tahun 2007 lalu menyimpulkan bahwa keanekaragaman flora tertinggi terdapat pada zona rimba. Selain itu, diketahui terdapat 78 jenis pohon dalam kawasan TN Kelimutu yang tersebar pada empat zona yaitu zona rimba terdapat 55 jenis, zona pemanfaatan intensif terdapat 30 jenis, zona rehabiltasi ada 19 jenis dan zona inti terdapat tujuh jenis pohon. Jenis flora yang persebarannya luas pada empat zona adalah mboa atau dalam bahasa umum, sendeduk. Selain itu, pada Flora zona tracking terdiri dari 290 nomor pohon terdiri atas 27 jenis dari 17 suku. Jenis yang paling banyak dalam flora tracking adalah pohon Bu sebanyak 42, 75 persen dan Teru sebanyak 17,69 persen.

Dari hasil studi itu juga ditemukan dua jenis tumbuhan sebagai flora endemik Kelimutu yaitu Uta Onga (Begonia Kelimutuensis) dan Turuwara serta satu ekosistem spesifik Kelimutu yaitu ekosistem vacinium dan rhododendron. Dua jenis flora yang diwaspadai status kelangkaannya yaitu jita dan upe. Selain itu, terdapat 49 jenis burung yang tersebar dalam kawasan TN Kelimutu, yaitu 10 jenis terdapat pada zona inti, lima jenis pada zona rimba dan 33 jenis pada zona pemanfaatan intensif. Dari 49 jenis burung, terdapat lima jenis endemik Flores. Terdapat 14 jenis mamalia, yaitu empat jenis kelelawar, tga jenis tikus, satu jenis curucut, satu jenis kera, dua jenis babi hutan, dua jenis landak dan satu jenis tikus besar.

Di kawasan TN Kelimutu ditemukan tiga jenis mamalia yang merupakan endemik Flores adalah tikus lawo, deke dan babi hutan Flores atau dalam bahasa setempat disebut wawi ndua. Ditemukan juga empat jenis ular, satu jenis kadal dan molusca. Hasil studi tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa di Kelimutu tidak hanya Danau Kelimutu yang bisa dinikmati oleh para pengunjung karena Kelimutu memang menyimpan berbagai aneka flora dan fauna yang sangatlah disayangkan kalau dilewatkan begitu saja.

Hasil studi komunitas Flora dan Fauna Taman Nasional Kelimutu yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kelimutu bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biologi-LIPI-Bogor pada tahun 2007 lalu menemukan bahwa di Taman Nasional Kelimutu terdapat satu spesies yang menjadi kekhasan Taman Nasional Kelimutu yakni Uta Onga atau dalam bahasa Latin disebut Begonia Kelimutuensis. Sangatlah beralasan kalau Uta Onga dinamakan Begonia Kelimutuensis. Nama itu diberikan karena spesies itu hanya ditemukan di Taman Nasional Kelimutu. (Ludger, Peibenga City)

Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook

Gerunion Creator

Wikipedia

Hasil penelusuran

Adsense

Recent Posts

Pepatah Lio

  • Ni Sariphi Tau Wini, Tuke Sawole ngara du nggonde.
  • Lowo Jawu Ae Ngenda.
  • Ndange Beke dan Ngenda Beke.