Pada
dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya“ dalam pergaulan hidup dan
kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala
yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang
ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama
yang terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anak yang terbentuk karena perkawinan. Selain
memiliki faedah yang besar, perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu
membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang No.
1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin
antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Sesuai
dengan rumusan itu, perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja
tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah
perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan.
Sebagai perbuatan hukum karena perbutan itu menimbulkan akibat-akibat hukum
baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya. Sedangkan sebagai akibat
perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan
ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah
memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.
Perkawinan merupakan ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang
membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan
hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya
dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Pernikahan
adalah upacara
pengikatan janji
nikah
yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan
perkawinan
secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan
variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat
atau aturan tertentu kadang - kadang berkaitan dengan
aturan atau hukum agama
tertentu pula.
Pengesahan
secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang
mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan
acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat - istiadat yang berlaku, dan
kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga.
Wanita
dan pria
yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah
upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Dari
beberapa uraian diatas kita melihat bagaimana sebuah perkawinan itu terjadi di
daerah Ende Flores NTT, khusunya di daerah Lio. Seperti di daerah lainnya,
orang Lio juga mempunyai tatanan,
upacara dan ritual perkawinan. Bedanya nikah secara hukum adat tidak secara
tertulis. Perkawinan dan pernikahan
menurut adat Lio juga mendefenisikan menyatukan dua pasangan beda jenis kelamin
dalam ikatan lahir dan batin secara adat. Ini terbukti dengan simbol ungkapan
adat “tubu
tau mula jumu,
lodo nda wa sea ae mesa,
ngara da gheta liru mera”. Ini merupakan ungkapan perumpaan dengan arti “tiang batu
untuk menanam, batu ceper/plat yang rata dipenuhi air, menghadap ke langit yang
memerah”.
Dari
beberapa legenda lokal, “ana kalo” (anak yatim piatu), wawi toro (rasi
bintang), awal mulanya berkembang manusia karena mengikuti petunjuk dari
belalang yang memberi petunjuk yang selalu disebut dalam bahasa Lio “poi nosi nombi pera”.
Dari
beberapa legenda yang diwariskan awalnya manusia belum mengenal rasa malu,
belum mempunyai mampu berkembang biak. Semua kehidupan tergantung dari alam.
Suatu senja sepasang anak yatim piatu melihat belalang sedang berlengketan
(sedang birahi dan melangsungkan perkawinan), ketika itu juga sepasang yatim
piatu itu mengerti bagaimana berkembangbiak. Setelah matahari terbenam diufuk
barat, mereka mencoba dan berhasil. Itulah sepenggal cerita tentang “ana kalo”.
Sebelum kita melihat
uraian perkawinan mari kita mengenal
beberapa istilah dan jenis barang yang
sering dipakai saat melaksanakan
sebuah tatanan perkawinan.
JENIS
BARANG ATAU BAHAN YANG AKAN DIGUNAKAN DALAM PERKAWINAN
Ngawu (emas
bentuk lokal orang Lio). Di Lio ngawu merupakan
benda pusaka dan selalu ada ditiap masing – masing rumah adat atau clean. Ngawu
merupakan warisan leluhur. Ngawu digunakan untuk belis perkawinan, bayar denda (poi), simbol suatau ikatan perjanjian
adat dan lain sebagainya. Bentuknya selalu oval, lubang ditengah, ada rumbai - rumbai
dipinggir atas, samping kiri kanan dan ada bentuk dibawahnya. Dilihat dari
berntuknya ada beberapa jenis “ngawu”
; riti (kecil), piso manu (sedang), jamba
(besar). Dari kandungan kadar emasnya, ome
mbulu (10 gram), ome mbulu rua
(20 gram), ome mbulu telu (30 gram), ome mbulu lima (50 gram). Sebutan lain
untuk “ngawu” berupa, jaka tape (emas
dgn tempahannya direbus), pole keku
(elastis jika diputar). Untuk jumlahnya selalu dengan sebutan sa tenga (1/2 = 2 buah yang berkadar
sama), sa liwu (satu liwut = 4 buah
yang berkadar sama).
Wea, bentuknya sama
dengan “ngawu”. Kenapa disebut wea? Orang Lio selalu menyambungkan kata “wea”
dengan kata “bara”. “Wea bara” artinya emas yang sangat kecil kandungan
emasnya. Untuk wea tidak ada sebutan “ome” atau gram. Leluhur sering
menggunakan wea dan atau wea bara sebagai pemberian atas suatu kesalahan
diantara kerabat dan keluarga. Misalnya ketika mabuk tuak lokal (moke) atau dalam bahasa daerah
diistilahkan “denu de’gu jita pia”
dan terjadi pertengkaran, untuk pemulihan nama baik dan simbol perdamaian
diberikan “wea bara”.
Eko
(ekor artinya hewan). Hewan yang sering
digunakan dalam kebudayaan lokal Lio berupa babi, kuda, kerbau. Dengan adanya
perkembangan jaman atau dalam bahasa Lio dikenal dengan sebutan “ngeu gi nge’da pe’pa” selain jenis
hewan diatas bisa diganti dengan kambing dan sapi.
Doi atau uang. Dalam proses perkawinan, uang selalu digunakan
bersamaan dengan materi lain baik dari pihak laki - laki maupun dari pihak
wanita. Dalam tradisi Lio nominal uang yang digunakan selalu disesuaikan dengan
kemajuan zaman. Dahulu leluhur selalu menyebutkan uang dengan istilah, doi
doka. Artinya doi/uang sa doka (sekeping uang 50 sen).
Mbola atau bakul merupakan karya seni lokal Lio berupa hasil kerajinan
ibu – ibu yang terbuat dari anyaman lontar atau jenis lontar lainnya yang
dilapisi bilah bambu aur. Mbola digunakan untuk mengisi macam – macam bahan
makanan yaitu beras, padi, ubi dan lainnya.
Luka
atau selendang. Luka menjadi simbol kebesaran bagi kaum laki – laki
terpilih atau pemangku adat. Ini terlihat dalam sebutan untuk tetuah adat “tege no lesu nggubhu no luka” ikat
dengan destar dan selimut dengan selendang. Ungkapan ini bermakna kepada orang
yang memakainya mempunyai kekuasaan dan tanggungjawab yang besar. Luka juga
untuk digunakan untuk tarian lokal “wanda
pa’u”. Tarian yang selalu dipentas ketika ada pesta adat atau acara – acara
lainnya yang bermakna kegembiraan.
Lawo, Ragi, Lambu, Luka, Lesu. Lawo atau sarung perempuan. Lawo merupakan karya tenunan lokal dengan motif khas
daerah. Sebutan satuan dalam jumlah lembaran – lembaran dikenal dengan sebutan
“pata”. Pata pija artinya berapa lembar. Lawo
selalu didominasi dengan warna coklat. Ada beberapa motif dengan warna yang berbeda
yang ditenun secara melingkar atau garis tegak lurus. Diameter sarung selalu
lebih kecil dari ragi. Ragi
adalah kain tenun pria berbentuk sarung. Didominasi warna hitam, diameternya lebih lebar. Selan warna hitam ada beberapa
warna menghiasi “ragi” yang ditenun
dalam bentuk melingkar atau garis tegak lurus. Lambu adalah baju. Orang Lio mempunyai baju adat daerah yang selalu
digunakan oleh kaum wanita. Untuk laki – laki selalu disebut lambu
sabhe atau baju ketiak. Lambu juga sering disebut baju bodo. Luka atau selendang. Berbentuk lembaran
persegi memanjang dengan rumbai dikedua ujung disisi panjangnya. Luka selalu
dibalut melintang pada pundak atau melingkar pada leher seorang pemangku adat
dalam melaksanakan ritual adat. Dalam pelaksanaan adat setempat wanita tidak
memakai luka sama seperti pria. Untuk wanita diikat melingkar pada pinggang.
Luka juga digunakan untuk menari yang sering dikenal dengan tarian “wanda
pa’u”. Warna luka selalu menyerupai “lawo”, didominasi warna coklat dengan
beberapa hiasan motiv lainnya yang ditenun untuk mempertegas khas dan nama
masing – masingnya. Lesu atau
destar, hanya digunakan oleh kaum pria yang dipasang melingkar di kepala. Pria
yang mengenakan lesu adalah mosalaki atau pemangku adat. Selalin mosalaki pria
lainpun bisa mengenakan lesu dalam upacara pernikahan, pentasan seni budaya dan
lainnya.
Pare, pare isi, vilu / ndene, kibi. Beberapa bahan dan makanan yang selalu ada disetiap
acara perkawinan dan pernikahan. Pare
atau padi. Pare isi atau beras. Vilu
/ ndene atau kue cucur lokal yang terbuat dari adonan tepung beras, gula aren.
Vilu yang ada di Lio berbentuk oval memanjang dan padat. Kibi atau emping, terbuat dari padi yang direndam, disangan dan
ditumbuk hingga bentuknya menjadi ceper.
PARA
PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PERKAWINAN ADAT LIO
Secara
umum kita mengenal “nuwamuri” atau
pemuda dan “weki jemu” atau pemudi.
Nuwamuri dan weki jemu dilihat dari batasan usianya. Nuwamuri lo’o dan jemu
lo’o atau remaja usia 15 – 20 tahun. Usia nuwamuri dan weki jemu antara 20 – 30
tahun. Sejak menjadi nuwamuri dan wekijemu lo’o sudah dilatih untuk bertanggungjawab
dalam beberapa peran sebagai makluk sosial dan sebagai anggota keluarga.
Misalnya mereka diajarkan atau diajak untuk berladang dan melaksanakan
pekerjaan lainnya. Seorang pemuda membantu pekerjaan ayahnya dan sesekali
membantu pekerjaan ibunya. Begitu pula dengan seorang pemudi, membantu
pekerjaan ibunya sesekali membantu pekerjaan ayahnya. Ini terbukti dari
ungkapan petuah – petuah yang selalu didengar “dau no kumu jubu lima bita” (harus dengan karya tangan sendiri), dau no runga ra (harus dengan keringat
sendiri), kema ngere ata ko’o ka ngere
ata ria, kema ngere ata ria ka ngere ata ko’o (kerja seperti budak makan
seperti bos, kerja seperti bos makan seperti budak). Semua petuah – petuah yang
mengajarkan untuk bekerja rajin, kuat dengan usaha sendiri sehingga bisa
dinikmati dengan penuh rasa syukur.
Kedua belah pihak, pihak
laki – laki dan pihak perempuan, rumpun
keluarga pria dan rumpun keluarga wanita.
Pihak laki – laki (papa
ata kaki)
Ine (mama), ema
(bapak), eda (om/paman), eba (tante / bibi), ema du’a (bapak besar), ine du’a
(mama besar), ema lo’o (bapak kecil), ine lo’o (mama kecil), ka’e (kakak), aji
(adik), we’ta (saudari), eja (ipar), kunu (keluarga), wuru (keluarga keturunan
ibu), doa be’la (keluarga keturunan bapak).
Semua keluarga besar yang disebut diatas merupakan anggota
keluarga besar yang diundang untuk menjadi pihak keluarga besar laki – laki.
Masing – masing akan membantu untuk keberhasilan berlangsungnya proses perkawinan.
Secara umum semua yang disebut diatas akan membantu dalam bentuk ; wea, ngawu,
eko, doi.
Pihak perempuan (papa ata fai)
Ine
(mama), ema (bapak), eda (om/paman), eba (tante / bibi), ema du’a (bapak
besar), ine du’a (mama besar), ema lo’o (bapak kecil), ine lo’o (mama kecil),
ka’e (kakak), aji (adik), nara (saudara), ipa (ipar), kunu (keluarga), wuru
(keluarga keturunan ibu), doa be’la (keluarga keturunan bapak).
Semua
keluarga besar yang disebut diatas merupakan anggota keluarga besar yang
diundang untuk menjadi pihak keluarga besar perempuan. Masing – masing akan
membantu untuk keberhasilan berlangsungnya proses perkawinan. Secara umum semua
yang disebut diatas akan membantu dalam bentuk ; pare, pare isi, ragi, lawo,
luka, lesu, lambu.
Juru bicara (Ata mbabho)
Juru
bicara (jubir) yang menjadi pembicara antara para pihak dalam pada perkawinan
di Lio dibutuhkan juru bicara. Para pihak menyediakan masing – masing juru
bicara. Juru bicara tentu memahami tentang perkawinan adat lio. Bagaimana bila
jubir tersebut berada dipihak laki – laki? bagaimana bila berada dipihak
perempuan. Jubir biasa dihargai sa liwu
sa eko (satu liwut mas satu ekor hewan). Dalam situasi tertentu jubir harus
bisa berfungsi sebagai penenang.
Penghubung (ha’i jala)
Untuk
menyampaikan amanat dari pihak laki – laki dan pihak perempuan diangkatlah dari
masing – masing pihak seorang yang bertugas sebagai penghubung atau dalam
bahasa lio disebut sebagai “ha’i jala”.
Pa’te Bheto Tali Nao (jembatan dan pengikat)
Beberapa
jenis perkawinan harus ada “pa’te bheto tali nao”. Sebagai jembatan yang
menghubung yang pengikat kesepakatan antara pihak perempuan dan pihak laki –
laki.
JENIS – JENIS PERKAWINAN ADAT LIO
Beberapa defenisi
para ahli menyebutkan perkawinan adat merupakan ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal
dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar kehidupan persekutuan atau
clannya tidak punah yang didahului dengan rangkaian upacara adat
perkawinan itu sendiri. Orang Lio mendefenisikan perkawinan dengan sebutan “nge
kunu be’ka kapa, nge sa pi dhuka sa pi, nge’da sa lape ra’o sa lape”
yang berarti “tambah keluarga semakin banyak, tambah satu angkatan (sa pi = 30
tahun) bertambah pula angkatannya, berkembang satu generasi (sa lape = 70
tahun) bertambah pula generasinya. Petuah serupa juga terlihat dari istilah, “susu nggua ma’e du’u, nama bapu ma’e dute”.
Ungkapan ini mengandung makna “jangan berhenti melaksanakan seremonial adat,
jangan berhenti melaksanakan ritual adat. Penekanan ini menceriterakan supaya
generasi dalam masing – masing clean adat, untuk terus melanjutkan semua karya,
semua warisan tradisi ke generasi berikutnya. Ungkapan lainnya yang mengandung
makna berkembang biaklah “ngeu gi nge’da
pepa”.
Di Lio, perkawinan
selalu disebut dengan “nika atau nika
nua”. Secara umum perkawinan akan mempengaruhi kehidupan dalam tatanan adat
dan tradisi selanjutnya. Sebut saja untuk menjadi pemimpin cleannya masing –
masing sebagian syaratnya adalah jenis pernikahan yang terdahulu yang
digunakan.
Orang
Lio mengenal 6 (lima)
jenis perkawinan ; 1Dhuku
Tu Lengge Lima, 2Pa’a Tu’a, 3Ruru Gare, 4Se’re
Pa’a, 5Dei Ngai Pawe Ate dan 6Paru
Nai.
1.
Dhuku Tu Lengge Lima
Perkawinan “Dhuku tu lengge
lima”. dhuku (tekuk) tu (antar)
lengge (lingkaran) lima (tangan). Harafiahnya tekuk antar dilingkaran tangan
mengandung arti perkawinan antara dengan keluarga dekat dan sedarah. Perkawinan jenis ini sudah jarang ditemukan.
Orang Lio menyebutkan perkawinan jenis ini bertujuan untuk menjaga kemurnian darah, sebab perkawinan ini
berlaku antara putri dari saudara laki – laki dan putra
dari anak suudari wanita (Ana
eda doa/anak dari paman sekandung dengan ibu).
“Lengo, Ratu, Jumba, tiga laki – laki dan Mi seorang perempuan adalah
saudara se-ayah se-ibu. Mereka tinggal di kampung Mbotu Ndati mereka termasuk
keluarga mampu. Banyak harta, hewan dan lahan garapan yang mereka miliki.
Mereka terlahir dari ayah bernama Kaki yang juga seorang pemangku adat
(mosalaki) di rumah adat “sa’o ata wolo” dengan ibu bernama Mbu. Lengo, Ratu
dan Kaki memanggil Mi “weta” dan Mi memanggil Lengo, Ratu dan Jumba “nara”.
Dengan penuh kasih sayang Kaki dan Mbu membesarkan keempat anak mereka. Tak
terasa ketiga putranya sudah menjadi seorang “nuwamuri” yang gagah berani dan
putri semata wayangnya sudah menjadi “ata jemu” yang cantik jelita. Dengan
persetujuan orang tuanya, Lengo si putra sulung menikah dengan anak dari Wara
mosalaki “sa’o rini” rumah sekampung dengannya, dari keturunan ibunya dengan
jenis perkawinan “pa’a tu’a. Begitu juga dengan kedua adiknya menikah dengan
anak - anak dari rumah adat yang bersebelahan dengan mereka dan jenis
perkawinan “ruru gare atau tana ale”. Sedangkan satu – satunya saudari mereka
Mi menikah dengan Woda dari rumah adat “sa’o panggo”. Beberapa waktu berlalu
masing – masing mereka dikarunia putra dan putri. Dari Lengo lahirlah dua putri
bernama Mbejo dan Remo dan dua putra bernama Woka dan Wake. Begitu juga dengan
Ratu dan Jumba. Mi melahirkan putra tunggal bernama Mbusu dan putri bernama
Bupu. Anak – anak mereka tumbuh menjadi nuwamuri dan ata jemu. Mbusu putra dari
Woda dan Mi memilih menikah dengan Mbejo anak dari Lengo (saudara kandung
mamanya)”.
Ini
hanya sebuah cerita belaka. Nama – nama orang, nama rumah adat, yang ada dalam
cerita diatas bukan yang sebenarnya.
Inilah
yang dinamakan dengan jenis perkawinan “dhuku
tu lengge lima”. Perkawinan antara anak saudara dan anak saudari. Dari
pihak saudara atau nara adalah anak perempuan dan dari pihak saudari atau weta
adalah anak laki – laki. Jenis perkawinan ini dilangsungkan bisa atas dasar
anak – anak saling mencintai dan atau juga dijodohkan oleh orang tuanya.
2.
Pa’a tu’a atau ndiwi
sepu lawo
Sebelum kita mengurai jenis perkawinan ini,
mari kita memahami dulu arti dari “pa’a tu’a”. Kata pa’a artinya
menabung/menyimpan. Tu’a arti lurusnya kuat, dalam tatanan perkawinan tu’a
adalah mama/ibu
dari perempuan yang akan dinikahkan, atau mertua perempuan.
Ndiwi sepu lawo, ndiwi artinya pilin
atau pegang, sepu artinya ujung dan lawo itu sarung. Ndiwi sepu lawo memegang
ujung sarung. Sarung siapa yang dipegang? Bisa sarung dari saudari kandung ayah
kandung atau saudari jauh ayah dari keluarga serumpun.
“Adalah Lopi
seorang pemuda dari “sa’o ata wolo” anak dari Laka dan Ba’ke menikah dengan
Tiwe dari “sa’o benga”anak dari Peto dan Nela. Mereka menikah dengan jenis
perkawinan “ruru gare”. Waktu pembicaraan belis semua bisa diberikan oleh pihak
Lopi. Karena bisa diselesaikan semua yang diwajibkan dalam tuntutan adat pihak
Peto dan Nela mengantarkan anaknya Tiwe ke rumah Lopi yang dikenal di Lio
dengan sebutan “be’i bu’u dha ndawa” yang berarti mengantar anak perempuan
kepihak laki – laki (Lopi) karena semua belis sudah diselesaikan. Beberapa
waktu kemudian ada perkawinan yang terjadi di rumah ada sa’o benga atau di
rumpun keluarga Peto dan Nela. Karena kekurangan tuntutan saat pembelisan
pernikahan keluarga Peto dan Nela mereka meminta bantuan ke keluarga Lopi atau
dalam bahasa Lio dikenal dengan “mbana ju” (pergi minta). Lopi menyanggupi
permintaan dari pihak keluarga Peto dan Nela dan memberikan sejumlah emas dan
hewan. Saat Lopi memberikan sudah disampaikan ke pihak Peto dan Nela bahwa
bantuan yang diberikan digantikan dengan seorang gadis yang kelaknya bisa
dinikahkan dengan anaknya Lopi atau dengan anak dari keluarga serumpun dengan
Lopi. Peto dan Nela menyanggupi syarat yang diberikan oleh Lopi. Saat itulah
terjadi “pa’a tua atau ndiwi sepu lawo” Tiwe istri dari Lopi. Saat terjadi
kesepakatan untuk “pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo Tiwe, sudah ditentukan siapa
yang akan dinikahkan dengan dengan keluarga Lopi kelak. Sebut saja Mopa, putri
yang ditentukan oleh pihak Peto dan Nela untuk menikah dengan laki – laki dari
pihak Lopi.
Perkawinan Pa’a tu’a atau ndiwi sepu
lawo sering menjadi konflik. Beberapa pertanyaan yang muncul yang bisa
menimbulkan konflik. Bagaimana kalau Mopa menikah dengan lelaki lain yang bukan
dari keluarga atau rumah adat Lopi? Bagaimana kalau keluarga Lopi tidak mau
menikah dengan Mopa dengan alasan tertentu? Kalau Mopa menikah dengan laki –
laki lain yang bukan dari rumah adat Lopi maka pihak keluarga Peto dan Nela
harus menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Lopi dengan menunjuk gadis
lain sebagai gantinya. Atau suatu saat ketika keluarga dari Lopi menikah dengan
gadis dari keluarga Peto langsung dibuatkan kesepakatan bahwa gadis itu adalah
Mopa.
3.
Ruru gare atau Tana Ale
Perkawinan
“ruru gare atau tana ale” (artinya
pergi tanya) dengan menggunakan jasa “ha’i
jala” (pengentara
kedua pihak), merupakan jenis perkawinan yang sering
dilaksanakan diantara kedua mempelai dengan status sosial ekonomi yang mapan.
Perkawinan jenis ini bermula dari kemauan sang pria kepada pasangan yang disukainya.
Bisa karena pria mencintai pasangannya atau bisa karena
dijodohkan oleh kedua orang tua dari masing – masing pasangan. Setelah terjadi
kesepakatan dari kedua rumpun keluarga melalui “ha’i jala” atau perantara maka
dilanjutkan dengan proses “pa’te bheto tali nao” atau mengikat kuat hasil
kesepakatan dari kedua rumpun keluarga. Jenis
perkawinan ini juga berakhir dengan “kolo wu eko beta” (belis tertebus
habis/tuntas). Setelah keluarga pria
sepakat untuk memilih keluarga wanita yang diinginkan, juru bicara dimandatkan
untuk menanyakan keluarga wanita atas keinginan keluarga pria.
“di kampung Lise Laka terdapat beberapa rumah adat (sa’o
nggua). Sebut saja “sa’o benga, sa’o sadhe, sa’o ata wolo, sa’o rini, sa’o
bhisu koja, sa’o nua guta” dan rumah adat lainnya. Di Sa’o Rini sebagai
mosalakinya Jira. Sa’o Nua Guta sebagai mosalakinya Loba. Dari pernikahan Jira
dengan Nggua lahirlah 2 putra Rega dan Rua serta seorang putri Mbagho. Begitu
juga dengan Loba, dari perkawinannya dengan Danga dikaruniai seorang putra
bernama Nggiri dan putri bernama Nalu. Beberapa waktu berlalu, anak – anak dari
Jira dan Loba sudah menjadi pemuda dan pemudi. Adalah Rega putra dari Jira
ingin menjadikan Nalu putri dari Loba sebagai istrinya. Maksud baik dari Rega
disampaikan kepada ayahnya Jira. Sebagai ayah Jira menyetujui pilihan putranya.
Jira menginginkan Nalu pilihan anaknya Rega harus menjadi bagian dari rumpun
keluarga besar rumah adatnya. Sehingga kelak anak – anak yang terlahir dari
pasangan Rega dan Nalu menjadi anggota keluarga besar Jira. Keinginan besar
Jira dibuktikan saat proses “ruru gare atau tana ale” dengan memilih Mbele
sebagai “ha’i jala” atau perantara. Setelah terjadi kesepakatan antara keluarga
Jira dan Loba dengan bantuan Mbele sebagai “hai jala” maka selanjutnya
dilaksanakan perjanjian yang mengikat kedua rumpun keluarga dengan ritual “pa’te
bhato tali nao” atau pengikat yang sebelumnya menjadi ha’i jala.
Pa’te
bhato tali nao atau pengentara juga berfungsi sebagai juru bicara disaat
membicarakan tuntutan dari pihak perempuan. Tetapi orang kepercayaan ini
ditahap awalnya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kedua pihak.
Setelah pihak perempuan menyetujui untuk melanjutkan proses adat selanjutnya,
pihak laki – laki memberikan emas dan hewan untuk mengikat atau tanda jadi
kedua pihak atas perkawinan anak mereka. Jadi pa’te bheto tali nao diartikan
dengan bambu jenis bheto sebagai jembatan setelah disetujui, diikat dengan tali
ijuk (tali nao).
4.
Sa’re Pa’a.
Perkawinan jenis ini terjadi antara
putra dan putri dari satu keturunan dalam rumah adat yang sama. Turunan diatas
lapis ke – 4 atau sebelumnya merupakan saudara sekandung dan rumah adat yang
sama.
“Seko seorang
mosalaki di sa’o sadhe. Dari perkawinannya dengan Lanu lahirlah 2 putra Ghale
dan Babo serta seorang putri bernama Mara. Ghale dan Babo menikah dengan gadis
pilihannya masing- masing dari kampung yang sama tetapi rumah adat yang
berbeda. Mara menikah dengan Wara, pria dari kampung dan rumah adat berbeda.
Karena Wara tidak menyanggupi belis maka anak – anak yang terlahir dari Mara
dan Wara tetap menjadi anggota rumpun keluarga besar sa’o sadhe, menjadi
tanggungjawab Seko. Selanjutnya keturunan dari Ghale memperanakkan Gharu, Gharu
memperanakan Ndale, Ndale memperanakan Mite, Mite memperanakkan Ndopo, dari
Ndopo lahirlah 2 putri Geno dan Jani serta seorang putra bernama Lando.
Dari keturunan Mara
memperanakkan Dani, Dani memperanakkan Nggumbe, Nggumbe memperanakkan Leta,
Leta memperanakkan Lambe. Dari Lambe lahirlah 2 putra bernama Mbulu dan Rede
serta seorang putri bernama Mbadhi. Mbulu akhirnya menikah dengan Geno.
Perkawinan antara Mbulu dan Geno terjadi digenerasi sekandung yang kelima. Ini
disebut perkawinan Sa’re Pa’a.
Perkawinan jenis inilah yang sebuah
bahasa adat menyebutkan “tei pati duna
mea”. Secara harafiah tei (dapat) pati (berikan) duna (kurang) mea (malu).
Mengadung arti kalau ada diberikan, kalau tidak ada tidak dituntut.
5.
Dei Ngai Pawe Ate
Jenis
perkawinan ini juga dikenal dengan istilah “dei
leka kaju pawe leka ae atau
tei taga te’a lo ere atau
tei pare wole bewa jawa dupa ria”. Secara
harafiah dei ngai pawe ate “dei (suka) ngai (napas) pawe (baik) ate (hati) atau
mengandung arti gadis yang dipilih karena cinta dan pria menyukainya. Juga
diumpamakan “dei leka kaju pawe leka ae, “dei (suka) leka (pada) kaju (kayu)
pawe (baik) leka (pada) ae (air). Si pria megibaratkan kekasihnya seperti kayu
dan air. Si pria menyukai kayu dan air tersebut. Perumpaan lainnya “tei taga
te’a lo ere” tei (lihat) taga (betis) te’a (menguning atau matang) lo (badan)
ere (halus) mengandung arti si pria memilih kekasih karena melihat betis
seperti bulir padi yang menduning, badannya halus nan cantik. Perumpaan lainnya
“tei pare wole bewa jawa dupa ria” tei (lihat) pare (padi) wole (tangkai) bewa
(panjang) jawa (jagung) dupa (batang) ria (besar). Si pria mengibaratkan
kekasikan yang dinaksir ibarat setangkai padi panjang dan sebatang jagung
besar. Semua perumpaan diatas menerangkan bahwa pria memilih kekasihnya karena
rasa kagum dan perasaan cinta yang mendalam. Dari rasa kagum dan cintanya dia
mengutarakan perasaannya kepada wanita pilihannya. Si wanita tersebut menerima
cinta si pria tersebut. Mereka sepakat untuk membina rumah tangga atas dasar
suka sama suka. Karena suka sama suka atau
dasar perkawinannya “cinta” maka tahap perkawinanya tidak dilalui dari tahap awal. Tidak melalui proses masuk minta.
Perkawinan jenis ini terjadi bisa karena mempelai wanita sudah hamil, mempelai
laki-laki langsung tinggal dirumah perempuan dan langsung jadian.
Sekarang
lebih dikenal dengan istilah “kawin masuk” dimana mempelai laki-laki akan
meninggalkan keluarganya dan tinggal bersama dengan keluarga mempelai wanita.
Dalam kehidupan sehari – hari sang ayah dari mempelai wanita akan mengatakan “pati topo lelo eo bosu talo, pati su’a
dhawe eo lemba talo” (diserahkan tofa dan parang untuk bekerja kebun yang
tidak ada habisnya). Artinya mempelai pria dengan status kawin masuk akan di
bahasakan : “ko’o lo’o r’wo boko” (jadi hamba dari
keluarga wanita).
Bila statusnya sampai mempelai laki meninggal, maka istilah untuk orang
tersebut menjadi “ka kana ru’e nggewu”.
Perkawinan
jenis ini bukan berarti yang pria tidak bisa lagi menebuskan belis. Bisa
ditebus dengan beberapa syarat, diantaranya :
- Saat
saudara laki dari sang istri/ipar/eja menikah, dimana ada bahasa “weta wa’u nara nai” (saudara perempuan
keluar rumah saudara laki-laki masuk rumah), artinya dalam hal membelis semua
tuntutan dari keluarga istrinya ipa/eja menjadi tanggungjawabnya.
- Bila
mempelai sudah banyak memberi hewan atau lainnya, “dia” bisa mengeluh dan
berkata, “wara ku baja r’wa, kolo ku ro
r’wa”. Disini sang pria dan keluarganya sudah siap untuk membicarakan
belis, ulang dari awal. Yang sudah diberikan bisa diperhitungkan dan bisa juga
tidak diperhitungkan.
- Bila
ada kematian salah satu pasangan, istri/suami. Dari pihak keluarga laki – laki
menanyakan bagaimana dengan anak – anak pasangan suami istri yang sudah
meninggal. Ini akan dilaksanakan pembagian anak. Anak I dan anak II menjadi
bagian dari keluarga istri. Sedangkan anak ke III dan selanjutnya menjadi bagian
dari keluarga perempuan. Bila anak hanya satu atau dua maka, tergantung dari
pihak keluarga istri mau bersama – sama mengakui anak atau hanya dari pihak
istri yang berhak.
6.
Paru Nai
Paru
nai tediri dari dua suku kata paru = lari dan nai = naik. Tapi dalam perkawinan
paru nai diartikan gadis lari
dan masuk kerumah laki-laki. Perkawinan jenis ini dalam pelaksanaan belisnya
tidak menjadi tuntutan. Jenis perkawinan ini
juga menimbulkan konflik. Keluarga wanita akan merasa malu dan terhina karena
perlakukan anak gadisnya.
Beberapa
sebab terjadinya perkawinan “paru nai”
- Didasari
suka sama suka
- Ada
riwayat “pa’a tu’a”
- Tidak
ada persetujuan dari salah satu pihak baik pihak laki maupun pihak perempuan.
- Sang
laki-laki mau dijodohkan oleh orang tuanya atau sebaliknya, dan sebab lainnya.
Berdasarkan sebab – sebab diatas wanita meninggalkan
keluarganya kerumah laki-laki dan menikah dengan pilihannya.