berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Mosalaki

Oleh : Ludger S

Sering menjadi topik diskusi yang menarik dikalangan generasi penerus tentang “Mosalaki”. Tak jarang masing-masing mengurai “mosalaki” dalam dua suku kata “mosa dan laki” dengan arti jantan besar, ada yang mengartikan laki-laki tangguh dan banyak arti-arti lainnya. Kalau saya tidak membenarkan atau menyalahkan pendapat-pendapat tersebut hehehehhee.  Tapi apa sering juga anda mendengar “atalaki”?

Bapak Paulus Lengga
Mosalaki menjadi simbol keberadaan adat budaya di Lio umumnya. Mosalaki bertanggungjawab terhadap hak ulayat, menjalankan seremonial dengan ritual adat yang diwariskan oleh leluhur. Mosalaki juga sangat berperan penting dalam kehidupan sehari – hari dibeberapa kampung yang masih terjaga adat dan budayanya. Bahkan banyak kasus sosial yang dapat diselesaikan oleh Mosalaki.
Dalam pembangunan di wilayahnya mosalaki sangat berperan penting untuk pembebasan lahan, pelaksanaan pembangunan serta menjadi pengawas pembangunan.

MOSALAKI

Berasal dari kata “Mosa” yang berarti laki – laki / jantan dan “laki” yang berarti laki “tuan” yang lebih memaknai pemangku bukan boss. Jadi mosalaki dapat didefenisikan pemangku adat laki – laki. Dibeberapa ulayat adat mosalaki dikelompokkan sesuai tugas dan fungsinya masing – masing dibawah koordinasi “mosalaki pu’u.
Catatan penting : awal terbentuknya kampung adat semua mosalaki yang adat adalah seayah dan seibu, seayah lain ibu. Semua adalah saudara. Yang membedakan adalah wasiat warisan seremonial sesuai dengan urutan tertua ke yang termuda. Dari kakak, adik selanjutnya anak terakhir. Masing – masing menjalankan peran sesuai warisan yang telah diamanatkan. Konflik yang sering terjadi pada umumnya karena kekuasaan.

Pengangkatan dan penobatan mosalaki

Pengangkatan Mosalaki

Sebuah rumah adat sebut saja “sa’o sadhe” mempunyai mosalaki bernama Nggumbe. Diusianya yang sudah uzur Nggumbe sudah tidak bisa melakukan aktifitas seperti usia produktif. Nggumbe hanya ditempat tidur, aktivitasnya hanya untuk pemenuhan sebagian kebutuhan biologis dasar ; makan, minum, wc. Sadar akan keterbatasannya Nggumbe melimpahkan tugasnya kepada adik, anak atau keponakan anak saudara/inya. Akhirnya Nggumbe dipanggil Tuhan. Meninggal. Dalam tatanan adat, meninggal mosalaki disebut, “wunu kaju mesu” atau daun kayu jatuh, “rada lele ba’e” atau dahan beringin jatuh. Sedangkan istilah meninggal umumnya, “mutu gu ia pai”.
Semua keluarga besar Nggumbe berduka. Sebelum upacara penguburan, semua anggota keluarga bermusyawarah untuk menentukkan siapa yang menemani mosalaki lainnya yang datang saat penguburan. Tidak wajib anak kandung Nggumbe yang menjadi mosalaki pengganti. Tidak wajib yang sebelumnya ditunjuk Nggumbe untuk melaksanakan seremonial adat. Musyawarah keluarga menjadi hal terpenting untuk menentukan siapa pengganti. Apabila saat penguburan belum dilakukan kesepekatan maka sementara diwakilkan kepada salah seorang adik atau saudara laki Nggumbe.
Selanjutnya yang terpilih atau pengganti sementara akan duduk bersama dengan mosalaki lainnya baik dalam satu rumah beda “tungku” atau mosalaki dalam sekampung. Sebut saja “Mbele”. Saat acara “ka wi’a” atau makan perpisahan dengan Nggumbe, Mbele melaksanakan seremonial “me’ra duri” atau duduk berdampingan dengan mosalaki lain.
Apakah Mbele sudah sah menjadi mosalaki sa’o sadhe? Belum!!!. Mbele belum dikatakan sebagai mosalaki sa’o sadhe yang syah. Mbele masih menjadi pelaksana tugas sementara. Semua anggota keluarga dikumpulkan untuk menentukan siapa yang akan menerima dan meneruskan Nggumbe.
Sebagai penentu makan dilakukan Seremonial “So Bhoka Au Bui Feo”. Ritual “so bhoka au bui feo” dilaksanakan setelah beberapa nama dimufakatkan. Bisa lebih dari 2 orang. Apabila hasil “so bhoka au bui feo” tidak tepat di Mbele maka digantikan kepada orang lain yang so bhoka au bui feo monge. Sebut saja Nggumbe digantikan oleh “Seda”.
           
Penobatan Mosalaki
           
Selanjutnya Seda menjadi pengganti Nggumbe. Apakah Seda sudah syah? Belum!!! Seda dinyatakan syah apabila sudah dilakukan ritual, “ra / pe’ra nia” atau membasuh dahi dengan darah. Ritual ini dilakukan menjelang “gawi sia” atau malam tarian gawi sebelum dilaksanakan “poto keu uwi”. Setelah penobatan Seda syah menjadi pengganti Nggumbe.

Mengenal Mosalaki dari tugas dan fungsinya.

Pada prinsipnya mosalaki mempunyai tugas, “tau susu nggua nama bapu”. Susu nggua ma’e du’u nama bapu ma’e dute. Artinya ?????? heheehehehehe silahkan bertanya.

Mosalaki pu’u
Mosalaki ria bewa
Mosalaki pati pu
Mosalaki pu maru
Mosalaki pidhi wiwi lapi lema
Mosalaki keso besi rero mbelo
Mosalaki duri dui padi kedo
Mosalaki koe kolu
Mosalaki wesa koro mberi
Mosalaki kago kao
Mosalaki tuke sani
Mosalaki dai kopo
Dan lainnya

Mosalaki Pu’u.

Sebagian besar mengenal mosalaki pu’u (utama). Disetiap ulayat adat  Mosalaki Pu'u mempunyai arti, peranan, tugas serta fungsi tersendiri. Tergantung pada kepemilikan tanah ulayat. Peran mosalaki ditanah ulayat persekutuan lebih kearah koordinasi. Hak – hak atas tanah ulayat menjadi hak persekutuan dengan musyawarah mosalaki sebagai keputusan tertinggi. Sedangkan mosalaki pu’u dengan tanah ulayat adalah hak tunggal, mosalaki pu’u menjadi pemegang kekuasaan tertinggi atas hak ulayatnya. Segala keputusan, kebijakan tergantung pada mosalaki pu’u nya.
Mosalaki pu’u diulayat adat yang terbentuk karena persekutuan berbeda dengan mosalaki pu’u diulayat adat kepemilikan tanah ulayat. 




Share: Youtube

Porejaji

Oleh : Ludger S

Porejaji


Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang "Porejaji"

Nggala, Sobe
Persahabatan atau pertemanan adalah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Ini memusatkan perhatian pada pemahaman yang khas dalam hubungan antar pribadi. Dalam pengertian ini, istilah "persahabatan" menggambarkan suatu hubungan yang melibatkan pengetahuan, penghargaan dan afeksi. Sahabat akan menyambut kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain, seringkali hingga pada altruisme. Selera mereka biasanya serupa dan mungkin saling bertemu, dan mereka menikmati kegiatan-kegiatan yang mereka sukai. Mereka juga akan terlibat dalam perilaku yang saling menolong, seperti tukar-menukar nasihat dan saling menolong dalam kesulitan. Sahabat adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan dan reflektif. Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih daripada kepercayaan bahwa seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau menyakiti mereka. 
Nilai yang terdapat dalam persahabatan seringkali apa yang dihasilkan ketika seorang sahabat memperlihatkan secara konsisten:
  • kecenderungan untuk menginginkan apa yang terbaik bagi satu sama lain.
  • simpati dan empati.
  • kejujuran, barangkali dalam keadaanyang sulit bagi orang lain untuk mengucapkan kebenaran.
  • saling pengertian.

Seringkali ada anggapan bahwa sahabat sejati sanggup mengungkapkan perasaan-perasaan yang terdalam, yang mungkin tidak dapat diungkapkan, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit, ketika mereka datang untuk menolong. Dibandingkan dengan hubungan pribadi, persahabatan dianggap lebih dekat daripada sekadar kenalan, meskipun dalam persahabatan atau hubungan antar kenalan terdapat tingkat keintiman yang berbeda-beda. Bagi banyak orang, persahabatan dan hubungan antar kenalan terdapat dalam kontinum yang sama.

Di Lio umumnya orang mengenal konteks persahatan dengan sebutan, "uli imu" (sebutan teman atau sahabat tanpa membedakan jenis kelamin), "delu"(ini lebih difokuskan untuk sesama pria atau wanita) dan lainnya. Lebih dalam antara kampung adat yang satu dengan yang lainnya lebih dikenal dengan sebutan "Porejaji" dan "Turajaji". Dua sebutan ini mempunyai karateristik tersendiri. Kapan suatu ikatan atau jalinan persahabatan disebut "porejaji" dan kapan suatu ikatan disebut "turajaji".

Porejaji

Kata Porejaji berasal dari kata pore yang artinya pesan (ungkapan) dan jaji yang artinya janji. Porejaji berarti pesan atau ungkapan perjanjian yang dikuatkan dengan larangan – larangan serta akibat yang terjadi apabila melanggar perjanjian tersebut. 
Banyak Porejaji yang diwariskan leluhur terdahulu. Pore no ka jaji no minu (perjanjian dengan manakan dan minuman) serta jenis porejaji lainnya.
Untuk lebih detilnya saya uraikan dalam adekdot dibawah ini :
"Laka mempunyai 3 orang putra, Mbele, Sega, Lopi. Ke-3 orang tersebut diwariskan dengan warisan dan hak secara berurutan dari sulung ke bungsu. Yang sulung, Mbele diwariskan beberapa bukit lahan dan hak kesulungan sebagai pengganti ayah "mosalaki pu'u". Sega diwariskan juga beberapa bukit lahan dan sebagai "mosalaki" riabewa". Berikut Lopi juga diwarikan beberapa luas bukit dan sebagai "mosalaki koe kolu". Disuatu saat, Lopi berkenalan dengan "Lando" dari wilayah adat lainnya, karena batas tanah Lopi dan Lando bersebelahan. Jadilah mereka sebagai sahabat yang sangat dekat. Mereka saling memberi, saling mengingatkan, saling meneguhkan dan banyak hal positif dari persahabatan mereka. Ini berlanjut sampai generasi ke-5 keturunan merka. Karena sudah bertambah banyak masing-masing keturunan mereka, maka luas lahan yang diwariskan untuk mereka semakin berkurang. Suatu ketika dari keturunan Lopi kehilangan hasil kebun ladang berupa tebu, jagung, dan lainnya. Secara langsung keturunan Lopi menuduh keturunan Lando yang mengambil/mencurinya. Keturunan Lando tidak menerima dengan tuduhan itu. Terjadilah pertikaian atau perang antar kampung. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Setelah bersitegang beberapa waktu dan banyak korban yang telah berjatuhan akhirnya kedua belah pihak bersepakat untuk melaksanakan suatu perundingan damai. Berhari-hari lamanya perundingan damai dilaksanakan. Akhirnya mereka bersepakat ; 

"jikalau diantara keturunan Lando akan bepergian jauh dan melewati batas tanah keturunan Lopi, semua hasil kebun keturunan Lopi yang bisa dimakan dan atau diminum, oleh keturunan Lando bisa mengambil untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, tapi tidak untuk dibawah kerumah. Dan juga berlaku sebaliknya. Bila ada yang melarang atau menuduh mencuri dan bahkan mengusirnya, maka jenis tanaman untuk menghilangkan rasa lapar dan haus seperti yang dituduhkan mencuri akan mati semuanya". Kesepakatan ini diceritakan turun temurun. Setiap generasi wajib menceritakan tentang kesepakatan ini ke generasi berikutnya, untuk ditaati dan dilaksanakan. 

Kesepakatan atau perjanjian seperti diatas yang dinamakan "porejaji". Dimana suatu perjanjian antar suku atau keturunan dibuat untuk pemenuhan kebutuhan akan "makan dan minum". Banyak "porejaji" antar kampung adat yang dibuat di Lio. Sebut saja "porejaji au sa toko tewu sa lisa, porejaji nio keu uwi", dan lainnya. 


“Tahun berganti keturunan Lopi menjadi sangat banyak jumlahnya. Beberapa kampung diantara kampung – kampung yang ada terdapat keturunan Lopi. Mereka berkumpul bersama saat melaksanakan seremonial adat yang telah diwariskan di kampung “Lopi”. Ini juga terjadi pada keturunan Lando. Jumlah keturunan Lando semakin bertambah banyak. 
Suatu ketika “Bata” keturunan Lopi menikah dengan “Mbere” dari keturunan Lando. Setelah selesai urusan “belis” Mbere menjadi bagian dari keluarga besar “Bata-Lopi”. Dari pernikahan mereka lahirlah 3 orang putra dan 3 orang putri. Mereka hidup sangat rukun dan bahagia. Mereka juga diberkati dengan hasil panen berlimpah. Bata mempunyai beberapa saudara. Disuatu waktu anak saudara bungsu Bata mengalami sakit keras. Beberapa tabib dan dukun ternama sudah didatangi, tapi belum menunjukkan hasil. Semakin hari keadaan anaknya semakin parah. Akhirnya anaknya meninggal dunia. Setelah selesai acara penguburan datanglah seorang dukun ternama lainnya dan mengatakan kalau anak dari saudara bungsu Bata meninggal karena diguna-guna oleh istrinya Bata (Mbere). Kampung Lopi menjadi sangat heboh dengan berita tersebut. Setelah mengetahui penyebab kematian anaknya, saudara bungsu Lopi tidak menerima kematian anaknya tersebut. Dengan ancaman keras kalau Mbere istri dari kakaknya harus diusir atau dikembalikan ke kampung atau orang tuanya. Pertemuan dikampung Lopi pun terjadi, tapi hasilnya tetap tidak mengubah keputusan. Semua warga kampung bersepakat untuk mengusir Mbere dengan anaknya. Sedangkan Bata tetap menjadi saudara tertua mereka. 
Dengan berat hati akhirnya Bata melepaskan istrinya dan istrinya membawa semua anak-anaknya kekampung dan orang tuanya. Sebelum meninggalkan kampung Bata, Mbere bersumpah ;

Kalau benar-benar kematian anak dari adik bungsuku (Bata) meninggal karena aku, maka aku dan keturunanku akan menderita sakit penyakit turun temurun sampai dengan generasi ke-7. Tetapi bila setelah aku keluar dari kampung ini dan terjadi suatu tanda hebat, maka ingatlah bahwa aku bukan aku penyebab kematian anak saudara bungsuku. Bila itu terjadi maka keturunanmu selamanya tidak boleh menikah dengan keturunanku, sebab kalau keluargamu menikah dengan keluargaku (Mbere) maka keturunanmu akan meninggal setelah menikah.

Setelah berkata seperti itu, Mbere dan anak-anaknya meninggalkan kampung tersebut. Bata mengantarkan istri dan anaknya sampai diperbatasan ulayat adatnya. Setelah memasuki ulayat adat orang tua Mbere, Bata melepaskan istri dan anak-anaknya pergi meninggalkannya. Belum berselang beberapa saat terjadilah hujan badai dikampung Bata. Saudara bungsu Bata dan keluarga lainnya meratapi kejadian tersebut. Mereka menyesali kejadian yang dibuat mereka untuk generasi mereka.

Dari cerita diatas kita, mengklasifikasikan “Porejaji” yang dibuat karena suatu sumpah atas tuduhan tak berbukti. Di beberapa wilayah Lio “porejaji” jenis ini sangat banyak terjadi. Sampai sekarang dibeberapa kampung suku Lio masih melarang generasi (anaknya) untuk menikah dengan beberapa anak/generasi dari kampung tertentu.

Selanjutnya kita akan bahas tentang Turajaji 

Share: Youtube

Perkawinan Adat Lio di Wologai

oleh : Ludger S

Perkawinan Adat Lio di Wologai 

Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya“ dalam pergaulan hidup dan kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena perkawinan. Selain memiliki faedah yang besar, perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sesuai dengan rumusan itu, perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbutan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya. Sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

Perkawinan merupakan ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang - kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat - istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Dari beberapa uraian diatas kita melihat bagaimana sebuah perkawinan itu terjadi di daerah Ende Flores NTT, khusunya di daerah Lio. Seperti di daerah lainnya, orang Lio juga mempunyai tatanan, upacara dan ritual perkawinan. Bedanya nikah secara hukum adat tidak secara tertulis. Perkawinan dan pernikahan menurut adat Lio juga mendefenisikan menyatukan dua pasangan beda jenis kelamin dalam ikatan lahir dan batin secara adat. Ini terbukti dengan simbol ungkapan adat “tubu tau mula jumu, lodo nda wa sea ae mesa, ngara da gheta liru mera”. Ini merupakan ungkapan perumpaan dengan arti “tiang batu untuk menanam, batu ceper/plat yang rata dipenuhi air, menghadap ke langit yang memerah”.
Dari beberapa legenda lokal, “ana kalo” (anak yatim piatu), wawi toro (rasi bintang), awal mulanya berkembang manusia karena mengikuti petunjuk dari belalang yang memberi petunjuk yang selalu disebut dalam bahasa Lio “poi nosi nombi pera”.
Dari beberapa legenda yang diwariskan awalnya manusia belum mengenal rasa malu, belum mempunyai mampu berkembang biak. Semua kehidupan tergantung dari alam. Suatu senja sepasang anak yatim piatu melihat belalang sedang berlengketan (sedang birahi dan melangsungkan perkawinan), ketika itu juga sepasang yatim piatu itu mengerti bagaimana berkembangbiak. Setelah matahari terbenam diufuk barat, mereka mencoba dan berhasil. Itulah sepenggal cerita tentang “ana kalo”.
Sebelum kita melihat uraian perkawinan mari kita mengenal beberapa istilah dan jenis barang yang sering dipakai saat melaksanakan sebuah tatanan perkawinan.

JENIS BARANG ATAU BAHAN YANG AKAN DIGUNAKAN DALAM PERKAWINAN

Ngawu (emas bentuk lokal orang Lio). Di Lio ngawu merupakan benda pusaka dan selalu ada ditiap masing – masing rumah adat atau clean. Ngawu merupakan warisan leluhur. Ngawu digunakan untuk belis perkawinan, bayar denda (poi), simbol suatau ikatan perjanjian adat dan lain sebagainya. Bentuknya selalu oval, lubang ditengah, ada rumbai - rumbai dipinggir atas, samping kiri kanan dan ada bentuk dibawahnya. Dilihat dari berntuknya ada beberapa jenis “ngawu” ; riti (kecil), piso manu (sedang), jamba (besar). Dari kandungan kadar emasnya, ome mbulu (10 gram), ome mbulu rua (20 gram), ome mbulu telu (30 gram), ome mbulu lima (50 gram). Sebutan lain untuk “ngawu” berupa, jaka tape (emas dgn tempahannya direbus), pole keku (elastis jika diputar). Untuk jumlahnya selalu dengan sebutan sa tenga (1/2 = 2 buah yang berkadar sama), sa liwu (satu liwut = 4 buah yang berkadar sama).

Wea, bentuknya sama dengan “ngawu”. Kenapa disebut wea? Orang Lio selalu menyambungkan kata “wea” dengan kata “bara”. “Wea bara” artinya emas yang sangat kecil kandungan emasnya. Untuk wea tidak ada sebutan “ome” atau gram. Leluhur sering menggunakan wea dan atau wea bara sebagai pemberian atas suatu kesalahan diantara kerabat dan keluarga. Misalnya ketika mabuk tuak lokal (moke) atau dalam bahasa daerah diistilahkan “denu de’gu jita pia” dan terjadi pertengkaran, untuk pemulihan nama baik dan simbol perdamaian diberikan “wea bara”.

Eko (ekor artinya hewan). Hewan yang sering digunakan dalam kebudayaan lokal Lio berupa babi, kuda, kerbau. Dengan adanya perkembangan jaman atau dalam bahasa Lio dikenal dengan sebutan “ngeu gi nge’da pe’pa” selain jenis hewan diatas bisa diganti dengan kambing dan sapi.

Doi atau uang. Dalam proses perkawinan, uang selalu digunakan bersamaan dengan materi lain baik dari pihak laki - laki maupun dari pihak wanita. Dalam tradisi Lio nominal uang yang digunakan selalu disesuaikan dengan kemajuan zaman. Dahulu leluhur selalu menyebutkan uang dengan istilah, doi doka. Artinya doi/uang sa doka (sekeping uang 50 sen).

Mbola atau bakul merupakan karya seni lokal Lio berupa hasil kerajinan ibu – ibu yang terbuat dari anyaman lontar atau jenis lontar lainnya yang dilapisi bilah bambu aur. Mbola digunakan untuk mengisi macam – macam bahan makanan yaitu beras, padi, ubi dan lainnya.

Luka atau selendang. Luka menjadi simbol kebesaran bagi kaum laki – laki terpilih atau pemangku adat. Ini terlihat dalam sebutan untuk tetuah adat “tege no lesu nggubhu no luka” ikat dengan destar dan selimut dengan selendang. Ungkapan ini bermakna kepada orang yang memakainya mempunyai kekuasaan dan tanggungjawab yang besar. Luka juga untuk digunakan untuk tarian lokal “wanda pa’u”. Tarian yang selalu dipentas ketika ada pesta adat atau acara – acara lainnya yang bermakna kegembiraan.

Lawo, Ragi, Lambu, Luka, Lesu. Lawo atau sarung perempuan. Lawo merupakan karya tenunan lokal dengan motif khas daerah. Sebutan satuan dalam jumlah lembaran – lembaran dikenal dengan sebutan “pata”. Pata pija artinya berapa lembar. Lawo selalu didominasi dengan warna coklat. Ada beberapa motif dengan warna yang berbeda yang ditenun secara melingkar atau garis tegak lurus. Diameter sarung selalu lebih kecil dari ragi. Ragi adalah kain tenun pria berbentuk sarung. Didominasi warna hitam, diameternya lebih lebar. Selan warna hitam ada beberapa warna menghiasi “ragi” yang ditenun dalam bentuk melingkar atau garis tegak lurus. Lambu adalah baju. Orang Lio mempunyai baju adat daerah yang selalu digunakan oleh kaum wanita. Untuk laki – laki selalu disebut lambu sabhe atau baju ketiak. Lambu juga sering disebut baju bodo. Luka atau selendang. Berbentuk lembaran persegi memanjang dengan rumbai dikedua ujung disisi panjangnya. Luka selalu dibalut melintang pada pundak atau melingkar pada leher seorang pemangku adat dalam melaksanakan ritual adat. Dalam pelaksanaan adat setempat wanita tidak memakai luka sama seperti pria. Untuk wanita diikat melingkar pada pinggang. Luka juga digunakan untuk menari yang sering dikenal dengan tarian “wanda pa’u”. Warna luka selalu menyerupai “lawo”, didominasi warna coklat dengan beberapa hiasan motiv lainnya yang ditenun untuk mempertegas khas dan nama masing – masingnya. Lesu atau destar, hanya digunakan oleh kaum pria yang dipasang melingkar di kepala. Pria yang mengenakan lesu adalah mosalaki atau pemangku adat. Selalin mosalaki pria lainpun bisa mengenakan lesu dalam upacara pernikahan, pentasan seni budaya dan lainnya.

Pare, pare isi, vilu / ndene, kibi. Beberapa bahan dan makanan yang selalu ada disetiap acara perkawinan dan pernikahan. Pare atau padi. Pare isi atau beras. Vilu / ndene atau kue cucur lokal yang terbuat dari adonan tepung beras, gula aren. Vilu yang ada di Lio berbentuk oval memanjang dan padat. Kibi atau emping, terbuat dari padi yang direndam, disangan dan ditumbuk hingga bentuknya menjadi ceper.


PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PERKAWINAN ADAT LIO

Secara umum kita mengenal “nuwamuri” atau pemuda dan “weki jemu” atau pemudi. Nuwamuri dan weki jemu dilihat dari batasan usianya. Nuwamuri lo’o dan jemu lo’o atau remaja usia 15 – 20 tahun. Usia nuwamuri dan weki jemu antara 20 – 30 tahun. Sejak menjadi nuwamuri dan wekijemu lo’o sudah dilatih untuk bertanggungjawab dalam beberapa peran sebagai makluk sosial dan sebagai anggota keluarga. Misalnya mereka diajarkan atau diajak untuk berladang dan melaksanakan pekerjaan lainnya. Seorang pemuda membantu pekerjaan ayahnya dan sesekali membantu pekerjaan ibunya. Begitu pula dengan seorang pemudi, membantu pekerjaan ibunya sesekali membantu pekerjaan ayahnya. Ini terbukti dari ungkapan petuah – petuah yang selalu didengar “dau no kumu jubu lima bita” (harus dengan karya tangan sendiri), dau no runga ra (harus dengan keringat sendiri), kema ngere ata ko’o ka ngere ata ria, kema ngere ata ria ka ngere ata ko’o (kerja seperti budak makan seperti bos, kerja seperti bos makan seperti budak). Semua petuah – petuah yang mengajarkan untuk bekerja rajin, kuat dengan usaha sendiri sehingga bisa dinikmati dengan penuh rasa syukur.
Kedua belah pihak, pihak laki – laki  dan pihak perempuan, rumpun keluarga pria dan rumpun keluarga wanita.

Pihak laki – laki (papa ata kaki)                                  
           Ine (mama), ema (bapak), eda (om/paman), eba (tante / bibi), ema du’a (bapak besar), ine du’a (mama besar), ema lo’o (bapak kecil), ine lo’o (mama kecil), ka’e (kakak), aji (adik), we’ta (saudari), eja (ipar), kunu (keluarga), wuru (keluarga keturunan ibu), doa be’la (keluarga keturunan bapak).
          Semua keluarga besar yang disebut diatas merupakan anggota keluarga besar yang diundang untuk menjadi pihak keluarga besar laki – laki. Masing – masing akan membantu untuk keberhasilan berlangsungnya proses perkawinan. Secara umum semua yang disebut diatas akan membantu dalam bentuk ; wea, ngawu, eko, doi.

Pihak perempuan (papa ata fai) 
Ine (mama), ema (bapak), eda (om/paman), eba (tante / bibi), ema du’a (bapak besar), ine du’a (mama besar), ema lo’o (bapak kecil), ine lo’o (mama kecil), ka’e (kakak), aji (adik), nara (saudara), ipa (ipar), kunu (keluarga), wuru (keluarga keturunan ibu), doa be’la (keluarga keturunan bapak). 
Semua keluarga besar yang disebut diatas merupakan anggota keluarga besar yang diundang untuk menjadi pihak keluarga besar perempuan. Masing – masing akan membantu untuk keberhasilan berlangsungnya proses perkawinan. Secara umum semua yang disebut diatas akan membantu dalam bentuk ; pare, pare isi, ragi, lawo, luka, lesu, lambu.

Juru bicara (Ata mbabho) 
Juru bicara (jubir) yang menjadi pembicara antara para pihak dalam pada perkawinan di Lio dibutuhkan juru bicara. Para pihak menyediakan masing – masing juru bicara. Juru bicara tentu memahami tentang perkawinan adat lio. Bagaimana bila jubir tersebut berada dipihak laki – laki? bagaimana bila berada dipihak perempuan. Jubir biasa dihargai sa liwu sa eko (satu liwut mas satu ekor hewan). Dalam situasi tertentu jubir harus bisa berfungsi sebagai penenang.

Penghubung (ha’i jala) 
Untuk menyampaikan amanat dari pihak laki – laki dan pihak perempuan diangkatlah dari masing – masing pihak seorang yang bertugas sebagai penghubung atau dalam bahasa lio disebut sebagai “ha’i jala”.

Pa’te Bheto Tali Nao (jembatan dan pengikat) 
Beberapa jenis perkawinan harus ada “pa’te bheto tali nao”. Sebagai jembatan yang menghubung yang pengikat kesepakatan antara pihak perempuan dan pihak laki – laki.

JENIS – JENIS PERKAWINAN ADAT LIO

Beberapa defenisi para ahli menyebutkan perkawinan adat merupakan ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah yang didahului dengan rangkaian upacara adat perkawinan itu sendiri. Orang Lio mendefenisikan perkawinan dengan sebutan “nge kunu be’ka kapa, nge sa pi dhuka sa pi, nge’da sa lape ra’o sa lape” yang berarti “tambah keluarga semakin banyak, tambah satu angkatan (sa pi = 30 tahun) bertambah pula angkatannya, berkembang satu generasi (sa lape = 70 tahun) bertambah pula generasinya. Petuah serupa juga terlihat dari istilah, “susu nggua ma’e du’u, nama bapu ma’e dute”. Ungkapan ini mengandung makna “jangan berhenti melaksanakan seremonial adat, jangan berhenti melaksanakan ritual adat. Penekanan ini menceriterakan supaya generasi dalam masing – masing clean adat, untuk terus melanjutkan semua karya, semua warisan tradisi ke generasi berikutnya. Ungkapan lainnya yang mengandung makna berkembang biaklah “ngeu gi nge’da pepa”.
Di Lio, perkawinan selalu disebut dengan “nika atau nika nua”. Secara umum perkawinan akan mempengaruhi kehidupan dalam tatanan adat dan tradisi selanjutnya. Sebut saja untuk menjadi pemimpin cleannya masing – masing sebagian syaratnya adalah jenis pernikahan yang terdahulu yang digunakan.
Orang Lio mengenal 6 (lima) jenis perkawinan ; 1Dhuku Tu Lengge Lima, 2Pa’a Tu’a, 3Ruru Gare, 4Se’re Pa’a, 5Dei Ngai Pawe Ate dan  6Paru Nai.

1.   Dhuku Tu Lengge Lima
Perkawinan “Dhuku tu lengge lima”. dhuku (tekuk) tu (antar) lengge (lingkaran) lima (tangan). Harafiahnya tekuk antar dilingkaran tangan mengandung arti perkawinan antara dengan keluarga dekat dan sedarah. Perkawinan jenis ini sudah jarang ditemukan. Orang Lio menyebutkan perkawinan jenis ini bertujuan untuk menjaga kemurnian darah, sebab perkawinan ini berlaku antara putri dari saudara laki – laki dan putra dari anak suudari wanita (Ana eda doa/anak dari paman sekandung dengan ibu).

“Lengo, Ratu, Jumba, tiga laki – laki dan Mi seorang perempuan adalah saudara se-ayah se-ibu. Mereka tinggal di kampung Mbotu Ndati mereka termasuk keluarga mampu. Banyak harta, hewan dan lahan garapan yang mereka miliki. Mereka terlahir dari ayah bernama Kaki yang juga seorang pemangku adat (mosalaki) di rumah adat “sa’o ata wolo” dengan ibu bernama Mbu. Lengo, Ratu dan Kaki memanggil Mi “weta” dan Mi memanggil Lengo, Ratu dan Jumba “nara”. Dengan penuh kasih sayang Kaki dan Mbu membesarkan keempat anak mereka. Tak terasa ketiga putranya sudah menjadi seorang “nuwamuri” yang gagah berani dan putri semata wayangnya sudah menjadi “ata jemu” yang cantik jelita. Dengan persetujuan orang tuanya, Lengo si putra sulung menikah dengan anak dari Wara mosalaki “sa’o rini” rumah sekampung dengannya, dari keturunan ibunya dengan jenis perkawinan “pa’a tu’a. Begitu juga dengan kedua adiknya menikah dengan anak - anak dari rumah adat yang bersebelahan dengan mereka dan jenis perkawinan “ruru gare atau tana ale”. Sedangkan satu – satunya saudari mereka Mi menikah dengan Woda dari rumah adat “sa’o panggo”. Beberapa waktu berlalu masing – masing mereka dikarunia putra dan putri. Dari Lengo lahirlah dua putri bernama Mbejo dan Remo dan dua putra bernama Woka dan Wake. Begitu juga dengan Ratu dan Jumba. Mi melahirkan putra tunggal bernama Mbusu dan putri bernama Bupu. Anak – anak mereka tumbuh menjadi nuwamuri dan ata jemu. Mbusu putra dari Woda dan Mi memilih menikah dengan Mbejo anak dari Lengo (saudara kandung mamanya)”.
Ini hanya sebuah cerita belaka. Nama – nama orang, nama rumah adat, yang ada dalam cerita diatas bukan yang sebenarnya.

Inilah yang dinamakan dengan jenis perkawinan “dhuku tu lengge lima”. Perkawinan antara anak saudara dan anak saudari. Dari pihak saudara atau nara adalah anak perempuan dan dari pihak saudari atau weta adalah anak laki – laki. Jenis perkawinan ini dilangsungkan bisa atas dasar anak – anak saling mencintai dan atau juga dijodohkan oleh orang tuanya.

2.   Pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo
Sebelum kita mengurai jenis perkawinan ini, mari kita memahami dulu arti dari “pa’a tu’a”. Kata pa’a artinya menabung/menyimpan. Tu’a arti lurusnya kuat, dalam tatanan perkawinan tu’a adalah mama/ibu dari perempuan yang akan dinikahkan, atau mertua perempuan.
Ndiwi sepu lawo, ndiwi artinya pilin atau pegang, sepu artinya ujung dan lawo itu sarung. Ndiwi sepu lawo memegang ujung sarung. Sarung siapa yang dipegang? Bisa sarung dari saudari kandung ayah kandung atau saudari jauh ayah dari keluarga serumpun.

“Adalah Lopi seorang pemuda dari “sa’o ata wolo” anak dari Laka dan Ba’ke menikah dengan Tiwe dari “sa’o benga”anak dari Peto dan Nela. Mereka menikah dengan jenis perkawinan “ruru gare”. Waktu pembicaraan belis semua bisa diberikan oleh pihak Lopi. Karena bisa diselesaikan semua yang diwajibkan dalam tuntutan adat pihak Peto dan Nela mengantarkan anaknya Tiwe ke rumah Lopi yang dikenal di Lio dengan sebutan “be’i bu’u dha ndawa” yang berarti mengantar anak perempuan kepihak laki – laki (Lopi) karena semua belis sudah diselesaikan. Beberapa waktu kemudian ada perkawinan yang terjadi di rumah ada sa’o benga atau di rumpun keluarga Peto dan Nela. Karena kekurangan tuntutan saat pembelisan pernikahan keluarga Peto dan Nela mereka meminta bantuan ke keluarga Lopi atau dalam bahasa Lio dikenal dengan “mbana ju” (pergi minta). Lopi menyanggupi permintaan dari pihak keluarga Peto dan Nela dan memberikan sejumlah emas dan hewan. Saat Lopi memberikan sudah disampaikan ke pihak Peto dan Nela bahwa bantuan yang diberikan digantikan dengan seorang gadis yang kelaknya bisa dinikahkan dengan anaknya Lopi atau dengan anak dari keluarga serumpun dengan Lopi. Peto dan Nela menyanggupi syarat yang diberikan oleh Lopi. Saat itulah terjadi “pa’a tua atau ndiwi sepu lawo” Tiwe istri dari Lopi. Saat terjadi kesepakatan untuk “pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo Tiwe, sudah ditentukan siapa yang akan dinikahkan dengan dengan keluarga Lopi kelak. Sebut saja Mopa, putri yang ditentukan oleh pihak Peto dan Nela untuk menikah dengan laki – laki dari pihak Lopi.

Perkawinan Pa’a tu’a atau ndiwi sepu lawo sering menjadi konflik. Beberapa pertanyaan yang muncul yang bisa menimbulkan konflik. Bagaimana kalau Mopa menikah dengan lelaki lain yang bukan dari keluarga atau rumah adat Lopi? Bagaimana kalau keluarga Lopi tidak mau menikah dengan Mopa dengan alasan tertentu? Kalau Mopa menikah dengan laki – laki lain yang bukan dari rumah adat Lopi maka pihak keluarga Peto dan Nela harus menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Lopi dengan menunjuk gadis lain sebagai gantinya. Atau suatu saat ketika keluarga dari Lopi menikah dengan gadis dari keluarga Peto langsung dibuatkan kesepakatan bahwa gadis itu adalah Mopa.

3.   Ruru gare atau Tana Ale
Perkawinan “ruru gare atau tana ale” (artinya pergi tanya) dengan menggunakan jasa “ha’i jala” (pengentara kedua pihak), merupakan jenis perkawinan yang sering dilaksanakan diantara kedua mempelai dengan status sosial ekonomi yang mapan. Perkawinan jenis ini bermula dari kemauan sang pria kepada pasangan yang disukainya. Bisa karena pria mencintai pasangannya atau bisa karena dijodohkan oleh kedua orang tua dari masing – masing pasangan. Setelah terjadi kesepakatan dari kedua rumpun keluarga melalui “ha’i jala” atau perantara maka dilanjutkan dengan proses “pa’te bheto tali nao” atau mengikat kuat hasil kesepakatan dari kedua rumpun keluarga. Jenis perkawinan ini juga berakhir dengan “kolo wu eko beta” (belis tertebus habis/tuntas). Setelah keluarga pria sepakat untuk memilih keluarga wanita yang diinginkan, juru bicara dimandatkan untuk menanyakan keluarga wanita atas keinginan keluarga pria.

“di kampung Lise Laka terdapat beberapa rumah adat (sa’o nggua). Sebut saja “sa’o benga, sa’o sadhe, sa’o ata wolo, sa’o rini, sa’o bhisu koja, sa’o nua guta” dan rumah adat lainnya. Di Sa’o Rini sebagai mosalakinya Jira. Sa’o Nua Guta sebagai mosalakinya Loba. Dari pernikahan Jira dengan Nggua lahirlah 2 putra Rega dan Rua serta seorang putri Mbagho. Begitu juga dengan Loba, dari perkawinannya dengan Danga dikaruniai seorang putra bernama Nggiri dan putri bernama Nalu. Beberapa waktu berlalu, anak – anak dari Jira dan Loba sudah menjadi pemuda dan pemudi. Adalah Rega putra dari Jira ingin menjadikan Nalu putri dari Loba sebagai istrinya. Maksud baik dari Rega disampaikan kepada ayahnya Jira. Sebagai ayah Jira menyetujui pilihan putranya. Jira menginginkan Nalu pilihan anaknya Rega harus menjadi bagian dari rumpun keluarga besar rumah adatnya. Sehingga kelak anak – anak yang terlahir dari pasangan Rega dan Nalu menjadi anggota keluarga besar Jira. Keinginan besar Jira dibuktikan saat proses “ruru gare atau tana ale” dengan memilih Mbele sebagai “ha’i jala” atau perantara. Setelah terjadi kesepakatan antara keluarga Jira dan Loba dengan bantuan Mbele sebagai “hai jala” maka selanjutnya dilaksanakan perjanjian yang mengikat kedua rumpun keluarga dengan ritual “pa’te bhato tali nao” atau pengikat yang sebelumnya menjadi ha’i jala.

Pa’te bhato tali nao atau pengentara juga berfungsi sebagai juru bicara disaat membicarakan tuntutan dari pihak perempuan. Tetapi orang kepercayaan ini ditahap awalnya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kedua pihak. Setelah pihak perempuan menyetujui untuk melanjutkan proses adat selanjutnya, pihak laki – laki memberikan emas dan hewan untuk mengikat atau tanda jadi kedua pihak atas perkawinan anak mereka. Jadi pa’te bheto tali nao diartikan dengan bambu jenis bheto sebagai jembatan setelah disetujui, diikat dengan tali ijuk (tali nao).

4.   Sa’re Pa’a.
Perkawinan jenis ini terjadi antara putra dan putri dari satu keturunan dalam rumah adat yang sama. Turunan diatas lapis ke – 4 atau sebelumnya merupakan saudara sekandung dan rumah adat yang sama.

“Seko seorang mosalaki di sa’o sadhe. Dari perkawinannya dengan Lanu lahirlah 2 putra Ghale dan Babo serta seorang putri bernama Mara. Ghale dan Babo menikah dengan gadis pilihannya masing- masing dari kampung yang sama tetapi rumah adat yang berbeda. Mara menikah dengan Wara, pria dari kampung dan rumah adat berbeda. Karena Wara tidak menyanggupi belis maka anak – anak yang terlahir dari Mara dan Wara tetap menjadi anggota rumpun keluarga besar sa’o sadhe, menjadi tanggungjawab Seko. Selanjutnya keturunan dari Ghale memperanakkan Gharu, Gharu memperanakan Ndale, Ndale memperanakan Mite, Mite memperanakkan Ndopo, dari Ndopo lahirlah 2 putri Geno dan Jani serta seorang putra bernama Lando.
Dari keturunan Mara memperanakkan Dani, Dani memperanakkan Nggumbe, Nggumbe memperanakkan Leta, Leta memperanakkan Lambe. Dari Lambe lahirlah 2 putra bernama Mbulu dan Rede serta seorang putri bernama Mbadhi. Mbulu akhirnya menikah dengan Geno. Perkawinan antara Mbulu dan Geno terjadi digenerasi sekandung yang kelima. Ini disebut perkawinan Sa’re Pa’a.

Perkawinan jenis inilah yang sebuah bahasa adat menyebutkan “tei pati duna mea”. Secara harafiah tei (dapat) pati (berikan) duna (kurang) mea (malu). Mengadung arti kalau ada diberikan, kalau tidak ada tidak dituntut.

5.   Dei Ngai Pawe Ate
Jenis perkawinan ini juga dikenal dengan istilah “dei leka kaju pawe leka ae atau tei taga te’a lo ere atau tei pare wole bewa jawa dupa ria”.  Secara harafiah dei ngai pawe ate “dei (suka) ngai (napas) pawe (baik) ate (hati) atau mengandung arti gadis yang dipilih karena cinta dan pria menyukainya. Juga diumpamakan “dei leka kaju pawe leka ae, “dei (suka) leka (pada) kaju (kayu) pawe (baik) leka (pada) ae (air). Si pria megibaratkan kekasihnya seperti kayu dan air. Si pria menyukai kayu dan air tersebut. Perumpaan lainnya “tei taga te’a lo ere” tei (lihat) taga (betis) te’a (menguning atau matang) lo (badan) ere (halus) mengandung arti si pria memilih kekasih karena melihat betis seperti bulir padi yang menduning, badannya halus nan cantik. Perumpaan lainnya “tei pare wole bewa jawa dupa ria” tei (lihat) pare (padi) wole (tangkai) bewa (panjang) jawa (jagung) dupa (batang) ria (besar). Si pria mengibaratkan kekasikan yang dinaksir ibarat setangkai padi panjang dan sebatang jagung besar. Semua perumpaan diatas menerangkan bahwa pria memilih kekasihnya karena rasa kagum dan perasaan cinta yang mendalam. Dari rasa kagum dan cintanya dia mengutarakan perasaannya kepada wanita pilihannya. Si wanita tersebut menerima cinta si pria tersebut. Mereka sepakat untuk membina rumah tangga atas dasar suka sama suka. Karena suka sama suka atau dasar perkawinannya “cinta” maka tahap perkawinanya tidak dilalui dari  tahap awal. Tidak melalui proses masuk minta. Perkawinan jenis ini terjadi bisa karena mempelai wanita sudah hamil, mempelai laki-laki langsung tinggal dirumah perempuan dan langsung jadian.
Sekarang lebih dikenal dengan istilah “kawin masuk” dimana mempelai laki-laki akan meninggalkan keluarganya dan tinggal bersama dengan keluarga mempelai wanita. Dalam kehidupan sehari – hari sang ayah dari mempelai wanita akan mengatakan “pati topo lelo eo bosu talo, pati su’a dhawe eo lemba talo” (diserahkan tofa dan parang untuk bekerja kebun yang tidak ada habisnya). Artinya mempelai pria dengan status kawin masuk akan di bahasakan : “ko’o lo’o r’wo boko” (jadi hamba dari keluarga wanita). Bila statusnya sampai mempelai laki meninggal, maka istilah untuk orang tersebut menjadi “ka kana ru’e nggewu”. 
Perkawinan jenis ini bukan berarti yang pria tidak bisa lagi menebuskan belis. Bisa ditebus dengan beberapa syarat, diantaranya :
  1. Saat saudara laki dari sang istri/ipar/eja menikah, dimana ada bahasa “weta wa’u nara nai” (saudara perempuan keluar rumah saudara laki-laki masuk rumah), artinya dalam hal membelis semua tuntutan dari keluarga istrinya ipa/eja menjadi tanggungjawabnya.
  2. Bila mempelai sudah banyak memberi hewan atau lainnya, “dia” bisa mengeluh dan berkata, “wara ku baja r’wa, kolo ku ro r’wa”. Disini sang pria dan keluarganya sudah siap untuk membicarakan belis, ulang dari awal. Yang sudah diberikan bisa diperhitungkan dan bisa juga tidak diperhitungkan.
  3. Bila ada kematian salah satu pasangan, istri/suami. Dari pihak keluarga laki – laki menanyakan bagaimana dengan anak – anak pasangan suami istri yang sudah meninggal. Ini akan dilaksanakan pembagian anak. Anak I dan anak II menjadi bagian dari keluarga istri. Sedangkan anak ke III dan selanjutnya menjadi bagian dari keluarga perempuan. Bila anak hanya satu atau dua maka, tergantung dari pihak keluarga istri mau bersama – sama mengakui anak atau hanya dari pihak istri yang berhak.
6.   Paru Nai
Paru nai tediri dari dua suku kata paru = lari dan nai = naik. Tapi dalam perkawinan paru nai diartikan gadis lari dan masuk kerumah laki-laki. Perkawinan jenis ini dalam pelaksanaan belisnya tidak menjadi tuntutan. Jenis perkawinan ini juga menimbulkan konflik. Keluarga wanita akan merasa malu dan terhina karena perlakukan anak gadisnya.
Beberapa sebab terjadinya perkawinan “paru nai”
  1. Didasari suka sama suka 
  2. Ada riwayat “pa’a tu’a” 
  3. Tidak ada persetujuan dari salah satu pihak baik pihak laki maupun pihak perempuan. 
  4. Sang laki-laki mau dijodohkan oleh orang tuanya atau sebaliknya, dan sebab lainnya.
Berdasarkan sebab – sebab diatas wanita meninggalkan keluarganya kerumah laki-laki dan menikah dengan pilihannya.

Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook

Gerunion Creator

Wikipedia

Hasil penelusuran

Adsense

Recent Posts

Pepatah Lio

  • Ni Sariphi Tau Wini, Tuke Sawole ngara du nggonde.
  • Lowo Jawu Ae Ngenda.
  • Ndange Beke dan Ngenda Beke.