berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Konstruksi Bangunan Rumah Adat Lio Wologai

Oleh : Ludger S

Konstruksi Bangunan Rumah Adat Lio Wologai



Dalam arti umum, rumah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun untuk istilah tempat tinggal yang khusus bagi hewan adalah sangkar, sarang, atau kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain. Dalam kegiatan sehari-hari, orang biasanya berada di luar rumah untuk bekerja, bersekolah atau melakukan aktivitas lain. Aktifitas yang paling sering dilakukan di dalam rumah adalah beristirahat dan tidur. Selebihnya, rumah berfungsi sebagai tempat beraktivitas antara anggota keluarga atau teman, baik di dalam maupun di luar rumah pekarangan.

Rumah dapat berfungsi sebagai tempat untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tempat untuk beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga, dan tempat untuk menunjukkan tingkat sosial dalam masyarakat.

Konstruksi rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap. Rumah memiliki jalan masuk berupa pintu dengan tambahan berjendela. Lantai rumah biasanya berupa tanah, ubin, babut, keramik, atau bahan material lainnya. Rumah bergaya modern biasanya memiliki unsur-unsur ini. Ruangan di dalam rumah terbagi menjadi beberapa ruang yang berfungsi secara spesifik, seperti kolam renang, ruang kerja, ruang belajar, kebun, ruang olahraga, ruang cuci, laboratorium, pantry, perpustakaan, ruang bermain, taman bermain, kolam ikan, ruang musik, ruang doa, kamar tidur, kamar mandi, toilet (WC), ruang makan, dapur, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras dan pekarangan.

Konstruksi rumah yang bagus harus memperhatikan efisiensi pemakaian energi. Konstruksi rumah hemat energi di Indonesia yang beriklim tropis tidak serumit konstruksi rumah di negara-negara yang beriklim subtropis, karena tidak ada perubahan musim yang ekstrem. Kebutuhan energi untuk pencahayaan, insulasi, ventilasi, pengaturan udara, dan lain-lain tidak sebesar rumah di negara-negara dengan empat musim. Efisiensi energi bisa dimaksimalkan dengan memakai pencahayaan alami di siang hari, tata letak lampu penerangan yang tepat, pemakaian lampu hemat energi, pemasanan ventilasi dan insulasi pada dinding, pemilihan atap yang tidak menyerap panas, dan pemakaian peralatan listrik yang hemat energi.

Dalam desain rumah hemat energi, termasuk didalamnya segala rancang bangunan yang ramah lingkungan, dengan meminimalkan penggunaan energi tidak terbarui dan mengoptimalkan pemanfaatan energi alami. Keterbatasan sumber daya alam membuat konstruksi rumah hemat energi menjadi semakin relevan mulai dari sekarang.



Rumah Adat di Wologai

Bentuk rumah secara umum berdiri dari beberapa tiang pancangan batu panjang ± 100 cm. batu ini adalah batu alam, bukan coran semen, beton atau sejenis lainnya. Sejak rencana pembangunan rumah, yang paling utama adalah izin dari “Mosalaki”  tua adat untuk seremonial pelatakan batu pertama atau lebih dikenal dengan sebutan “welu watu”.
Sejak orang belum mengenal semen istilah “welu watu”  disebut dengan “peso watu” (peletakan batu), dimana seremonial ini sendiri disebut dengan istilah “pije pare bara”. Beberapa jenis bahan yang harus disiapkan saat pelaksanaan “pije pare bara” seperti “wea/ngawu (emas bentuk lokal), nggako rano (eceng gondok), pare bara (beras putih), lengi nio (minyak kepala), ana manu (anak ayam) yang nantinya akan diletakan pada “l’ke p’ra” (sebuah tiang yang diyakini sebagai media prnghubung dengan leluhur dan Tuhan).

 

Urutan kontruksi rumah dari bawah ke atas sebagai berikut :

Lewu  (kolong)

Leke (tiang) : Sejak direncanakan akan membangun sebuah bangunan rumah, seperti biasa ratakan permukaan tanah dengan sebutan “ kali seka sa’o” (persiapan fondasi). Setelah “seka sa’o” dilanjutkan dengan pengambilan batu sebagai tiang  “le’ke sa’o” dengan jumlah yang selalu genap dan minimalnya 12 tiang/l’ke.

Tenga : tenga atau balok besar yang menyangga rumah dan langsung dipasang diatas tiang batu. Bentuk tenga berupa balok glondongan.

Isi : Letaknya setelah tenga sebagai penyangga dinding papan, tiang, alas papan lantai. Berbentuk balok dengan ukuran sesuai kebutuhan, 8 cm x 12 cm atau sesuai beban bangunan.

Gebe lewu : papan berukuran lebar, tebal dan selebar ukuran rumah yang dipasang pada tenda (beranda) rumah. Karena letak ruang tamu lebih rendah dengan ruang bagian dalam rumah gebe lewu berfungsi sebagai pengikatnya.
Dalo : balok sebagai alas papan lantai.


Sa’o (rumah)

Pene : Pene atau pintu. Rumah adat Lio tidak mempunyai pintu di beranda atau ruang tamu. Pintu dipasang untuk memasuki ruangan dalam rumah. Pene selalu ada dua lembar kiri dan kanan. Letaknya bagian tengah di atas gebe lewu. Yang bersamaan dengan pene ada “kume pene, benga susu, kata bendi”.

Tenda / maga : Ruang tamu. Tenda selalu dibangun bagian depan rumah. Setiap tamu yang datang, setelah menaiki tangga memasuki pintu tak berdaun langsung di tenda.

Lore :  Lore atau Lorong. Ketika memasuki rumah kita akan melewati pintu dan Lore. Kiri kanan lore terletak tunggu masak.

Waja : Tungku

Lata : Papan panjang sebagai tempat duduk
Dhembi lulu : serambi bagian belakang
Wisu : Wisu atau sudut. Merupakan tiang penyanggka rumah
Benga kebi : papan dinding
Loki : tempatnya dibelakang tungku. Bisa duduk.
Pne lo’o/pene mbasi : pintu kecil/pintu samping. Menyerupai jendela.



Ghubu : atap
Isi, Mangu, Benga toko, Gola, Jara, Isi ghubu, Soku, Eba, Tenda teo, Pate, Ki / nao, Watu Wula leja

Pentahapan kerja
Siapkan lokasi untuk pembangunan rumah atau “seka sa’o”.
Persiapan ramuam/bahan secara umum berupa pengadaan Leke, Tenga, Isi, Benga, Wisu, Kogo laba, Mangu, Isi ghubu, Ki / nao, Soku, Eba, dan lainnya.

Urutan pekerjaan bangunan
Wisu …., “naka wisu”, Dube nitu, Teka jala kuri, Ndeku leke, peja wisu, dari benga, pene lo’o, pene ria, lera, soro dalo, teo gebe lewu, reso wisu, gola, dari mangu, pije isi ghubu, kema kae, weka ndawa, beranda, nama souk, nama eba, ola teo, ate, peso wula leja, joka nitu, nai sa’o = ka nio mu’u tewu, semu remo / ka are kidhe dan seterusnya.

Nanti dijelaskan


Desain Rumah Tanpa Denah, bersama Bapak Paulus Lengga kita akan mengetahui urutan membangun Rumah Adat Wologai yang dimulai dari :
“Wisu …., “naka wisu”, Dube nitu, Teka jala kuri, Ndeku l’ke, p’ja wisu, dari benga, p’ne lo’o p’ne ria, l’ra, soro dalo, teo g’be lewu, r’so wisu, gola, dari mangu, pije isi ghubu, kema kae, w’ka ndawa, beranda, nama soku, nama eba, ola teo, ate, peso wula leja, joka nitu, nai sa’o = ka nio mu’u tewu, semu remo / ka are kidhe”. 






Share: Youtube

Kelimutu

Oleh : Ludger S, disadur dari berbagai sumber


Kelimutu

Surganya orang “Lio” itulah suatu warisan legenda dari generasi ke generasi berikutnya. Ini dibuktikan dengan seringnya “ata Lio” (suku Lio di Flores Kab. Ende) bahwa danau Kelimutu dengan 3 kawah/danau/kolam yang dalam sebutan lokal “tiwu ata bupu” (danau untuk beristirahatnya arwah orang tua) “tiwu nuwa muri we’ki je’mu’ (danau untuk peristirahatan arwah kaum muda mudi) “tiwu ata polo” (danau peristirahatan arwah orang jahat).

Cerita tentang keunikan Danau Kelimutu bukan cerita baru. Ratusan tulisan telah dihadirkan dalam berbagai bahasa dan versi untuk melukiskan keunikan itu. Namun adakah yang pernah menyinggung tentang sisi lain dari Kelimutu? Tidak bisa dimungkiri bahwa Kelimutu ternyata bukan sekadar keunikan danaunya saja.

Kelimutu ternyata memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Sayangnya, selama ini para pengunjung Kelimutu masih terfokus pada keunikan Danau Kelimutu saja. Padahal kalau meluangkan waktu untuk berpaling sejenak, melihat keragaman flora dan fauna di sekitarnya, para pengunjung dipastikan akan terkagum-kagum bahwa Kelimutu bukan saja unik, tapi juga indah.

Jejak langkah Kelimutu sebagai taman nasional dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 89/KPts-II 1983, tanggal 2 Desember 1983 tentang penunjukan area hutan di NTT seluas kurang lebih 1.667.962 hektar sebagai kawasan hutan tetap, dalamnya terdapat kelompok hutan Sokoria. Pada tanggal 4 Oktober 1985, Keputusan Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1985 menunjuk Danau Kelimutu dan kawasan hutan di sekitarnya seluas lima ribu hektar menjadi hutan suaka alam dan cagar alam seluas 16 hektar sebagai kawasan hutan wisata yang dalamnya menjadi taman wisata selua 4.984. Seperti yang diungkapkan dalam laporan akhir studi komunitas flora dan fauna yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kelimutu Ditjen PHKA-Departemen Kehutanan kerja sama dengan pusat penelitian Biologi LIPI-Bogor dikatakan bahwa selanjutnya pada tanggal 26 Februari 1992 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.279/Kpts-II/1992 terjadi perubahan fungsi dan penunjukan cagar alam Danau Kelimutu yang luasnya 5 ribu hektar menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Kelimutu.

Parameter Fisik Danau Kelimutu

Danau Biru 
Kedalaman Maks/Min 64
Diameter Danau Maks/Min 400/330
Diameter Kawah Maks/Min 580/375
Tinggi muka air (m dpl) 1382
Luas area (m persegi) 81.700
Volume (juta m kubik) 5,3
Daerah Tangkapan (105m2) 1,7

Danau Hijau 
Kedalaman Maks/Min 127
Diameter Danau Maks/Min 430/306
Diameter Kawah Maks/Min 520/375
Tinggi muka air (m dpl) 1394
Luas area (m persegi) 91.700
Volume (juta m kubik) 6,4
Daerah Tangkapan (105m2) 2,3
Danau Merah
Kedalaman Maks/Min 67
Diameter Danau Maks/Min 357/260
Diameter Kawah Maks/Min 400/360
Tinggi muka air (m dpl) 1354
Luas area (m persegi) 60.400
Volume (juta m kubik) 4,2
Daerah Tangkapan (105m2) 4,1

Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 679/Kpts-II/1997 pada tanggal 26 Februari 1997 kawasan Taman Nasional Kelimutu diperluas menjadi 5356,50 hektare. Secara administratif pemerintahan kawasan Taman Nasional Kelimutu meliputi lima kecamatan yaitu Kecamatan Detusoko, Kecamatan Wolowaru, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Ndona dan Kecamatan Kelimutu. Terdapat 24 desa yang berbatasan langsung dengan TN Kelimutu yaitu sebelah utara dengan Desa Wolofeo, Detusoko, Detusoko Barat, Wologae, Wologai Tengah, Sapijena, Nuamuri Barat. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Roga, Sokoria, Kurulimbu dan Desa Demulaka. Sebelah Timur dengan Desa Pemo, Koanara, Woloara, Tenda, Wiwipemo dan Kelurahan Wolojita. Sebelah barat dengan Desa Puutuga, Kelikiku, Wolomasi, Saga, Ndito dan Niowula.

Sebagai kawasan konservasi pengelolaan TN Kelimutu berbasiskan pada zonasi yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 16/Kpts/Dj-V/2001, tanggal 6 Februari 2001 yang terdiri atas empat zona yaitu zona inti luasnya 350,50 hektare di sekitar kawasan tiga danau yaitu tiwu ata mbupu, tiwu ata polo dan tiwu nuamuri koofai. Sedangkan zona pemanfaatan intensif luasnya 96,50 hektar terletak pada lereng yang berbatasan langsung dengan zona inti. Zona rimba luasnya 4.351.000 hektare tersebar di seluruh kawasan TN Kelimutu, berbatasan langsung dengan zona inti, serta zona rehabilitasi luasnya 558.50 hektare berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk terutama di Kecamatan Detusoko dan Kecamatan Ndona.

Kawasan Taman Nasional Kelimutu memiliki beberapa sungai yang mengalir sepanjang tahun seperti sungai Aemara dan Sungai Aebai dan juga sungai yang mengalir hanya pada musim hujan seperti sungai Lowo Ndoe, Lowo Ria, Lowo Napu, Lowo Maru, Lowo Mutu dan beberapa anak sungai yang ada dalam kawasan. Sumber-sumber air tersebut  sangat berguna bagi masyarakat, baik untuk minum dan air minum ternak serta untuk pengairan persawahan. Kawasan TN Kelimutu beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1.615 sampai 3.363 mm per tahun. Musim hujan dimulai pada bulan Desember hingga Maret. Bulan Oktober dan November merupakan musim kering. Suhu udara berkisar antara 25,5-31 derajat Celsius.

Pada musim hujan flora dalam kawasan tampak hijau, tetapi pada musim kering terutama pada bulan Oktober dan November banyak tumbuhan yang meluruhkan daunnya. Kondisi tanah dan iklim berpangaruh langsung terhadap keanekaragaman flora dan fauna yang ada di atasnya. Dari hasil studi komunitas flora dan fauna di Taman Nasional Kelimutu yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kelimutu Ditjen PHKA-Depertemen Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biologi-LIPI-Bogor pad tahun 2007 lalu menyimpulkan bahwa keanekaragaman flora tertinggi terdapat pada zona rimba. Selain itu, diketahui terdapat 78 jenis pohon dalam kawasan TN Kelimutu yang tersebar pada empat zona yaitu zona rimba terdapat 55 jenis, zona pemanfaatan intensif terdapat 30 jenis, zona rehabiltasi ada 19 jenis dan zona inti terdapat tujuh jenis pohon. Jenis flora yang persebarannya luas pada empat zona adalah mboa atau dalam bahasa umum, sendeduk. Selain itu, pada Flora zona tracking terdiri dari 290 nomor pohon terdiri atas 27 jenis dari 17 suku. Jenis yang paling banyak dalam flora tracking adalah pohon Bu sebanyak 42, 75 persen dan Teru sebanyak 17,69 persen.

Dari hasil studi itu juga ditemukan dua jenis tumbuhan sebagai flora endemik Kelimutu yaitu Uta Onga (Begonia Kelimutuensis) dan Turuwara serta satu ekosistem spesifik Kelimutu yaitu ekosistem vacinium dan rhododendron. Dua jenis flora yang diwaspadai status kelangkaannya yaitu jita dan upe. Selain itu, terdapat 49 jenis burung yang tersebar dalam kawasan TN Kelimutu, yaitu 10 jenis terdapat pada zona inti, lima jenis pada zona rimba dan 33 jenis pada zona pemanfaatan intensif. Dari 49 jenis burung, terdapat lima jenis endemik Flores. Terdapat 14 jenis mamalia, yaitu empat jenis kelelawar, tga jenis tikus, satu jenis curucut, satu jenis kera, dua jenis babi hutan, dua jenis landak dan satu jenis tikus besar.

Di kawasan TN Kelimutu ditemukan tiga jenis mamalia yang merupakan endemik Flores adalah tikus lawo, deke dan babi hutan Flores atau dalam bahasa setempat disebut wawi ndua. Ditemukan juga empat jenis ular, satu jenis kadal dan molusca. Hasil studi tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa di Kelimutu tidak hanya Danau Kelimutu yang bisa dinikmati oleh para pengunjung karena Kelimutu memang menyimpan berbagai aneka flora dan fauna yang sangatlah disayangkan kalau dilewatkan begitu saja.

Hasil studi komunitas Flora dan Fauna Taman Nasional Kelimutu yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kelimutu bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biologi-LIPI-Bogor pada tahun 2007 lalu menemukan bahwa di Taman Nasional Kelimutu terdapat satu spesies yang menjadi kekhasan Taman Nasional Kelimutu yakni Uta Onga atau dalam bahasa Latin disebut Begonia Kelimutuensis. Sangatlah beralasan kalau Uta Onga dinamakan Begonia Kelimutuensis. Nama itu diberikan karena spesies itu hanya ditemukan di Taman Nasional Kelimutu. (Ludger, Peibenga City)

Share: Youtube

Kelindota

Kelindota
Cipt : Ludger S

*
Kelindota eo ine Mbu fonga
fonga no tebo tau tata tora

tata tora tebo tau bopa lowa
gesi gena sa tiko ola

**
mosalaki eo dai rate enga bale
kodho tolo sai kami eo ngai ngongo
joka tibha tu gelu eo re'e
we gaga bo'o kita kewi ae

reff
ngomo kami gha ngoso
ine mbu tau pati bo'o
reki reba sai tiko lobo
ngai uma rema bhondo mera mopo

de'e kami gha de'e
ine mbu kami de'e re'e
de'e re'e no'o supu kami na be
bhondo mata gena hama no wereng

***
pemereta miu eo ema dena

tu pati kami no'o oba ae
we muri kita temu duna noe
Share: Youtube

Peran Generasi Muda dalam Melestarikan Budaya Warisan Leluhur

Oleh : Ludger S

Peran Generasi Muda dalam Melestarikan Budaya Warisan Leluhur


Sungguh sangat memprihatinkan kondisi pemuda saat ini, adalah sebuah realita yaitu mulai menurunnya rasa kecintaan dan rasa keinginan yang dimilki oleh generasi muda untuk memajukan budaya daerah yang merupakan warisan leluhurnya sendiri. Dalam tulisan sebelumnya saya menyebutkan “Penyakit Dekadensi Moral” kini menyerang generasi tanpa kendali. Kondisi seperti ini bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari di mana generasi muda sebagai cikal bakal harapan masa depan, kian akan pudar. Kondisi seperti ini apabia dibiarkan, cepat atau lambat akan berdampak luas dalam kehidupan masa depan baik generasi tua maupun muda. Kurangnya kesadaran untuk memahami budayanya sendiri akan berdampak besar, yakni hilangnya jatidiri. Fenomena ini akan menjadi bahaya laten bagi kita semua. Pemuda adalah harapan masa depan, calon pemimpin masa depan, olehnya itu  di pundak generasi mudalah nasib suatu bangsa dipertaruhkan . Suatu bangsa apa bila generasi mudanya memiliki kualitas yang unggul dan semangat yang kuat untuk memajukan budaya daerah yang didasari dengan keimanan dan akhlak mulia, maka bangsa itu akan besar.

Bapak Bangsa Indonesia Soekarno mengatakan, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia” – Soekarno”. Kata Bijak Soekarno diatas mengartikan bahwa pemuda merupakan bibit – bibit atau calon calon yang akan mampu membuat negara ini terus berkembang menjadi negara yang besar. negara yang bisa dihormati oleh negara lainnya. Kata-kata Soekarna tentang 10 pemuda itu merupakan kata kata yang sangat terkenal dan merupakan bagian dari sejarah Indonesia.

Sesungguhnya, “ Seorang pemuda ibarat matahari yang tengah memancarkan cahaya terang dan cahaya yang paling panas” . Dari ungakapan ini  kita dapat mengatakan, bahwa masa muda  adalah masa kekuatan atau masa keemasan. Namun Saat ini kita dapat melihat betapa lemahnya peran pemuda dalam menjaga dan  melestarikan budaya daerah masing masing. Di sini bisa kita lihat, bahwa pemuda lebih  suka mengikuti budaya modern yang kebarat-baratan dari pada budaya daerah kita yang lebih beradat dan beradab.


  • Budaya dan Kearifan Lokal
Secara umum budaya diartikan sebagai hal-hal yang  berkaitan dengan budi dan akal manusia. Jadi budaya daerah adalah suatu sistem atau cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah daerah dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya daerah terbentuk dari berbagai unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaianbangunan, dan karya seniserta bahasa. Kearifan Lokal  secara umum diartikan sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. memunyai kemampuan mengendalikan,
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya
.


Dengan demikian budaya dan kearifan lokal adalah hal yang saling berkaitan satu sama lain.


B.     “Nggua Bapu” sebagai unsur kearifan lokal
“Nggua  Bapu” bisa diartikan pesta adat dengan seremonial dan susunan acaranya. Arti yang sama dengan Nggua Bapu, disebagian wilayah mengenal “Mbama” di seputaran Lise, Joka Ju di seputaran Lio bagian selatan, dan sebagainya lainnya. Dalam bahasa Lio amanah yang menjadi pegangan turun menurun dari generasi ke generasi “susu ma’e du’u nama ma’e dute, susu nggua ma’e du’u raka tana noko nama bapu ma’e dute raka watu konggo”. atau “ laksanakan seremonial adat jangan berhenti, lakukan seremonial adat sampai tanah kurus batu mengecil”. Petuah ini mengajak semua generasi penerus “nggua bapu” untuk melaksanakan seremonial sampai kiamat.
Dalam seremonial “nggua bapu” semua “ana kalo fai walu” atau masyarakat adat diajak untuk selalu mengingat kembali beberapa hal :
1.      Ngga’e : Tuhan : yang menjadikan alam semesta. Ini terlihat dalam ungkapan – ungkapan dalam melakukan seremonial adat “Ngga’e eo we’ti tana ne’na watu” atau Tuhan yang menciptakan tanah dan batu.
2.      Du’a : Penguasa yang diwujudnyatakan dalam benda-benda pusaka (tetapi tidak semua benda pusaka dapat disebut du’a). Kata du’a sering dilafalkan dalam pelaksanaan seremonial “du’a gheta lulu wula”atau penguasa dibelakang bulan. Secara lurus dapat diartikan seperti diatas. Maksud dari ucapan ini menerangkan penguasa yang jauh dari jamahan masyarakat umum, hanya dijamah oleh orang yang berhak disaat-saat melaksanakan seremonial adat. Lantunan syair dan doa khusus sering didahulukan untuk menghargai “du’a”.
3.      Tana : tanah merupakan tempat berpijak semua makluk dibumi. Ucapan “koe kolu paki te’do” atau “gali isi pacul tanam” merupakan ucapan yang sering dilafalkan saat permulaan musim tanam. ................. Mempunyai watak TANAH, yaitu tanah merupakan dasar berpijak dan rela dirinya ditumbuhi. Artinya, Seorang pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai penyubur kehidupan rakyatnya dan tidak tidur memikirkan kesejahteraan rakyatnya
4.      Watu : batu, perumpaan tentang sesuatu kekuatan yang hakiki. “tu’a ngere su’a maku ngere watu”. Ungkapan ini sering dilafalkan saat anak-anak sedang sakit juga ketika sedang dalam masa peperangan.
5.      Liru : Langit. Dalam sejarah peradaban “liru” menjadi catatan sejarah, “nebu liru me’nga sa siku, tana menga sa paga”. P’se lika momo ngara liru mera”. Mempunyai watak LANGIT, yaitu langit mempunyai keluasan yang tak terbatas hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan pengendalian diri yang kuat, sehingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam
6.      Wula : bulan. Mempunyai watak BULAN, yaitu keberadaan bulan senantiasa menerangi kegelapan malam dan menumbuhkan harapan sejuk yang indah mempesona. Artinya, Seorang pemimpin hendaknya sanggup dan dapat memberikan dorongan serta mampu membangkitkan semangat rakyatnya, ketika rakyat sedang menderita kesulitan. Ketika rakyatnya sedang susah maka pemimpin harus berada di depan dan ketika rakyatnya senang pemimpin berada di belakang
7.      Leja : matahari. Mempunyai watak MATAHARI, yaitu matahari adalah sumber dari segala kehidupan, yang membuat semua mahluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup rakyatnya untuk membangun negara dengan memberikan bekal lahir dan batin untuk dapat berkarya dan memamfaatkan cipta, rasa, dan karsanya
8.      Angi : angin. Mempunyai watak ANGIN, yaitu angin selalu berada disegala tempat tanpa membedakan daratan tinggi dan daratan rendah ataupun ngarai. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyatnya, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, hingga secara langsung mengetahui keadaan & keinginan rakyatnya
9.      Medi Sia : Bintang. Mempunyai watak BINTANG, yaitu bintang senantiasa mempunyai tempat yang tetap di langit sehingga dapat menjadi pedoman arah (Kompas). Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan rakyat kebanyakan tidak ragu menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan
10.  Api : api. Mempunyai watak API, yaitu api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan menghancurleburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Artinya, Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu
11.  Pu’u kaju : Mempunyai watak TUMBUHAN, yaitu tumbuhan/tanaman memberikan hasil yang bermamfaat dan rela dirinya dipetik baik daun,dan buahnya maupun bunganya demi kepentingan mahluk lainnya
12.  Ae mesi :Lautan. Mempunyai watak SAMUDERA, yaitu laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Artinya, Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama di hatinya. Dengan demikian ia dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya
13.  Sa’o : rumah. Mempunyai watak RUMAH, yaitu rumah senantiasa menyiapkan dirinya dijadikan sebagai tempat berteduh baik siang maupun malam. Artinya, Seorang pemimpin harus memayungi dan melindungi seluruh rakyatnya

C.     Peran pemuda dalam kebudayaan dan Kearifan Lokal
Pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan budaya daerah. Dalam konteks keberlanjutan budaya apabila pemuda sudah tidak lagi peduli terhadap budaya daerahnya maka budaya tersebut akan mati. Namun jika pemudanya memilki kecintaan dan mau ikut serta dalam melestarikan budaya daerahnya budaya tersebut akan tetap ada disetiap generasi. Pemuda juga harus menjadi aktor terdepan dalam memajukan budaya daerah, sehingga budaya asing yang masuk yang  ke daerah  tidak merusak atau mematikan budaya daerah tersebut.
Besarnya pengaruh budaya asing terhadap budaya daerah ini yang membuat para pemuda yang peduli terhadap budaya daerahnya harus bekerja keras dan memfilter setiap budaya yang masuk ke daerah. Jangan sampai pemuda lengah dan bahkan mengikuti budaya budaya yang bertentangan dengan budaya daerahnya.


Setidaknya ada beberapa peran pemuda dalam memajukan budaya daerah, diantaranya:

a.      Memperkuat Akidah
Akidah merupakan pondasi dasar yang harus dimiliki oleh para pemuda untuk meneruskan nilai budaya luhur bangsa Indonesia. Kuat dan tidaknya pondasih ini juga akan menetukan seberapa kuat character suatu bangsa. Bila para pemudanya sudah tidak memiliki jatidiri yang kuat maka budaya asing pun akan mudah dengan leluasanya menggeser budaya suatu daerah.dan sebaliknya jika suatu daerah memiliki jatidiri yang kuat maka akan sangat sulit budaya asing untuk bisa masuk, apalagi mengantikan buadaya daerah tersebut. Maka dari itu pemuda seharusnya lebih menguatkan jatidiri dan kecintaanya pada suatu budaya yang akan mereka warisi nantinya.

b.      Meningkatkan Intelektualitas
Intelektualitas menjadi sesuatu yang di anggap penting karena melalui intelektualitas ini para pemuda bisa menyelamatkan memajukan budaya daerah di mana mereka tinggal dan melalui intelektualitas ini akan lahir moral dan etika serta menjunjung tinggi nilai nilai suatu budaya. Keluasan ilmu pengetahuan juga bisa dijadikan sebagai jalan untuk mebangun negeri ini , sehingga dengan keluasan ilmu tersebut para pemuda bisa memberikan pemahaman dan pembelajaran kepada masyarakat dan menjadi pilter masuknya budaya asing ke daerah masing-masing.
Penyebaran budaya asing yang semakin hari semakin memprihatinkan saat ini, yang mulai mengikis nilai-nilai budaya daerah seharusnya menjadi perhatian yang serius bagi kalangan intelektual muda. Kecenderungan kepada  budaya  asing yang melanda generasi muda indonesia mestinya bisa di tanggulangi dengan ilmu dan pembelajaran budaya daerah yang mengadung nilai-nilai  luhur dimasanya termasuk penerapan muatan lokal di tingkat pendidikan..

c.       Pemuda sebagai aset masa depan
Sudah selayaknya dan sudah menjadi kewajiban kita para pemuda  untuk terus berusaha dan berupaya untuk terus melestarikan peninggalan sejarah nenek moyang kita yang telah ditinggalkan dalam bentuk budaya maupun bentuk bangunan bersejarah. Sebagai generasi penerus sudah seharusnya jika para pemuda menggali potensi dirinya dan berupaya untuk mengaktifkan lagi kebudayaan daerah yang sebagian besar sudah tergeserkan oleh nilai budaya asing yang secara nyata bertentangan dengan budaya dasar daerah kita.
Pemuda sebagai aset penerus eksistensi budaya daerah sudah menjadi kewajiban baginya untuk berusaha dan berupaya untuk melestarikan kebudayaan daerah yang sebagian sudah hamper punah, sehingga kebudayaan  yang hampir punah itu bisa dibangkitkan lagi. Kecintaan kita pada budaya dan berusaha membentuk kelompok kelompok pecinta budaya daerah serta bekerja sama dengan pemerintah untuk membantu berdirinya sarana dan prasarana agar terwujudnya kelestarian budaya daerah tersebut.
Dengan berdirinya kelompok sanggar muda tersebut diharapakan dapat melestarikan budaya daerah yang ada dan menumbuhkan kecintaan serta kesadaran generasi muda akan pentingya untuk melestarikan budaya daerahnya.
Sehingga apa yang menjadi tradisi dan khasan suatu daerah akan tetap ada dan kejayaan dimasa lalu menjadi sejarah tersendiri yang bisa dibanggakan di oleh generasi penerusnya kelak.

d.      Kesadaran Melestarikan Budaya
Sesungguhnya, “Melestarikan suatu budaya lebih sulit dari pada membuat budaya yang baru”, demikian ungkpan orang bijak. Tapi itulah kenyataanya saat ini yang terjadi kita lebih sulit mempelajari budaya daerah yang tak lain milik kita sendiri. Konsisi seperti ini bisa kita lihat begitu banyak anak muda kita yang lebih hapal lagu lagu barat ketimbang lagu daerah seperti lagu Ongkona Bone, Ininnawa sabbarae,  dan lain sebagainya, Nah disinilah peran penting para pemuda untuk menyelamatkan serta melestarikan budaya daerah yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat saat ini.
Sejatinya, kesadaran untuk melestarikan budaya daerah ini idealnya memang harus dimulai dari para pemuda, karena di pundaknyalah ada potensi besar yang perlu mendapat motivasi dari berbagai pihak


Share: Youtube

Persekutuan Adat di Kampung Wologai

Oleh : Ludger S


Persekutuan Adat di Kampung Wologai



Sketca kampung wologai by Egi_Lake

Nua Pu’u Pu sai Nala Mulu, kampung pertama sejak dahulu kala. Itulah sebutan yang sering diucapkan oleh tetua adat di Wologai dan sekitarnya. Atas kesepakatan bersama para leluhur membangun dan membentuk sebuah Persekutuan Adat di kampung Wologai. Sebuah kampung dengan bangunan perumahan membentuk suatu lingkaran perkampungan adat, dibagian tengah terdapat “tubu kanga, ke’da, lewa, bale” dimana beberapa pohon beringin yang usianya mencapai 800 san tahun menambah mistiknya kampung Wologai.


Sejak beberapa dekade terakhir, banyak wisatawan yang datang berkunjung ke Wologai, baik wisatawan mancanegara dan juga wisatawan domestik.

Simbol Persekutuan Adat terlihat dari ; 1 Ke’da, 2 Tubu Kanga, 3 Sa’o Ame Naka Ine Naju atau ana deo (patung sepasang manusia), 4 Lewa (tempat masak daging khusus laki – laki), 5 sa’o Bhisu Koja/Sa’o Ria (Rumah besar).


Sa’o Nggua (rumah seremonial adat)
1.       Sa’o Ria
2.       Sa’o Sokoria
3.       Sa’o Rini
4.       Sa’o Wolomena
5.       Sa’o Nua Ro’a
6.       Sa’o Wologhale

Sa’o nai pare (rumah adat bagian dari rumah besar).
1.       Sa’o Nua Guta
2.       Sa’o Panggo
3.       Sa’o We’ri Wawi
4.       Sa’o Lewa Bewa
5.       Sa’o Langga Rapa
6.       Sa’o Lamba Seko / Lengo Digo
7.       Sa’o Benga
8.       Sa’o Renggi Woge
9.       Sa’o Bhena
10.  Sa’o Labo

Sa'o ame naka ine naju (rumah tempat menyimpan patung)
Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook