berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Back to Village part1

Oleh Ludger S





Slogan orang kampung "ele re'e ta nua du'a ngara" untuk mempromosikan kampung halamannya dari dampak migrasi sebagian warganya yang konon katanya hijrah dengan alasan perubahan ekonomi. Hijrah untuk mencari pekerjaan, hijrah untuk menjadi nasib de el el. Namun apa yang terjadi? Banyak yang pulang kampung dan biasa - biasa saja. Beberapa orang mungkin "sukses". Ada cerita nih, 15 tahun yang lalu Kanga seorang pemuda dari kampung Muru pamit mau merantau ke kota besar, kota modern. Kanga dibekali izajah SMP di sebuah desa tetangga. Bermodalkan "nekat" berbekal ijazah seadanya, dengan bawaan pakaian kumalnya, dengan uang seadanya Kanga menggunakan kapal laut komersial kelas ekonomi. Akhirnya Kanga tiba juga di tempat tujuannya denga selamat. Hari - hari awal kehidupan di kota, keraguan mulai muncul. Bisakah dia menyesuaikan diri dengan "hidup pola kota"???? Hari berlalu, bermodalkan tampang yang garang, otot yang kekar, Kanga diterima disebuah perusahaan sebagai security. Kanga sangat menikmati kehidupannya. Semula yang numpang dengan saudara sekampung, Kanga mulai nge-kost sendiri. Perlahan hidupnya mulai berubah. Kanga membentuk rumah tangga kecil dengan harapan bahagia. Anak pertama lahir, selanjutnya anak kedua dan anak ketiga pun hadir membahagiakan keluarga kecilnya. Namun sesuatu terjadi diluar kehendak dan dugaannya. Perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar alias bangkrut. 

Kanga bingung. Dengan status baru "pencari kerja" Kanga menelusuri lorong, jalan - jalan untuk mencari lahan kerja yang baru. Kanga putus asa. Suatu waktu di meja makannya, Kanga mengumpulkan semua anak - anaknya dan juga istrinya tercinta. Pa, ada apa? Kok tiba - tiba serius amat? Anak bungsunya membuka kesenyapan. Kanga mulai mengutarakan tujuan mengumpulkan anggota keluarganya. Begini, papa mau sampaikan kalau kita harus segera pulang kampung. Sejak papa tidak bekerja, sudah banyak perusahan dan lowongan pekerjaan yang papa datangi tapi tidak satupun yang menerima lamaran papa. Jadi kita harus "back to village". Semua barang yang bisa dibawa, dikemas. Yang lain via paket kiriman, yang separuhnya ditengteng masing - masing. Seminggu kemudian Kanga tiba di kampung Muru. Sejak merantau, Kanga baru sekali ini menginjak lagi kampung halamannya. Apa yang terlihat oleh Kanga? Kampungnya yang dulu usil, sekarang sudah jauh berubah. Jauh dengan apa yang Kanga bayangkan. Kanga disambut oleh orang tua, sahabat, saudara dan handai taulannya. Awal kehidupan baru di desa, banyak hal yang sangat susah disesuaikan oleh keluarga Kanga. Kemana harus mendapatkan modal untuk usaha kecil - kecilan dan untuk kebutuhan hidup. Kanga berdiskusi dengan kepala desa setempat yang masih saudara jauhnya. Kepala desa menjelaskan panjang lebar tentang kebijakan pembangunan desanya. Salah satu yang menarik dan Kanga mendengarkannya dengan penuh konsentrasi adalah bagaiman pemerintah desa menyiapkan dana untuk masyarakatnya dalam hal meningkatkan ekonomi. Ada unit Simpan Pinjam denga bunga yang sangat rendah. Ada dana bantuan hibah pemerintah tanpa jaminan. Ada keuangan kelompok tani yang juga siap mensuplai dana untuk keperluan anggota kelompoknya. Dengan penuh semangat Kanga kembali kerumah dan berdiskusi dengan istrinya. Ma, kita buka kios kecil - kecilan ya. Sambil papa kerja kebun, mama menunggu jajanan kios kita. Panik istrinya, pa....mau ambil dari mana? Sisa bawaan kemarin tinggal 500 ribu. Apa itu cukup? Kanga menjelaskan hasil disukainya denga kepala desa. Akhirnya istrinya menyetujui untuk meminjam ke salah satu dana desa yang tersedia. Atas kesepakatan bersama, Kanga mengajukan pinjaman 10 juta. Mulailah membangun kios kecilnya. Anak - anaknya berhenti lanjutkan pendidikan sementara waktu. Kesehariannya Kanga ke kebun untuk menanam kopi, kemiri dan jenis tanaman lainnya. Perasaan minder selalu ada, karena semua saudara sudah pada panen hasilnya Kanga masih sibuk menanam. Tahun berlalu, akhirnya kehidupan Kanga mulai berubah. 


Semua cicilan pinjaman sudah lunas, kios kecilnya makin berkembang, anak - anaknya mulai sekolah di kota kabupaten terdekat. Kanga yang pesimis saat kembali ke kampung telah menjadi Kanga yang optimis akan kehidupan kampung. Kepada saudaranya yang merantau Kanga mengirim pesan, "back to village"

Itulah desa, yang dulu dan sekarang. Dulu orang melihat desa dengan sebelah mata. Sekarang banyak dana masuk desa. Seirama dengan program pemerintah "membangun dari desa" diharapkan banyak desa akan mandiri dalam segala hal

Simo gemi yang sudah baca dan berkomentar.






Share: Youtube

The Exotic Traditional Wologai Village

oleh : Ludger S


Nua Pu’u (kampung asal) Wologai terletak di desa Wologai Tengah Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai kampung adat tentu banyak kekhasan lokal yang tersimpan serta menarik untuk mengundang pengunjung berdatangan ke Wologai. Selain letak dan bentuk kampung, banyak kekhasan lainnya yang terpendam di Wologai. Satu kesatuan rangkaian seremonial yang tak terpisahkan dengan puncaknya, “gawi” (tarian tandak) bersama menjadi hal menarik yang harus diangkat ke permukaan. Dengan harapan Wologai tetap menjadi aset wisata budaya baik wisatawan lokal Nusantara maupun mancanegara. 

RUMAH – RUMAH ADAT 

Kampung Wologai berada diatas puncak bukit yang dikelilingi dengan susunan batu alam dan diatasnya berdiri rumah – rumah adat yang membentuk lingkaran dengan Tubu, Keda, Kanga dibagian dalamnya. Tubu adalah batu lonjong yang diletakan bagian tengah dari lingkaran kanga. Kanga adalah lingkaran tempat bermain tandak (gawi) yang disusun dari bebatuan. Sebagian sisi dari kanga adalah kuburan batu khas Wologai. Keda adalah sebuah rumah umum tanpa dinding yang terdiri dari 4 tiang penyangga. Letak Keda berhadapan dengan kanga. Keda merupakan simbol pemersatu semua klan adat yang ada di Wologai juga berfungsi sebagai tempat musyawarah para mosalaki (tua adat). Kaum hawa tidak diperkenankan untuk memasuki keda. 


Rumah – rumah adat yang ada di Wologai terdiri dari 1 rumah adat utama bernama sa’o ria / sa’o bhisu koja (rumah besar), 5 sa’o nggua (rumah untuk seremonial syukuran) yaitu sa’o sokoria, sa’o rini, sa’o wolome’na, sa’o nua ro’a, sa’o wologhale, 12 sa’o nai pare (rumah untuk kumpulkan beras hantaran dari anggota klan) yaitu ; sa’o nua guta, sa’o panggo, sa’o weri wawi, sa’o labo, sa’o lewa bewa, sa’o sato jopu, sa’o langga rapa, sa’o ana lamba, sa’o benga, sa’o renggi woge, sa’o sepu sambi, sa’o bhena, 1 lewa (tempat masak daging) khusus untuk kaum pria, 1 bale (menyerupai lopo) tempat berkumpul bapak – bapak untuk makan bersama atau bersenda gurau, 1 sa’o ame naka ine naju (rumah patung “ana deo”). 

Secara garis besar ada dua seremonial adat syukuran yang selalu dilaksanakan di kampung adat Wologai yaitu Nggua Keti Uta dan Nggua Ria

NGGUA KETI UTA
“Keti uta” atau pesta adat syukuran atas panenan kebun ladang. Biasa dilaksanakan bulan nduru (april), more (mei). Keti artinya memetik dan uta artinya sayur - sayuran. Saat keti uta semua hasil panenan ladang seperti pare (padi), uta bue (sayur kacang – kacangan), timu (ketimun / timun), uta besi (sayuran labu), jawa (jagung) dan jenis tanaman lainnya, dijadikan simbol seremonial dan ritual adat. Keti uta merupakan ritual “ka uta muri” atau makan makanan hasil ladang yang baru dipanen. Sebelum pelaksanaan “nggua keti uta” semua masyarakat adat Wologai tidak diperkenankan untuk panen hasil kebun. Saat nggua keti uta, ungkapan adat yang menyatakan silahkan panen hasil ladang “sewa gara puli pire” atau semua larangan dipulihkan dan terbayar dengan ritual “keti uta”. Alat kesenian lokal seperti nggo (gong), lamba (beduk) tetap dimainkan tetapi tidak dilakukan gawi. 

NGGUA RIA 
Secara harafiah nggua berarti pesta syukuran. Ria berarti besar. Nggua ria berarti syukuran yang dilaksanakan dengan meriah dan merupakan puncak terbesar dalam pesta syukuran adat di Wologai. Dilaksanakan sekali setahun pada bulan jelu jena/ba topo taka (september) atau bara (oktober). 
Para leluhur telah memberi semangat dengan pesan yang disampaikan secara lisan, “susu nggua ma’e du’u nama bapu ma’e dute. Susu nggua du tana noko nama bapu du watu konggo”. Sebutan ini mengandung makna, teruslah melaksanakan seremonial dan ritual adat jangan berhenti disuatu masa tetapi teruslah melakukan seremonial sampai kiamat. 
Tahap demi tahap yang akan dilaksanakan menjelang, hari puncak nggua sampai pasca nggua ria meliputi : 

Wari Pare
Wari artinya jemur. Pare artinya padi. Pare isi artinya beras. Padi yang dijemur menggunakan te’e leba (tikar yang  terbuat dari boro / lontar). Setiap rumah adat dengan klannya masing – masing akan melaksanakan wari pare secara berurutan dari sa’o bhisu koja dan seterusnya. Setelah semua selesai wari pare dilanjutkan dengan “dhu pare” (tumbuk padi). Sejak hari pertama wari pare, sbeberapa pire (larangan) diberlakukan. Seperti “api nu pire” atau tidak boleh bakar membakar yang menimbulkan asap, menggali tanah dalam arti mencabut rumput atau kerja dikebun, tidak boleh berkelahi, tidak boleh ketahuan ada luka yang mengeluarkan darah. Semua pelanggaran dikenakan denda berupa, “poi”. Denda adat yang dikenakan kepada pelanggar berupa hewan seperti babi, sapi, kuda atau kerbau sesuai dengan tingkat kesalahannya. Waktu yang dibutuhkan untuk jemur padi 1 minggu.

Sowo Dhu Kibi 
Sowo artinya rendam padi, kibi artinya emping. Sowo kibi adalah kegiatan merendam, menggoreng dan tumbuk padi hingga menjadi emping padi. Sowo kibi juga dilakukan secara berurutan sesuai urutan yang telah diwariskan dan dimulai dari sa’o bhisu koja dan seterusnya.  Emping termasuk makanan yang digunakan untuk seremonial adat dan upacara lainnya.

Ibu - ibu sedang sowo kibi

Rase 
Pare isi (beras) sudah tersedia, kibi (emping) juga sudah tersedia. Selanjutnya akan dilaksanakan “rase pare rase kibhi”. Rase diartikan membuat jadi padat kedalam suatu wadah. Rase pare berarti memasukan beras kedalam mbola (bakul kerjaninan lokal) dipadatkan hingga penuh dan rata dengan bibir mbola. Rase kibi brearti memasukan kibi kedalam bakul hingga penuh, padat dan meluap keluar. Setelah rase, pare dan kibi dimasukan kedalam "nggala" (tempat menyimpan khusus pare dan kibi yang terbuat dari ancaman lontar yang dibalut dengan anyaman bamboo).


Seremonial sare pare di sa'o Bhius Koja

Semua anggota sesuai klan masing –masing akan mengantar pare dan kibi ke sa’o nggua (rumah adat) atau sa’o nai pare masing – masing. Semua wajib mengantar sesuai dengan lahan garapannya. Yang lebih besar lahan garapannya dengan sendirinya lebih banyak. Pare dan kibi yang telah di rase disimpan di nggala pare yang akan digunakan pada saat “po’o te’u. Sedangkan kibi yang sudah disimpan di nggala dan akan digunakan pada saat nggera kibi. 
Setelah rase, hari berikutnya dilanjutkan dengan “dhawe kanga” (bersihkan kanga) dari rumput, ilalang yang ada disekitar kanga.  Selain mosalaki yang mempunyai tugas dan hak untuk dhawe kanga, yang lain tidak diperbolehkan.

Nai Keu 
Nai artinya naik atau panjat, keu artinya pinang. Nai keu atau panjat pinang. Setiap rumah adat mengutus putranya masing – masing bersama dengan utusan dari rumah adat lain ke lokasi panjat pinang. Ekoleta merupakan tempat untuk dilaksanakan panjat pinang. Seremonial panjat pinang merupakan simbol kebesaran dari masing – masing rumah adat. Ada sebutan “keu no kinga, uwi no kulu” yang berarti setangkai pinang dan sebonggol utuh umbi – umbian. Ungkapan ini melambangkan bahwa “sa’o nggua” yang mempunyai “keu kinga uwi kulu” merupakan rumah adat utama. 
     
Sremonial Naik Keu

Semua utusan akan berangkat bersama – sama ke lokasi panjat pinang. Mereka akan menginap semalam dirumah yang telah ditentukan. Ke esokan harinya dari kebun ke kebun “ana kalo fai walu” untuk memanjat pinang. Pinang diambil utuh setangkai. Tidak boleh dijatuhkan ke tanah tetapi dimasukan kedalam ragi (sarung khusus laki – laki). Biji pinang yang terlepas dari tangkainya tidak boleh disatukan. Setelah semua sudah mendapat bawaan masing – masing, mereka berkumpul ditempat yang telah ditentukan turun temurun untuk menghiasi pinang dengan rumbai – rumbai dari daun kelapa muda. Selanjutnya mereka akan pulang ke Wologai melalui jalan yang biasa dilalui turun temurun. Ada tontonan menarik saat mereka melewati jalan raya Ende – Maumere. Setiap kendaraan yang berpapasan diwajibkan untuk memberi jalan dan stop sejenak. Sedangkan kendaraan yang searah dengan rombongan tidak diperkenankan untuk melewati iring – irirngan pemanjat pinang. Setiap orang baik yang tidak mengenal atau yang kenal dengan rombongan pemanjat pinang tidak boleh memanggil nama atau tegur sapa. Siapa yang melanggar akan dikenakan dengan adat atau poi.
Setibanya di Wologai, pinang bawaan rombongan pemanjat pinang tidak langsung di bawa masuk ke rumah adat masing – masing. Tetapi digantung di sebuah pohon disamping gerbang masuk kampung. Digantung pada sebuah ge’ra atau bambu yang masih ada tangkainya yang dalam bentuk tangga. Ada orang khusus yang bertugas untuk menggantung pinang dan digantung secara berurutan. Pinang disimpan ditempat gantungan sementara sampai keesokan harinya. Malamnya ada kegiatan “pa’i keu” atau menjaga pinang sampai pagi dengan gawi bersama didepan pohon beringin besar, dipentaskan juga permainan “rengga leke” dan permainan lainnya. 

Poto Keu 
Poto artinya memasukan, keu artinya pinang. Poto keu berarti mengambil dan memasukan pinang ke dalam masing – masing rumah adat sesuai urutan siapa yang pertama, kedua dan seterusnya. Saat “poto keu” semua orang yang hadir tidak boleh mengeluarkan suara. Hanya mata yang memandang. Yang melanggar akan dikenakan “poi”. 

Pada saat seremonial poto keu, semua “ana kalo fai walu” baik yang dekat maupun yang jauh sudah banyak berkumpul dirumah adat masing – masing. Selalu disebut dengan “leja riwu benu” atau hari orang banyak berkumpul. Setelah di pinang sudah masuk kerumah adat masing – masing dilanjutkan dengan seremonial dan ritual “wa’u tosa”


Wa’u Tosa
Setelah dilaksanakannya acara “poto keu” kerumah adat utama (sa’o ria/sa’o bhisu koja) dan lima rumah adat lainnya yang mempunyai “keu uwi” selanjutnya dilaksanakan acara “wa’u tosa”. Secara harafiah ungkapan “wa’u tosa” berasal dari kata “wa’u” (keluar dari dalam rumah) dan “tosa” (bersihkan padi yang ditumbuk menjadi beras). 
   
Jadi seremonial “wa’u tosa” adalah ritual menumbuk padi hingga menjadi beras oleh “ine ria fai ngga’e” (ibu dari semua ibu) dan ata ine di sa’o ria berjumlah tiga orang. 
Yang sangat menarik dari seremonial sekaligus ritual “wa’u tosa” adalah padi yang ditumbuk hingga menjadi beras hanya dengan cara menyentuh bukan dengan cara hentakkan keras, sampai menjadi beras. Beberapa “ine dan ine ria fai ngga’e” keluar dari rumah adat utama dengan mengenakan baju hitam khas baju adat Lio umumnya didahului oleh mosalaki pu’u, ketempat akan dilaksanakan “wa’u tosa” disebelah kanan rumah adat.
Ditempat itu sudah disedikan lesung untuk menumbuk padi. Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu tidak boleh ribut atau mengeluarkan suara apapun saat pelaksanaan upacara “wa’u tosa”, karena simbol dari seremonial ini adalah saat penyucian diri sebelum puncak acara adat. Semua yang hadir dalam keadaan hening penuh hikmat. Setelah “wa’u tosa” dilkasanakannya acara “ia keu” dimana setelah ia keu akan dilaksanakan “gawi sia”. Ia keu khusus untuk para mosalaki. Yang lain tidak diperkenankan ikut. 

Seremonial Wa'u Tosa

Gawi Sia
Gawi adalah tarian tandak yang dilaksanakan di kanga, saling berpegangan tangan dan membentuk lingkaran yang dipandu dengan nyanyian oleh seorang penyanyi yang dikenal dengan sebutan, “ata sodha” dan disemangati oleh eko ulu, ana rusa, suke ulu dan naku ae.

Gawi Leja

Ata sodha atau penyanyi untuk gawi merupakan orang pilihan. Nyanyian yang tidak diiringi musik pengiring dilantunkan secara bersambung, terus menerus dan saling sahut – sahutan dengan peserta gawi. Syair sodha merupakan lafalan sejarah kerebadaan kampung dan pantun. Yang luar biasa dari “sodha” adalah menyanyi berjam – jam tanpa teks tetapi tetap menjada irama sesuai hentakan kaki peserta gawi. 
Eko Ulu adalah seseorang yang menjadi komando untuk memacu semangat peserta gawi. Ulu berarti hulu, memegang rumbai yang terbuat dari bulu binatang atau ekor kerbau atau sapi. Eko ulu harus diperankan oleh yang sudah terbiasa, harus seorang laki – laki. 
Ana rusa adalah seseorang penyemangat gawi tapi tidak saling bergandengan tangan seperi eko ulu. Seorang “ana rusa” akan berjalan mengelilingi lingkaran peserta gawi sambil memberi semangat dengan gerakan spontannya. 
Suke eko adalah beberapa orang yang berada dekat eko ulu yang bergerak meliuk – liuk mengikuti langkah seorang eko ulu. Gerakan mereka terlihat rapih, seirama dan selalu mengikuti liukan eko ulu. Biasanya yang dekat dengan eko ulu adalah para mosalaki.
Naku ae adalah sekelompok orang dengan semangat muda yang melakukan hentakan keras, lompat – lompat menambah semangat dan meramaikan gawi. 
Gawi Sia (siang) adalah tarian gawi yang dilaksanakan malam hari. Kenapa disebut gawi sia atau siang? Karena tarian gawi yang ditarikan pada malam hari harus sampai mala hari terbit. Yang menjadi khas gawi di kangan Wologai adalah tidak boleh gandeng antara perempuan dan laki – laki. Perempuan berada diputaran bagian belakang yang bermakna sebagai pendukung kegiatan laki – laki. Yang harus diperhatikan saat gawi adalah tidak memakai alas kaki, kalau ada barang yang jatuh ke tanah tidak boleh langsung diambil oleh pemilik barang, tetapi disampaikan ke mosalaki.
Bagi orang yang baru pertama kali mengikuti tarian gawi di Wologai wajib mengelilingi tubu sebanyak 7 (tujuh) putaran. 

Gawi Leja
Leja artinya siang atau hari. Gawi leja berarti tarian gawi yang dilakukan pada siang hari. Setelah gawi semalaman sampai matahari terbit, peserta gawi diberi waktu untuk istirahat sampai dimulainya gawi sia. Sebelum gawi sia, biasa dipentaskan tarian “wanda pa’u” tarian selendang oleh ibu – ibu. Gawi sampai menjelang malam. Ada beberapa ritual adat yang dilaksanakan sebelum gawi leja yaitu “nggera tego bani”. Ini khusus mosalaki.

Nata Keu
Setelah berhenti gawi, semua mosalaki dari masing – masing klan adat melakukan ritual “nata keu” atau makan sirih pinang dirumah adat masing – masing. Ritual ini memberi petunjuk banyak terlahir anak perempuan atau laki – laki. Ini terlihat dari pinang yang dibelh dua dan dijatuhkan kebawah kolong rumah. Kalau pinang terbuka bagian isinya menghadap keatas berarti banyak terlahir anak perempuan. Kalau pinang yang jatuh dan isinya menutup tanah makan akan terlahir banyak anak laki – laki. Bagi yang mencari anak perempuan atau anak laki – laki diberikan pinang yang sesuai dengan anak yang dicari, laki – laki atau perempuan.

Seremonial Nata Keu

Nggera Kibi
Setelah gawi leja, hari berikutnya “pire ae uwi”. Semua aktivitas pribadi tidak diperbolehkan. Ramai – ramai berkumpul dikanga untuk tarian wanda pa’u. Keeseokan harinya akan dilaksanakan “nggera kibi”. 
Nggera artinya bagi – bagi, Kibi artinya emping beras. Nggera kibi berarti bagi – bagi emping yang dilaksanakan di kanga oleh mosalaki yang berhak membagi – bagikan kibi. Waktu pelaksanaanya "be'wo" (setelah matahari terbenam). Semua kibi yang disimpan di “nggala” sejak “rase” dari masing – masing rumah adat dibawah ke kanga dikumpulkan serta disatukan pada mbola (bakul anyaman lokal). Kibi dari nggala masing – masing rumah adat tidak boleh dituang sampai habis. Harus ada sisanya. Menurut kepercayaan lokal itu merupakan roh kibi penarik rejei setahun kedepan. Setelah semua sudah terkumpul ada mosalaki yang berhak membagikannya kembali kepada semua “ana kalo fai walu” yang ada saat itu. Pada saat nggera kibi, perempuan tidak diperkenankan hadir di kanga. Hanya laki – laki, baik yang muda ataupun yang tua yang boleh hadir di kanga. 

Po’o Te’u
Ini biasanya dilaksanakan tiga hari setelah "Gawi Leja" (main tandak pada siang hari). Kalau gawi leja jatuh pada hari minggu maka seremonial Po’o Te’u dilaksanakan pada hari rabu, setelah nggera kibi hari selasa kemarinnya. 
Secara harafiah po’o te’u berasal dari kata “po'o” yang artinya memasak nasi dengan menggunakan bambu dan “te'u” artinya tikus. Pada umumnya sebagian besar orang Lio makan tikus yang berada disawah atau diladang. Apakah seremonial po’o te’u yang dimasak adalah daging tikus? Jawabannya, bukan tikus yang dimasak dalam bambu. Yang dimasak dengan bambu ‘po’o” adalah beras yang diambil dari rumah adat (sa'o nggua) yang telah disimpan dalam nggala sejak enam hari sebelum po'o atau tepatnya saat seremonial "rase pare". Saat po'o te'u, yang bisa di-po'o bersama beras adalah "kura" (udang). 
     
Ibu - ibu sedang mengisi bambu dengan beras, "Po'o Te'u

Tempat dilakukan seremonial “po’o te’u” terletak disebuah tempat yang bernama, “lowo po’o” atau sungai Po’o. Semua rumah adat dengan klannya masing – masing terlibat dalam po’o te’u. Pagi – pagi benar berramai – ramai menuju lokasi. Yang laki – laki membawa nggala yang berisi beras. Yang perempuan membawa perabot makanan lokal dan bumbu – bumbu dapur. Setibanya di lowo po’o, yang laki – laki mencari bambu muda yang digunakan untuk po’o. Setelah itu para lelaki membuat “seka” atau tempat po’o yang terdiri dari dua tiang penyangga kiri kanan dan ditutup dengan pelepah enau diatasnya. Yang ibu – ibu mengambil air dan kayu api. Cara memasaknya memang unik, beras diisi ke dalam bambu yang telah disiapkan dengan air sesuai takaran. Dimaskukan juga sebatang kayu yang berfungsi sebagai penyangga saat menyandarkan bambu yang telah diisi air dan beras saat dimasak. Diatas bambu ditutup dengan dedaunan dalam bahasa setempat disebut “wunu sule”. Selama proses po’o sebagian laki – laki mencari udang, ikan, belut dikali lowo po’o dengan cara penangkapan tradisional yang dikenal dengan sebutan, “me’ti ra’a”. 

Sermonial Po'o Te'u

Seremonial po’o te’u bermakna mengusir hama terutama te’u (tikus) yang dapat merusak tanaman. Seharian semua terlibat dalam acara po’o te’u. Setelah semua masakan sudah matang, nasi bambu dikenal dengan sebutan “are po’o. Setiap seka mengumpulkan minimal sepuluh are po’o ke seka utama. Setelah semua sudah terkumpul dibagi kesemua yang hadir untuk dimakan secara beramai – ramai.  Sisa are po’o di seka masing – masing bibawah pulang ke kampung untuk makan secara bersama – sama selama beberapa hari “pire”. Are po’o yang dibawah dari lowo po’o tidak boleh bawah masuk kedalam rumah adat atau rumah tinggal masing – masing penduduk. Semua digantung di areal yang sudah diwariskan turun temurun sesuai rumah adat masing – masing. Ketika senja hari, semua wanita, para mosalaki, anak – anak pulang ke rumah masing – masing kecuali yang telah dipilih untuk melakukan “rego gaku” tetap berada di lowo po’o. Mereka akan membuat gaku atau alat musik tradisional yang terbuat dari bambu. Malam hari sesudah pelaksanaan “po’o te’u”, semua lampu disetiap rumah dipadamkan kecuali di sa’o nua guta. Masih sore setiap rumah sudah makan dan harus segera tidur. Tidak diperbolehkan untuk begadang dan menyalakan lampu.

Rego dan Poke Gaku
Rego artinya menggoyang. Gaku adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu. Rego gaku merupakan ritual menggusir tikus setelah po’o te’u dengan menggoyangkan alat musik yang terbuat dari bambu diiringi nyanyian secara bersama – sama. Nyanyian “rego gaku” dikenal dengan sebutan “oro gaku”. Ritual oro gaku pada hari po’o te’u dilaksanakan sekali di area “kanga leko” lowo po’o.  Sebutan kanga leko, karena tidak ada “tubu” ditengah – tengah kanga. Setelah selesai gawi bersama rombongan “oro gaku” meninggalkan lowo po’o dengan “gaku” masing – masing. Mereka akan menginap disalah satu rumah di kampung Nuabaru. Dini hari mereka mulai menyanyikan lagu diiringi gaku. Beberapa tempat yang telah ditetapkan secara turun temurun menjadi perhentian. Ditempat tersebut mereka menyanyikan lagu diiringi alat musik gaku dengan irama cepat mengimbangi nyanyian oro. Sedangkan ketika mereka sedang berjalan, tidak disertai nyanyian hanya memainkan alat musik gaku dengan tempo lambat atau sesekali hentakan. Semua warga di masing – masing rumah bangun dan melakukan kebasan – kebasan diseputaran rumah untuk mengusir tikus dengan kata – kata, “lau...lau...lau.... (kesana...). Begitu mereka sampai di seputaran kampung adat, mereka mengelingi kampung adat sampai tujuh kali. Setelah itu, mereka keluar melalui gerbang belakang kampung menuju tempat untuk melempar gaku. Tempat untuk melempar gaku di sebut dengan nama, “poke gaku”. Di tempat poke gaku semua gaku yang ada dilempar ke sebuah pohon yang dalam bahasa lokal di namakan “pu’u seti” (pohon seti). Bagi orang yang saat melempar gaku dan gaku yang dilempar tertancap didahan pohon seti, diyakini memperoleh kesuksesan. 

Pire
Pire sebuah kata yang berarti larangan. Sebenarnya pire sudah dimulai sejak "wari pare". Pire tersebut berupa tidak boleh menggali tanah atau pekerjaan yang sifatnya mencungkil tanah, tidak boleh melakukan pembakaran yang menimbulkan asap api. Pire tersebut belum dilaksanakan secara menyeluruh di setiap tanah ulayat adat. Pire yang harus dilaksanakan secara menyeluruh disetiap tanah ulayat adat Wologai dimulai sejak selesai acara "rego gaku, poke gaku". Secara berurutan pire dimulai dari :

Pire Ngi’i te’u 
Pire artinya larangan, ngi'i artinya gigi dan te'u artinya tikus. Pire ngi'i te'u secara lurus diterjemahkan larangan gigi tikus. Tikus dianggap hama yang sangat berbahaya yang dapat menggagalkan hasil tanaman yang menyebabkan gagal panen. Tikus dikenal dengan gelar, "ruti rowo" menggigit atau mengerat tanaman. Gigi tikus merupakan penyebab kerusakan. Oleh karena itu, setelah seremonial poke gaku telah ditetapkan secara turun temurun untuk "pire ngi'i te'u. Saat pire ngi'i te'u, semua masyarakat tidak diperkenankan untuk berada dalam rumah. Semua berada di jalan - jalan atau dibawah "lewu lele" (dibawah rindangan pohon beringin tua). Aktivitas memasak dalam rumah juga tidak diperbolehkan. Bahkan kegiatan kantor atau sekolah juga diliburkan, karena air juga tidak boleh disentuh, tidak boleh sentuh daun - daun mentah, tidak boleh mencuci muka atau mandi. Masayarakat akan makan "are po'o" yang diambil dari tempat gantung nggala masing - masing rumah adat.

Pire ta’i / singi te’u
Hampir sama dengan pire ngi'i te'u. Ta'i artinya tai. Singi artinya air kencing. Leluhur telah menetapkan hari berikutnya dilaksanakan pire ta'i / singi te'u. Karena dari cerita yang didapat dari zaman leluhur telah meyakini bahwa tikus meninggalkan jejak sebagai petunjuk kepada semua tikus lainnya melalui tai dan atau air kencing.

Pire Me’ko Mera
Me'ko adalah peralatan yang menyerupai lesung. Mera artinya warna merah. Secara simbolik me'ko terdapat dalam seremonial mengusir ata polo (suanggi) yang dilaksanakan setelah seremonial nggera kibi. Me'ko juga merupakan simbol dari keberadaan tanah ulayat Wologai yang telah diserah kuasakan menjadi 'Kopo Kasa".

Pire Me’ko Mite 
Mite artinya warna hitam. Secara umum pire me'ko mite sama dengan pire me'ko mera. Pada hari pire me'ko mite, dilaksanakan seremonial "poto me'ta.

Poto Meta je jala 
Poto artinya memasukan, me'ta artinya bahan makanan yang belum diolah yang baru diambil dari kebun.Je artinya sapu, jala artinya jalan. Sebuah ungkpan ada "sewa gara puli pire" adalah istilah yang dipakai untuk menerangkan bahwa masa pire sudah berakhir. Mosalaki yang bertugas untuk poto me'ta dan je jala mengambil sayur - sayuran dari kebun dan membawa masuk kedalam rumah adat. Setelah itu secara simbolik mosalaki tersebut menyampu dedaunan dibawah "lewu lele" atau pohon beringin lalu membakarnya. Pertanda semua ana kalo fai walu sudah diperbolehkan membakar yang dapat menimbulkan asal api dan diperbolehkan memasukan sayuran atau bahan makanan dari kebun. Sampai saat seremonial adat poto me'ta je jala ada satu pire yang belum diijinkan yakni tindakan menggali tanah. Pire koe tana (menggali tanah) akan berakhir saat poto nggala ke rumah adat yaitu 2 hari setelah poto me’ta. 

Inilah sebagian siklus seremonial adat yang ada di Wologai, yang tetap mempertahankan kekhasan lokal warisan leluhurnya. Sebutan orang timur atau ketimuran dikarenakan adat dan budayanya. Kiranya budaya Wologai tetap terjaga dan menjadi wisata budaya pilhan, baik lokal maupun mancanegara. Mari sama – sama melestarikannya. Dari Wologai untuk Detusoko, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan bangsa tercinta Indonesia.



Share: Youtube

Embung Kaleraga

Oleh Ludger S


Embung atau tandon air merupakan waduk yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan. Air yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber air di musim kemarau. Embung merupakan salah satu teknik pemanenan air (water harvesting) yang sangat sesuai pada ekosistem tadah hujan atau lahan kering dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak merata.  embung dapat digunakan untuk menahan kelebihan air dan menjadi sumberair irigasi pada musim kemarau. Secara operasional sebenarnya embung berfungsi untuk mendistribusikan dan menjamin kontinuitas ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak di musim kemarau.

Embung Kaleraga yang terletak di desa Nggumbelaka Kecamatan Lepembusu Kelisoke Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan sebuah embung yang dibangun diatas tanah warga yang dihibahkan kepada pemerintah desa Nggumbelaka melalui mosalaki (tua adat) Peibenga. 

Stefanus Reku Nggela K
epala Desa Nggumbelaka
 

Kepala Desa Nggumbelaka bapak Stefanus Reku Nggela yang sering di sapa kades Fanus menjelaskan sejak penjaringan aspirasi masyarakat melalui proses perencanaan partisipatif, telah disepakati untuk pembangunan sebuah embung desa yang berlokasi di Kaleraga. Embung tersebut dibangun dengan dana Bantuan Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, sambung Fanus. Diharapkan dengan dibangunnya embung desa Kaleraga, kedepannya warga masyarakat yang mempunyai lahan disekitar embung tidak mengalami kekurangan air untuk mengolah lahan pertanian yang ada juga untuk keperluan peternakan. Kades Fanus juga berharap setelah diserah terimakan embung Kaleraga kepada Bumdes Ndopo Lamba melaui manager Bumdes bapak Silvester Lopi, dapat dikelola dengan baik selain untuk para petani setempat, kiranya dapat menjadi salah satu aset desa yang bermafaat juga untuk pariwisata. Karena letak embung Kaleraga sangat dekat dengan wisata alam "Muru Dhe Kale". 

Baca juga : Lepembusu Kelisoke 

Embung memang salah satu pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakaat desa. Secara tidak langsung embung selain bermanfaat sebagai sumber tersedianya air dimusim hujan, diharapkan akan meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan dampak meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Dens Djandet,
Pendamping Desa Pemberdayaan

Dens Djandet, Pendamping Desa Pemberdayaan Nggumbelaka menjelaskan sesuai perencanaan awal embung Kaleraga memiliki 2 fungsi yakni ; sebagai sarana untuk menyuplai air menuju lahan pertanian warga / mengairi areal tanaman pertanian dan juga akan difungsikan sebagai kolam mancing karena akan ditaburi benih ikan. 

Menyadari akan pentingnya embung bagi masyarakat desa khususnya di Nggumbelaka lanjut Dens Djandet yang bernama lengkap Gaudensius Dupdu Jandet mengatakan untuk mengatasi kekurangan air di musim kemarau yang sering terjadi di dataran tinggi seperti di wilayah desa Nggumbelaka dan sekitarnya dalam pemenuhan kebutuhan akan air kepada lahan pertanian warga dan peternakan warna Embung Kaleraga merupakan solusi yang tepat. 

Sebagai Pendamping Desa Pemberdayaan, kedepannya Dens berharap pengelolaan embung tidak hanya sebatas pemenuhan akan kebutuhan air, tetapi juga sebagai lokasi pariwisata. Karena letak embung Kaleraga sangat dekat dengan "Muru Dhe Kale" (air terjun).

Silverter Lopi,
Manager Bumdes

Bapak Silvester Lopi, sebagai manager Bumdes Ndopo Lamba menyambut baik pembangunan Embung Kaleraga. Lopi mengatakan masih banyak hal yang harus ditata disekitar embung. Harus ada pengaman berupa pagar, harus ada lopo - lopo peristirahatan. Sejalan dengan pendapat Kades Fanus dan Pendamping Desa Dens Djandet, untuk mengembangkan embung Kaleraga menjadi lokasi pariwisata, sebagai kolam pemancingan dan memungkinkan untuk dijadikan sarana olahraga. 

Baik kades Fanus, Dens dan sdr Lopi mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang telah memberikan sejumlah dana untuk desa Nggumbelaka guna membangun embung Kaleraga. Terima kasih juga kepada Pemerintah Provinsi NTT, kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ende dalam hal ini Bupati Ende melalui Dinas Pertanian Ende dan DPMPD Ende yang telah memberikan Rekomendasi kepada desa Nggumbelaka untuk pembangunan embung Kaleraga. 

Khususnya kepada kepala Dinas DPMPD bapak Yohanis Neslaka, S.Sos.Msi, kades Fanus menceritakan, bersama tim kabupaten, tim kecamatan dan pendamping desa selalu memantau pembangunan embung Kaleraga baik melalui telepon maupun pantauan langsung ke lokasi. 

Semangat Kebersamaan untuk membangun desa. 
Share: Youtube

Nduaria

Oleh : Ludger S



Bpk Hendrikus Bu
Sebuah kampung dengan nama desanya juga sama, “Nduaria”. Letaknya tidak jauh dari ibukota  kabupaten Ende. Kira – kira satu setengah jam perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 50 KM arah timur dari Ende kita akan memasuki desa atau kampung Nduaria. Iklimnya yang khas burrrr dinginnya, menambah pesona Nduaria untuk dikunjungi. Yah! Setidaknya kita bisa berbagi cerita dengan orang Nduaria, merasakan keramahtamaan orang Nduaria dan menikmati hasil panenan yang ada di Nduaria.

Ine Tuteh Pharmantara
Banyak yang mengenal Nduaria karena pasar tradisional hariannya. Ada banyak jenis sayuran, banyak jenis buah yang bisa nikmati disana. Dengan mengeluarkan isi dompet beberapa ribu anda bisa membawa pulang jenis sayuran dan buah yang ada di Nduaria. Tentunya tidak sampe menguras isi dompet hehehehe. Terlihat jelas pasar tradisionalnya yang sudah dibangun sejak beberapa dekade lalu dipadati warga yang mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Ine Tuteh Pharmantara
Nduaria juga menyimpan kekhasan budaya lokal warisan leluhurnya. Salah satu kampung yang pegelaran budayanya sangat meriah itu termasuk Nduaria. Pesta tandak “gawi” di “tubu kanga” mencapai berlapis – lapis manusia. Sangat memanjakan mata bagi yang berkunjung ke Nduaria bila bertepatan dengan pesta adatanya. Nduaria juga mempunyai kekhasan tersendiri yang masih berada diperut bumi, perlu digali untuk keberlangsungan sejarah Nduaria ke gerasi berikutnya. Dari tatanan budaya, Nduaria termasuk salah satu kampung yang mempunya komponen ritual hampir lengkap. Ada tubu, kanga, keda, sa’o nggua, sa’o nai pare. Unsur – unsur budaya yang ada di Nduaria menggambarkan kemandirian sejarah sejak beberapa dekade bahkan beberpa abad lalu.

Selain budaya, hampir semua wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengenal Nduaria sebagai komunitas petani sayur dan buah. Ada banyak jenis sayuran dan buah yang ditanam oleh masyarakat di Nduaria. Hampir sedaratan pulau flores menjadikan Nduaria sebagai lumbung sayur, lumbung buah. Letak tanah di puncak dengan ketinggian kira – kira 700 – 800 dpl sangat mendukung para petani disana untuk bercocok tanam. Sayur dan buah tidak mengenal musim. Tersedia full januari sampai desember. Banyak mobil pick up dari berbagai daerah berseliweran di jalan – jalan tani seputran Nduaria. 

Ine Tuteh Pharmantara
Nah, bagi anda yang melewati jalur lintas flores baik dari timur ke barat atau sebaliknya, istirahat dan mampirlah sebentar di Nduaria. Perjalanan anda seperti ada yang kurang bila tidak sempat mampir di pasar tradisional Nduaria. So, bagi anda yang pernah mampir disana, pasti punya kenangan unik. Tentunya punya kesan kalau Nduaria itu merupakan ciri khas Lio Ende umumnya. Dari dialek bahasa, tata krama, sikap dan etika pergaulan pasti ada keunikan tersendiri. 

Sampai ketemu di Nduaria 😉

#Wologai
#budayawologai
#ludgerwologai
#puskesmaspeibenga
#pasarnduaria
#nduaria

Share: Youtube

Nijo Pire

oleh : Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai

Hutan Nijo Pire            Foto by Ludger S
Wisata alam yang tidak kalah indahnya, yang berada disekitar kampung Wologai diantaranya Nijo Pire. Nijo berarti buang ludah. Juga mengandung arti melafalkan mantra untuk penyembuhan oleh ata bhisa (dukun). Sedangkan pire berarti larangan yang mengandung makna jangan berbuat. Lokasinya sekitar 1 KM dari kampung adat Wologai. Begitu anda sampai di Wokonio (tempat galian pasir putih) anda akan memasuki pertigaan menuju Wologai, Detukeli, dan kampung daerah pantai utara lainnya. Tepat di tikungan gedung TK/Paud Bata Laki Wologai, dari jalan masuk bagian kiri, akan terlihat hutan yang tidak terlalu luas areanya.

Hutan Nijo Pire                   Foto by Ludger S
Konon menurut cerita dari tetua adat setempat, Nijo Pire merupakan pemukiman tua yang di tempat oleh seorang nenek bernama Ine Lanu. Masyarakat Wologai memahami Nijo Pire sebagai tempat sejarah keberadaan leluhur beberapa abad lalu. Diperkirakan seusia dengan kampung masa lampau Nuaria. 
Dua arti yang termuat pada nama Nijo Pire, yakni merupakan tempat yang dilarang untuk membuang ludah dan sebagai tempat yang dilarang untuk melakukan penyembuhan. Sampai sekarang, Nijo Pire merupakan tempat yang tidak sembarang didatangi oleh masyarakat Wologai. 
Kesan yang terasa jikalau berada di Nijo Pire, serasa di rimba raya. Padahal dekat dengan jalan raya.

Selain sejarah beradanya sebuah kampung tua, Nijo Pire menyimpan sejarah lainnya. Sejarah yang menerangkan kejadian memilukan. Beberapa tua adat menceritakan, dulu saat kampung adat masih dikampung tua Nuaria, saat mau mengerjakan Tubu Kanga, orang - orang pilihan mosalaki berencana mau mengambil Tubu (tiang batu yang dipancang di tengah - tengah kanga) di Nijo Pire. Saat mau mengangkat tubu, satu diantara masyarakat tersebut mati ditempat. Akhirnya batu tubu tersebut juga tidak diambil, diletakan ditempat semula. Orang Wologai meyakini kejadian tersebut merupakan peristiwa sedih karena alam dan leluhur tidak menginginkan batu tersebut diambil atau batu tubuh tidak boleh diambil dari Nijo Pire.

Hutan Nijo Pire         Foto by Ludger S





Share: Youtube

Logoweki

Oleh : Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai



Muru Logo Weki      Foto by Yuven Hary
Kalau yang sering lewati jalur Ende -ke Maumere so pasti akan melewati tempat yang sangat indah, masih tampak zaman old serta terkesan mistic. Nama tempatnya Logoweki. Secara harafiah Logoweki mengandung makna sebuah tempat yang pernah ada kejadian seorang yang bernama Weki bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri ke jurang.

Muru Lowo Sobe        foto by Yuven Hary
Logoweki juga mengandung makna menjatuhkan diri ke jurang. Logo artinya buang diri, weki artinya badan atau seseorang yang bernama weki.

Kalau anda dari Ende menuju Maumere, tepatnya di KM ..... anda akan memasuki lembah yang cukup dalam. Perlahan anda akan melihat tebing dengan banyak bebatuan cadas yang tersusun rapih. Di Logoweki banyak terdapat batu yang berbentuk pipih / ceper. Zaman old, banyak wilayah dari Lio mengambil batu dari Logoweki untuk di jadikan batu kubur.

Muru Logo Weki        foto by Themmy 
Tepat di tikungan ada sungai Logoweki dengan jembatan yang dibangun dari zaman Belanda. Ada beberapa pohon beringin besar yang menambah kesan mistic. Berhentilah sejenak, masuk lebih kedalam lagi. Anda akan di suguhkan pemandangan luar biasa. 
Muru Logoweki

Ada tiga muru atau air terjun yang berada di Logoweki. Ketika kita masuk bagian kanan akan terlihat air terjun yang berasal dari sungai Lowosobe yang berhulu di gunung Wolodo. Kita masuk lebih dalam lagi, ada dua air terjun yang sangat dalam. Yang pertama masih bisa dijangkau. Lebih ujung lagi sudah dijangkau karena sangat tinggi tebingnya dan berada diantara bebatuan cadas atos yang sangat licin. Hanya orang - orang dengan ketrampilan khusus dan berani yang bisa menjangkau kesana.

Air terjun yang kadang memancarkan pelangi lokal ini sangat membuat pengunjung terlena. Airnya yang sangat sejuk, walaupun dekat dengan jalan raya anda tidak akan mendengar hiruk pikuk kendaraan, anda benar - benar terbawa ke suasana alam. Ada beberapa jenis burung yang selalu berkicau dan bersarang di sana.

Watu Lewu Le


Watu Lewa Le     foto by Yuven Hary
Saat anda memasuki Logoweki, pada bagian kiri ada sebuah pemandangan indah lainnya. Anda akan terkagum - kagum dan tidak percaya akan kekhasan alamnya. Watu Lewu Le, sebuah batu dengan ukuran sangat besar yang berada diatas ketinggian. Batu dengan diameter sekitar 10 m, seperti di letakan di dua batu penyangga. Batu besar bergoyang - goyang ketika ditiup angin. Takut, ngeri sekaligus takjub melihat kekhasan alamnya. Sesuai dengan namanya, Watu artinya batu, lewu artinya kolong, le artinya bergoyang - goyang. Di Watu Lewu Le ini pada saat tertentu tetua adat melakukan ritual sesajian terhadap berbagai macam jenis ular yang berada disana. Menurut cerita ada banyak jenis ular berada disana, ada yang sampai berkepala 7. Cukup dengan membawa seekor anak ayam yang baru menetas, sejumlah ular akan datang dan menghampiri anda untuk mendapatkan anak ayam tersebut. Hanya untuk orang yang bernyali yang bisa melakukan itu, kalau saya angkat tangan deh 😂

Nah, bagi yang suka berpetualang silahkan berkunjung ke Logoweki. Atau jikalau anda sedang dalam perjalan dari Ende ke Maumere, istirahatlah sejenak di Logowki. 



















Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook