-
Budaya Lio Ende slide 1 title
Susu nggua maE duU nama bapu maE dute - www.gerunioncreator.web.id.
-
Budaya Lio Ende slide 2 title
PaA loka rewu rera leka duA bapu ata mata - www.gerunioncreator.web.id.
-
Budaya Lio Ende slide 3 title
Roe sai ote we piki menga eo monge - www.gerunioncreator.web.id.
-
Budaya Lio Ende slide 4 title
Nggoe menga no wiwi lamba menga no lema - www.gerunioncreator.web.id.
-
Budaya Lio Ende slide 5 title
Ni saripi tau wini tuke sawole ngara du nggonde - www.gerunioncreator.web.id.
Back to Village part1
The Exotic Traditional Wologai Village
oleh : Ludger S
RUMAH – RUMAH ADAT
NGGUA KETI UTA
“Keti uta” atau pesta adat syukuran atas panenan kebun ladang. Biasa dilaksanakan bulan nduru (april), more (mei). Keti artinya memetik dan uta artinya sayur - sayuran. Saat keti uta semua hasil panenan ladang seperti pare (padi), uta bue (sayur kacang – kacangan), timu (ketimun / timun), uta besi (sayuran labu), jawa (jagung) dan jenis tanaman lainnya, dijadikan simbol seremonial dan ritual adat. Keti uta merupakan ritual “ka uta muri” atau makan makanan hasil ladang yang baru dipanen. Sebelum pelaksanaan “nggua keti uta” semua masyarakat adat Wologai tidak diperkenankan untuk panen hasil kebun. Saat nggua keti uta, ungkapan adat yang menyatakan silahkan panen hasil ladang “sewa gara puli pire” atau semua larangan dipulihkan dan terbayar dengan ritual “keti uta”. Alat kesenian lokal seperti nggo (gong), lamba (beduk) tetap dimainkan tetapi tidak dilakukan gawi.
NGGUA RIA
Secara harafiah nggua berarti pesta syukuran. Ria berarti besar. Nggua ria berarti syukuran yang dilaksanakan dengan meriah dan merupakan puncak terbesar dalam pesta syukuran adat di Wologai. Dilaksanakan sekali setahun pada bulan jelu jena/ba topo taka (september) atau bara (oktober).
Para leluhur telah memberi semangat dengan pesan yang disampaikan secara lisan, “susu nggua ma’e du’u nama bapu ma’e dute. Susu nggua du tana noko nama bapu du watu konggo”. Sebutan ini mengandung makna, teruslah melaksanakan seremonial dan ritual adat jangan berhenti disuatu masa tetapi teruslah melakukan seremonial sampai kiamat.
Tahap demi tahap yang akan dilaksanakan menjelang, hari puncak nggua sampai pasca nggua ria meliputi :
Wari Pare
Wari artinya jemur. Pare artinya padi. Pare isi artinya beras. Padi yang dijemur menggunakan te’e leba (tikar yang terbuat dari boro / lontar). Setiap rumah adat dengan klannya masing – masing akan melaksanakan wari pare secara berurutan dari sa’o bhisu koja dan seterusnya. Setelah semua selesai wari pare dilanjutkan dengan “dhu pare” (tumbuk padi). Sejak hari pertama wari pare, sbeberapa pire (larangan) diberlakukan. Seperti “api nu pire” atau tidak boleh bakar membakar yang menimbulkan asap, menggali tanah dalam arti mencabut rumput atau kerja dikebun, tidak boleh berkelahi, tidak boleh ketahuan ada luka yang mengeluarkan darah. Semua pelanggaran dikenakan denda berupa, “poi”. Denda adat yang dikenakan kepada pelanggar berupa hewan seperti babi, sapi, kuda atau kerbau sesuai dengan tingkat kesalahannya. Waktu yang dibutuhkan untuk jemur padi 1 minggu.
Sowo Dhu Kibi
Ibu - ibu sedang sowo kibi |
Rase
Pare isi (beras) sudah tersedia, kibi (emping) juga sudah tersedia. Selanjutnya akan dilaksanakan “rase pare rase kibhi”. Rase diartikan membuat jadi padat kedalam suatu wadah. Rase pare berarti memasukan beras kedalam mbola (bakul kerjaninan lokal) dipadatkan hingga penuh dan rata dengan bibir mbola. Rase kibi brearti memasukan kibi kedalam bakul hingga penuh, padat dan meluap keluar. Setelah rase, pare dan kibi dimasukan kedalam "nggala" (tempat menyimpan khusus pare dan kibi yang terbuat dari ancaman lontar yang dibalut dengan anyaman bamboo).
Seremonial sare pare di sa'o Bhius Koja |
Setelah rase, hari berikutnya dilanjutkan dengan “dhawe kanga” (bersihkan kanga) dari rumput, ilalang yang ada disekitar kanga. Selain mosalaki yang mempunyai tugas dan hak untuk dhawe kanga, yang lain tidak diperbolehkan.
Nai Keu
Nai artinya naik atau panjat, keu artinya pinang. Nai keu atau panjat pinang. Setiap rumah adat mengutus putranya masing – masing bersama dengan utusan dari rumah adat lain ke lokasi panjat pinang. Ekoleta merupakan tempat untuk dilaksanakan panjat pinang. Seremonial panjat pinang merupakan simbol kebesaran dari masing – masing rumah adat. Ada sebutan “keu no kinga, uwi no kulu” yang berarti setangkai pinang dan sebonggol utuh umbi – umbian. Ungkapan ini melambangkan bahwa “sa’o nggua” yang mempunyai “keu kinga uwi kulu” merupakan rumah adat utama.
Sremonial Naik Keu |
Setibanya di Wologai, pinang bawaan rombongan pemanjat pinang tidak langsung di bawa masuk ke rumah adat masing – masing. Tetapi digantung di sebuah pohon disamping gerbang masuk kampung. Digantung pada sebuah ge’ra atau bambu yang masih ada tangkainya yang dalam bentuk tangga. Ada orang khusus yang bertugas untuk menggantung pinang dan digantung secara berurutan. Pinang disimpan ditempat gantungan sementara sampai keesokan harinya. Malamnya ada kegiatan “pa’i keu” atau menjaga pinang sampai pagi dengan gawi bersama didepan pohon beringin besar, dipentaskan juga permainan “rengga leke” dan permainan lainnya.
Poto Keu
Poto artinya memasukan, keu artinya pinang. Poto keu berarti mengambil dan memasukan pinang ke dalam masing – masing rumah adat sesuai urutan siapa yang pertama, kedua dan seterusnya. Saat “poto keu” semua orang yang hadir tidak boleh mengeluarkan suara. Hanya mata yang memandang. Yang melanggar akan dikenakan “poi”.
Wa’u Tosa
Setelah dilaksanakannya acara “poto keu” kerumah adat utama (sa’o ria/sa’o bhisu koja) dan lima rumah adat lainnya yang mempunyai “keu uwi” selanjutnya dilaksanakan acara “wa’u tosa”. Secara harafiah ungkapan “wa’u tosa” berasal dari kata “wa’u” (keluar dari dalam rumah) dan “tosa” (bersihkan padi yang ditumbuk menjadi beras).
Jadi seremonial “wa’u tosa” adalah ritual menumbuk padi hingga menjadi beras oleh “ine ria fai ngga’e” (ibu dari semua ibu) dan ata ine di sa’o ria berjumlah tiga orang.
Yang sangat menarik dari seremonial sekaligus ritual “wa’u tosa” adalah padi yang ditumbuk hingga menjadi beras hanya dengan cara menyentuh bukan dengan cara hentakkan keras, sampai menjadi beras. Beberapa “ine dan ine ria fai ngga’e” keluar dari rumah adat utama dengan mengenakan baju hitam khas baju adat Lio umumnya didahului oleh mosalaki pu’u, ketempat akan dilaksanakan “wa’u tosa” disebelah kanan rumah adat.
Seremonial Wa'u Tosa |
Gawi Sia
Gawi adalah tarian tandak yang dilaksanakan di kanga, saling berpegangan tangan dan membentuk lingkaran yang dipandu dengan nyanyian oleh seorang penyanyi yang dikenal dengan sebutan, “ata sodha” dan disemangati oleh eko ulu, ana rusa, suke ulu dan naku ae.
Gawi Leja |
Eko Ulu adalah seseorang yang menjadi komando untuk memacu semangat peserta gawi. Ulu berarti hulu, memegang rumbai yang terbuat dari bulu binatang atau ekor kerbau atau sapi. Eko ulu harus diperankan oleh yang sudah terbiasa, harus seorang laki – laki.
Ana rusa adalah seseorang penyemangat gawi tapi tidak saling bergandengan tangan seperi eko ulu. Seorang “ana rusa” akan berjalan mengelilingi lingkaran peserta gawi sambil memberi semangat dengan gerakan spontannya.
Suke eko adalah beberapa orang yang berada dekat eko ulu yang bergerak meliuk – liuk mengikuti langkah seorang eko ulu. Gerakan mereka terlihat rapih, seirama dan selalu mengikuti liukan eko ulu. Biasanya yang dekat dengan eko ulu adalah para mosalaki.
Naku ae adalah sekelompok orang dengan semangat muda yang melakukan hentakan keras, lompat – lompat menambah semangat dan meramaikan gawi.
Gawi Sia (siang) adalah tarian gawi yang dilaksanakan malam hari. Kenapa disebut gawi sia atau siang? Karena tarian gawi yang ditarikan pada malam hari harus sampai mala hari terbit. Yang menjadi khas gawi di kangan Wologai adalah tidak boleh gandeng antara perempuan dan laki – laki. Perempuan berada diputaran bagian belakang yang bermakna sebagai pendukung kegiatan laki – laki. Yang harus diperhatikan saat gawi adalah tidak memakai alas kaki, kalau ada barang yang jatuh ke tanah tidak boleh langsung diambil oleh pemilik barang, tetapi disampaikan ke mosalaki.
Bagi orang yang baru pertama kali mengikuti tarian gawi di Wologai wajib mengelilingi tubu sebanyak 7 (tujuh) putaran.
Gawi Leja
Leja artinya siang atau hari. Gawi leja berarti tarian gawi yang dilakukan pada siang hari. Setelah gawi semalaman sampai matahari terbit, peserta gawi diberi waktu untuk istirahat sampai dimulainya gawi sia. Sebelum gawi sia, biasa dipentaskan tarian “wanda pa’u” tarian selendang oleh ibu – ibu. Gawi sampai menjelang malam. Ada beberapa ritual adat yang dilaksanakan sebelum gawi leja yaitu “nggera tego bani”. Ini khusus mosalaki.
Nata Keu
Setelah berhenti gawi, semua mosalaki dari masing – masing klan adat melakukan ritual “nata keu” atau makan sirih pinang dirumah adat masing – masing. Ritual ini memberi petunjuk banyak terlahir anak perempuan atau laki – laki. Ini terlihat dari pinang yang dibelh dua dan dijatuhkan kebawah kolong rumah. Kalau pinang terbuka bagian isinya menghadap keatas berarti banyak terlahir anak perempuan. Kalau pinang yang jatuh dan isinya menutup tanah makan akan terlahir banyak anak laki – laki. Bagi yang mencari anak perempuan atau anak laki – laki diberikan pinang yang sesuai dengan anak yang dicari, laki – laki atau perempuan.
Seremonial Nata Keu |
Nggera Kibi
Setelah gawi leja, hari berikutnya “pire ae uwi”. Semua aktivitas pribadi tidak diperbolehkan. Ramai – ramai berkumpul dikanga untuk tarian wanda pa’u. Keeseokan harinya akan dilaksanakan “nggera kibi”.
Nggera artinya bagi – bagi, Kibi artinya emping beras. Nggera kibi berarti bagi – bagi emping yang dilaksanakan di kanga oleh mosalaki yang berhak membagi – bagikan kibi. Waktu pelaksanaanya "be'wo" (setelah matahari terbenam). Semua kibi yang disimpan di “nggala” sejak “rase” dari masing – masing rumah adat dibawah ke kanga dikumpulkan serta disatukan pada mbola (bakul anyaman lokal). Kibi dari nggala masing – masing rumah adat tidak boleh dituang sampai habis. Harus ada sisanya. Menurut kepercayaan lokal itu merupakan roh kibi penarik rejei setahun kedepan. Setelah semua sudah terkumpul ada mosalaki yang berhak membagikannya kembali kepada semua “ana kalo fai walu” yang ada saat itu. Pada saat nggera kibi, perempuan tidak diperkenankan hadir di kanga. Hanya laki – laki, baik yang muda ataupun yang tua yang boleh hadir di kanga.
Po’o Te’u
Ini biasanya dilaksanakan tiga hari setelah "Gawi Leja" (main tandak pada siang hari). Kalau gawi leja jatuh pada hari minggu maka seremonial Po’o Te’u dilaksanakan pada hari rabu, setelah nggera kibi hari selasa kemarinnya.
Secara harafiah po’o te’u berasal dari kata “po'o” yang artinya memasak nasi dengan menggunakan bambu dan “te'u” artinya tikus. Pada umumnya sebagian besar orang Lio makan tikus yang berada disawah atau diladang. Apakah seremonial po’o te’u yang dimasak adalah daging tikus? Jawabannya, bukan tikus yang dimasak dalam bambu. Yang dimasak dengan bambu ‘po’o” adalah beras yang diambil dari rumah adat (sa'o nggua) yang telah disimpan dalam nggala sejak enam hari sebelum po'o atau tepatnya saat seremonial "rase pare". Saat po'o te'u, yang bisa di-po'o bersama beras adalah "kura" (udang).
Ibu - ibu sedang mengisi bambu dengan beras, "Po'o Te'u |
Sermonial Po'o Te'u |
Rego dan Poke Gaku
Rego artinya menggoyang. Gaku adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu. Rego gaku merupakan ritual menggusir tikus setelah po’o te’u dengan menggoyangkan alat musik yang terbuat dari bambu diiringi nyanyian secara bersama – sama. Nyanyian “rego gaku” dikenal dengan sebutan “oro gaku”. Ritual oro gaku pada hari po’o te’u dilaksanakan sekali di area “kanga leko” lowo po’o. Sebutan kanga leko, karena tidak ada “tubu” ditengah – tengah kanga. Setelah selesai gawi bersama rombongan “oro gaku” meninggalkan lowo po’o dengan “gaku” masing – masing. Mereka akan menginap disalah satu rumah di kampung Nuabaru. Dini hari mereka mulai menyanyikan lagu diiringi gaku. Beberapa tempat yang telah ditetapkan secara turun temurun menjadi perhentian. Ditempat tersebut mereka menyanyikan lagu diiringi alat musik gaku dengan irama cepat mengimbangi nyanyian oro. Sedangkan ketika mereka sedang berjalan, tidak disertai nyanyian hanya memainkan alat musik gaku dengan tempo lambat atau sesekali hentakan. Semua warga di masing – masing rumah bangun dan melakukan kebasan – kebasan diseputaran rumah untuk mengusir tikus dengan kata – kata, “lau...lau...lau.... (kesana...). Begitu mereka sampai di seputaran kampung adat, mereka mengelingi kampung adat sampai tujuh kali. Setelah itu, mereka keluar melalui gerbang belakang kampung menuju tempat untuk melempar gaku. Tempat untuk melempar gaku di sebut dengan nama, “poke gaku”. Di tempat poke gaku semua gaku yang ada dilempar ke sebuah pohon yang dalam bahasa lokal di namakan “pu’u seti” (pohon seti). Bagi orang yang saat melempar gaku dan gaku yang dilempar tertancap didahan pohon seti, diyakini memperoleh kesuksesan.
Pire
Pire sebuah kata yang berarti larangan. Sebenarnya pire sudah dimulai sejak "wari pare". Pire tersebut berupa tidak boleh menggali tanah atau pekerjaan yang sifatnya mencungkil tanah, tidak boleh melakukan pembakaran yang menimbulkan asap api. Pire tersebut belum dilaksanakan secara menyeluruh di setiap tanah ulayat adat. Pire yang harus dilaksanakan secara menyeluruh disetiap tanah ulayat adat Wologai dimulai sejak selesai acara "rego gaku, poke gaku". Secara berurutan pire dimulai dari :
Pire Ngi’i te’u
Pire artinya larangan, ngi'i artinya gigi dan te'u artinya tikus. Pire ngi'i te'u secara lurus diterjemahkan larangan gigi tikus. Tikus dianggap hama yang sangat berbahaya yang dapat menggagalkan hasil tanaman yang menyebabkan gagal panen. Tikus dikenal dengan gelar, "ruti rowo" menggigit atau mengerat tanaman. Gigi tikus merupakan penyebab kerusakan. Oleh karena itu, setelah seremonial poke gaku telah ditetapkan secara turun temurun untuk "pire ngi'i te'u. Saat pire ngi'i te'u, semua masyarakat tidak diperkenankan untuk berada dalam rumah. Semua berada di jalan - jalan atau dibawah "lewu lele" (dibawah rindangan pohon beringin tua). Aktivitas memasak dalam rumah juga tidak diperbolehkan. Bahkan kegiatan kantor atau sekolah juga diliburkan, karena air juga tidak boleh disentuh, tidak boleh sentuh daun - daun mentah, tidak boleh mencuci muka atau mandi. Masayarakat akan makan "are po'o" yang diambil dari tempat gantung nggala masing - masing rumah adat.
Pire ta’i / singi te’u
Hampir sama dengan pire ngi'i te'u. Ta'i artinya tai. Singi artinya air kencing. Leluhur telah menetapkan hari berikutnya dilaksanakan pire ta'i / singi te'u. Karena dari cerita yang didapat dari zaman leluhur telah meyakini bahwa tikus meninggalkan jejak sebagai petunjuk kepada semua tikus lainnya melalui tai dan atau air kencing.
Pire Me’ko Mera
Me'ko adalah peralatan yang menyerupai lesung. Mera artinya warna merah. Secara simbolik me'ko terdapat dalam seremonial mengusir ata polo (suanggi) yang dilaksanakan setelah seremonial nggera kibi. Me'ko juga merupakan simbol dari keberadaan tanah ulayat Wologai yang telah diserah kuasakan menjadi 'Kopo Kasa".
Pire Me’ko Mite
Mite artinya warna hitam. Secara umum pire me'ko mite sama dengan pire me'ko mera. Pada hari pire me'ko mite, dilaksanakan seremonial "poto me'ta.
Poto Meta je jala
Poto artinya memasukan, me'ta artinya bahan makanan yang belum diolah yang baru diambil dari kebun.Je artinya sapu, jala artinya jalan. Sebuah ungkpan ada "sewa gara puli pire" adalah istilah yang dipakai untuk menerangkan bahwa masa pire sudah berakhir. Mosalaki yang bertugas untuk poto me'ta dan je jala mengambil sayur - sayuran dari kebun dan membawa masuk kedalam rumah adat. Setelah itu secara simbolik mosalaki tersebut menyampu dedaunan dibawah "lewu lele" atau pohon beringin lalu membakarnya. Pertanda semua ana kalo fai walu sudah diperbolehkan membakar yang dapat menimbulkan asal api dan diperbolehkan memasukan sayuran atau bahan makanan dari kebun. Sampai saat seremonial adat poto me'ta je jala ada satu pire yang belum diijinkan yakni tindakan menggali tanah. Pire koe tana (menggali tanah) akan berakhir saat poto nggala ke rumah adat yaitu 2 hari setelah poto me’ta.
Inilah sebagian siklus seremonial adat yang ada di Wologai, yang tetap mempertahankan kekhasan lokal warisan leluhurnya. Sebutan orang timur atau ketimuran dikarenakan adat dan budayanya. Kiranya budaya Wologai tetap terjaga dan menjadi wisata budaya pilhan, baik lokal maupun mancanegara. Mari sama – sama melestarikannya. Dari Wologai untuk Detusoko, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan bangsa tercinta Indonesia.
Embung Kaleraga
Embung atau tandon air merupakan waduk yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan. Air yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber air di musim kemarau. Embung merupakan salah satu teknik pemanenan air (water harvesting) yang sangat sesuai pada ekosistem tadah hujan atau lahan kering dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak merata. embung dapat digunakan untuk menahan kelebihan air dan menjadi sumberair irigasi pada musim kemarau. Secara operasional sebenarnya embung berfungsi untuk mendistribusikan dan menjamin kontinuitas ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak di musim kemarau.
Embung Kaleraga yang terletak di desa Nggumbelaka Kecamatan Lepembusu Kelisoke Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan sebuah embung yang dibangun diatas tanah warga yang dihibahkan kepada pemerintah desa Nggumbelaka melalui mosalaki (tua adat) Peibenga.
Stefanus Reku Nggela K epala Desa Nggumbelaka |
Kepala Desa Nggumbelaka bapak Stefanus Reku Nggela yang sering di sapa kades Fanus menjelaskan sejak penjaringan aspirasi masyarakat melalui proses perencanaan partisipatif, telah disepakati untuk pembangunan sebuah embung desa yang berlokasi di Kaleraga. Embung tersebut dibangun dengan dana Bantuan Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, sambung Fanus. Diharapkan dengan dibangunnya embung desa Kaleraga, kedepannya warga masyarakat yang mempunyai lahan disekitar embung tidak mengalami kekurangan air untuk mengolah lahan pertanian yang ada juga untuk keperluan peternakan. Kades Fanus juga berharap setelah diserah terimakan embung Kaleraga kepada Bumdes Ndopo Lamba melaui manager Bumdes bapak Silvester Lopi, dapat dikelola dengan baik selain untuk para petani setempat, kiranya dapat menjadi salah satu aset desa yang bermafaat juga untuk pariwisata. Karena letak embung Kaleraga sangat dekat dengan wisata alam "Muru Dhe Kale".
Baca juga : Lepembusu Kelisoke
Embung memang salah satu pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakaat desa. Secara tidak langsung embung selain bermanfaat sebagai sumber tersedianya air dimusim hujan, diharapkan akan meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan dampak meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Dens Djandet, Pendamping Desa Pemberdayaan |
Dens Djandet, Pendamping Desa Pemberdayaan Nggumbelaka menjelaskan sesuai perencanaan awal embung Kaleraga memiliki 2 fungsi yakni ; sebagai sarana untuk menyuplai air menuju lahan pertanian warga / mengairi areal tanaman pertanian dan juga akan difungsikan sebagai kolam mancing karena akan ditaburi benih ikan.
Menyadari akan pentingnya embung bagi masyarakat desa khususnya di Nggumbelaka lanjut Dens Djandet yang bernama lengkap Gaudensius Dupdu Jandet mengatakan untuk mengatasi kekurangan air di musim kemarau yang sering terjadi di dataran tinggi seperti di wilayah desa Nggumbelaka dan sekitarnya dalam pemenuhan kebutuhan akan air kepada lahan pertanian warga dan peternakan warna Embung Kaleraga merupakan solusi yang tepat.
Sebagai Pendamping Desa Pemberdayaan, kedepannya Dens berharap pengelolaan embung tidak hanya sebatas pemenuhan akan kebutuhan air, tetapi juga sebagai lokasi pariwisata. Karena letak embung Kaleraga sangat dekat dengan "Muru Dhe Kale" (air terjun).
Silverter Lopi, Manager Bumdes |
Bapak Silvester Lopi, sebagai manager Bumdes Ndopo Lamba menyambut baik pembangunan Embung Kaleraga. Lopi mengatakan masih banyak hal yang harus ditata disekitar embung. Harus ada pengaman berupa pagar, harus ada lopo - lopo peristirahatan. Sejalan dengan pendapat Kades Fanus dan Pendamping Desa Dens Djandet, untuk mengembangkan embung Kaleraga menjadi lokasi pariwisata, sebagai kolam pemancingan dan memungkinkan untuk dijadikan sarana olahraga.
Baik kades Fanus, Dens dan sdr Lopi mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang telah memberikan sejumlah dana untuk desa Nggumbelaka guna membangun embung Kaleraga. Terima kasih juga kepada Pemerintah Provinsi NTT, kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ende dalam hal ini Bupati Ende melalui Dinas Pertanian Ende dan DPMPD Ende yang telah memberikan Rekomendasi kepada desa Nggumbelaka untuk pembangunan embung Kaleraga.
Nduaria
Bpk Hendrikus Bu |
Ine Tuteh Pharmantara |
Ine Tuteh Pharmantara |
Ine Tuteh Pharmantara |
Nijo Pire
Hutan Nijo Pire Foto by Ludger S |
Hutan Nijo Pire Foto by Ludger S |
Logoweki
Muru Logo Weki Foto by Yuven Hary |
Muru Lowo Sobe foto by Yuven Hary |
Muru Logo Weki foto by Themmy |
Watu Lewa Le foto by Yuven Hary |