berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Ba’nge Du’a

ditulis oleh : Ludger S
Narasumber : Sebastianus Kaki, SP






Babo (opa) Ba’nge Du’a  merupakan seorang mosalaki dengan sebutan lain “suke laki pama ongga” yang mendiami dikampung Wolobewa berada di dusun Wolobewa desa Wologai Timur KM. 43 Kecamatan Lepembusu Kelisoke (Lepkes) Kabeupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. 
Ba’nge Du’a berasal dari Faunaka, berasal dari Wologai. Dia menikah dengan anak pemilik “Boge Ndora”  dari kampung Wolobewa.  Sejak menikah dengan anak dari pemilik “boge ndora” Ba’nge Du’a tinggal dan menetap di kampung Wolobewa. 
Suatu ketika ada sengketa ulayat dan terjadi peperangan dengan ulayat tetangga. Semua aji ana dan mosalaki siap hijrah ke tempat lain. Disinilah bermula “suke laki pama ongga” diperankan. Ba’nge Du’a memediasi dan berhasil mendamaikan sengketa dan peperangan yang terjadi. 
Babo Ba’nge Du’a mempunyai rumah untuk seremonial adat, “Sa’o (rumah) Ba’nge Du’a. rumahnya terletak dibagian utara tubu kanga dan kuwu (semacam keda). Setelah Ba’nge Du’a, beberapa orang garis keturunannya menggantikan peran mosalaki yang diwariskannya sampai ke bapak Alex Siso.


Bpk Alex Siso
Bapak Alexander Siso Tibo Kaki yang sering disapa Ame Alex Siso adalah penerus dan pemimpin klan sa’o Ba’nge Du’a digenerasi yang kesekiannya. Semasa hidupnya beliau sangat menjunjung tinggi tentang adat istiadat. Dalam kesehariannya beliau sangat memegang teguh norma adat termasuk unsur – unsur kebudayaan. Beliau meninggal di usia yang sangat uzur, 90 an tahun. Beliau juga sering menjadi narasumber budaya sekitarnya dan juga menjadi narasumber apabila terjadi sengketa tanah ulayat disekitranya. 

Bapak Sebastianus Kaki selanjutnya yang berperan sebagai mosalaki “suke laki pama ongga” menggantikan bapak Alex Siso penerima tongkat estafet dari Ba’nge Du’a. segera setelah menerima tongkat estafet tersebut, Pak Sebas sapaan sehari – harinya langsung dihadapi dengan tugas yang sangat berat. Rumah Ba’nge Du’a saatnya harus dibangun kembali. Banyak prosesi adat yang harus dilaksakan sebelum pembangunan ruamh, selama pembangunan rumah dan setelah pembangunan rumah adat. Proses pembangunan yang membutuhkan biaya, tenaga menjadi tantangan tersendiri yang mau tidak mau menjadi tanggungjawab yang harus dijalani dan dihadapi. 


Rumah adat yang terbuat dari kayu hutan lokal, beratapkan alang –alang dan atau ijuk. Semua aji ana dalam rumah dikerahkan. Semua mendapat tugas dan peran masing – masing dalam pelaksanaan pembangunan. Mendatangkan kayu dengan jenis kayu khas dan khusus didahului dengan seremonial adat. Setelah kayu dan bahan lainnya tersedia, rumah siap dikerjakan. Acara pembongkaran rumah adat harus didahului prosesi sereminial pemindahan, “tenda teo, watu wisu lulu, mbola, nggala, sobe, kiko pare bara” dan pusaka lainnya ketempat sementara yang telah disiapkan. Didahulu dengan sesajian kepada leluhur, pembongkaran, pembangunan sampai dengan seremonial, “ka muku mu’u tewu” (acara masuk rumah). 

Leka ola welu (pas orangnya), akhirnya rumah “Ba’nge Du’a selesai dibangun. Selanjutnya tinggal “loru mbe’ra” (menggantikan alang – alang dan atau ijuk). 

Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook