berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Mengenal Sastra Lio di Wologai

oleh : Ludger S


Kabupaten Ende mempunyai etnik Lio dan etnik Ende. Kedua suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek / logatnya, baik bahasa sehari-hari. Ada pula bahasa adat dalam ungkapan kata-kata adat maupun berbentuk lagu mengandung seni sastra yang sangat tinggi yang dipertahankan secara turun temurun hingga kini. Ungkapan kata-kata adat hanya digunakan pada saat berbagai acara adat maupun acara ritual/seremonial adat dan acara-acara lainnya yang berkaitan dengan adat.

Adapun seni sastra yang ada di Lio Wologai diantaranya:


Sua
Sua merupakan ungkapan adat yang memiliki kekuatan tertentu dari arti kata yang diucapkan. 
Sua juga merupakan lafalan doa atau kutukan terhadap sasaran baik makluk hidup atau benda mati yang diucapkan karena situai dan emosi. Sua bisa diartikan sebagai memohon kekuatan tertentu kepada alam dengan maksud dan tujuan sesuai keinginan yang memohon. Sua juga bisa diartikan mantra adat yang diungkapkan lewat kata - kata. 
Beberapa jenis sua yang sering diucapkan dalam keseharian "ata (orang) Wologai" :

  • Sua Sasa
Ungkapan atau mantra adat yang timbul dari ekpresi senang, bahagia kepada alam dan leluhur karena keberhasilan tertentu. 
Contoh sua sasa : 
More Ngga'e gheta lando leja Du'a ghale we'na tana eo pati rewa bo'o. Artinya : Pujilah Tuhan ditengah matahari, Dewa di bawah pusat tanah yang telah memberikan panenan berlimpah.

  • Sua Somba
Ungkapan atau mantra adat yang timbul akibat ada kejadian yang menjengkelkan. Selalu dalam bentuk kutukan yang mendatangkan petaka bagi sasaran sua. 
Contoh sua somba :
mba - mba mata, lora - lora bopa. Yang bermakna mengutuk sesorang atas tindakan tertentu. Bisa karena durhaka, bisa karena pencurian dan kejadian menjengkelkan lainnya.

  • Soa Sola
Ungkapan atau mantra adat dalam bentuk permohonan dalam kegiatan / usaha suapaya memperoleh hasil yang berlimpah atau memuaskan.
Contoh sua sola  :
Tipo ji'e - ji'e, pama pawe - pawe : mohon perlindungan. 
Buru ma'e sapu'u kaka ma'e sabege : mohon kesehatan prima
Nge bhondo be'ka kapa : beranak cucu yang banyak
dan lain sebagainya

Bhea
Merupakan ungkapan yang menyatakan kebesaran dalam klan tertentu yang mengungkapkan kebesaran klannya terhadap klan lainnya. Bhea dilakukan pada saat - saat tertentu seperti pembangunan ke'da, menerima tamu istimewa tertentu. Bhea dipentaskan bersama dengan woge (tari parang) dan diringi nggo lamba (musik lokal).

Nijo
Mantra yang diucapkan dalam proses penyembuhan suatu penyakit. Nijo biasa dimantrakan oleh ata nipi (dukun) untuk penyembuhan sakit penyakit. Nijo selalu identik dengan ru’u (tanda larang mengambil) atau penyakit lainnya.

Nu Nange
Cerita rakyat yang melegenda dari waktu ke waktu. Beberapa legenda yang selalu ceritakan dari generasi ke generasi seperti ; ana kalo (yatim piatu), otoleke (legenda air bah) dan lain sebagainya. 


Lota
Merupakan tulisan yang dituliskan pada daun lontar (wunu koli) dalam bahasa dan tulisan dulu. Hal ini merupakan satu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang senang mendengarnya. Sayangnya, banyak lota yang telah dijual kepada para kolektor. Sehingga jarang dan hampir tidak pernah tersedia lagi.

Sodha
Nyanyian yang dipentaskan pada saat tarian gawi (tandak). Sodha merupakan lantunan syair dengan nada datar yang dilafalkan saat gawi tanpa teks. Kata - kata sodha disesuaikan dengan acara pesta adat masing - masing kaln adat. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk dan diduet satu orang pengiringnya. Sodha Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pe-sodha, melainkan hanya orang-orang tertentu. Pada saat - saat tertentu para penari membalas kata sodha juga dalam bentuk nyanyian. 

Doja
Menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu pernikahan atau lagu hymne. Doja dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan. Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.

Jenda
Dinyanyikan secara spontan tanpa teks oleh seseorang atau dua orang secara bergantian dengan syair pele pata seperti berbalas pantun pada acara seremonial adat. Jenda biasanya dalam posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua orang kata-katanya merupakan sindiran. Kadang Jenda dinyanyikan oleh dua orang, saling bersahutan dalam situasi saling menjajaki tingkat ilmu. Jenda mempunyai kekhasan karena bahasa jenda hampir tidak dimengerti oleh pendengar. Jenda dinyanyikan dalam posisi semedi dengan mata tertutup. 

Woi Nada
Ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup pasangan muda - mudi yang menyedihkan dalam cerita rakyat Lio. Woi juga dilakukan para dukun / bhisa mali dalam mengobati orang sakit dengan melagukan nada woi dalam keadaan tanpa sadar untuk menelusuri penyebab sakit penyakit tertentu.

Peo Oro
Nyanyian tradisional oleh peo / solo dan dijawab oleh koor / oro secara bersama - sama untuk meringankan suatu pekerjaan berat. Peo Oro dipentaskan untuk mengatasi sesuatu pekerjaan yang berat menjadi ringan, seperti Mboka : Goro watu rate (tarik batu kuburan), goro tenga (tarik balok kayu untuk rumah adat). Jenis Peo Oro lainnya seperti : O Lea: Lagu dalam kebersamaan melulur jagung yang dipanen, Rongi : membuka lahan atau kebun, Dhawe Dera: menanam tanaman, Debu Dera: menetas padi, dan lainnya.

Sodha Le Lai Lowo
Nyanyian untuk menina-bobokan anak kecil dan lagunya hampir sama dengan sodha. Syairnya merupakan kata-kata jenaka. Sodha Le Lai Lowo ini juga dipakai dalam acara gawi yang tidak resmi.

Nde'o
Menyanyikan lagu secara bebas baik secara serius maupun bersifat jenaka/menghibur dalam berbagai acara oleh seorang atau bebera penyanyi. Nde'o = nyanyi. Nde'o randu = nyanyian.

Share: Youtube

Wologai Nua Pu'u

Oleh Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai


Wologai sebuah kampung adat yang terletak di desa Wologai Tengah kecamatan Detusoko kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kalau ada dalam rute perjalan dari Ende (pusatnya flores) menuju Maumere, di KM 42 ada cabang kiri meunju kecamtan Detukeli (Marilonga), 1.5 KM dari Jalan Negara anda memasuki kampung adat Wologai. Begitu memasuki area kampung, anda akan melihat beberapa pohon beringin tua berdiri kokoh seakan menyangga kampung yang menyimpan keunikannya tersendiri. 


Kampung Wologai membentuk lingkaran yang diapiti rumah - rumah adatnya. Anda akan memasuki gerbang kampung dengan menaiki tangga batu susunan. Pandangan anda akan tertuju pada lingkaran susunan batu yang paling atas dengan sebuah bangunan beratap tinggi. Itulah "Tubu Kanga dan Ke'da". Tubu Kangan merupakan tempat dilaksanakan tarian tandak saat "Nggua" atau seremonial syukuran tahunan. Ke'da merupakan sebuah bangunan seperti rumah, tanpa dinding. empat tiang penyangga berdiri kokoh menyangga atap bangunan. Ke'da merupakan tempat sakral yang hanya dimasuki oleh kaum lelaki. Ke'da juga merupakan tempat musyawarah para tetua adat atau "Mosalaki". Ke'da juga menyimpan barang pusaka lainnya seperti "Lamba Bapu" atau gendang seperti beduk yang terbuat dari kulit manusia.

Aitszzz....Anda harus berjalan melingkar dari arah kanan. Rumah kanan pertama pintu masuk "Sa'o Nua Guta / Wula Leja, berikutnya sa'o Panggo, berikutnya sa'o Wolo Ghale, berikut sa'o Weri Wawi, berikutnya sa'o Labo, depan sa'o Labo sa'o Lewa Bewa, berikutnya didepan Lewa Bewa terletak sa'o Bhisu Koja atau Sa'o Ria, berikutnya sa'o Sokoria, berikutnya sa'o Sato Jopu, berikutnya sa'o Langga Rapa, berikutnya sa'o Ana Lamba, berikutnya sa'o Ana Lopi / Sa'o Benga, berikutnya sa'o Renggi Woge, berikutnya sa'o Rini, berikutnya sa'o Wolo Me'na, berikutnya sa'o Bhena, berikutnya sa'o Nua Ro'a.
Ada bangunan lain yang ada dalam lingkaran. Didepan sa'o Nua Guta adalah Lewa Nake, tempat memasak daging khusus laki - laki. Di depan sa'o Ria / Bhisu Koja adalah bale Ndewi Boko (tempat istirahat para lelaki). Anda bisa masuk ketiap rumah yang ada. Setiap rumah / sa'o mempunyai hak masing - masing klan adat dengan mosalaki dan kaka longgo atau pendukungnya.

Sa'o Ria merupakan rumah utama simbol persekutuan adat Wologai. Banyak seremonial adat ataupun ritual adat dilaksanakan di sa'o Ria atau Bhisu Koja. Sa'o merangkul semua sa'o - sa'o lainnya. Lima rumah yang melaksanakan seremonial mandiri yakni, Wolo Ghale, Sokoria, Rini, Wolo Me'na, Nua Ro'a. Rumah adat lainnya dikenal dengan dengan sa'o nai pare atau rumah tempat kumpulkan beras sebelum diantar ke sa'o Bhisu Koja. Sa'o Bhisu Koja membawahi semua sa'o Nai Pare yang ada. 

Apa yang unik dari Wologai? Banyak hal lain yang akan anda dapati di Wologai. 
Masyrakatnya (dalam adat disebut ana kalo fai walu) yang masih dekat dengan kehidupan alam. Rumah - rumah dengan ukiran lokal yang menceritakan keadaan rumah masing - masing. Batu - batu alam yang tersusun rapih membentuk sebuah kampung dan tempat - tempat seremonialnya. Pohon - pohon beringin tua yang telah ada sejak 800 - 1000 tahun yang lalu. Serta banyak kekhasan lainnya. 

So...ada baiknya anda berkunjung ke Wologai lah biar gak bengong cuman diceritain orang lain wkwkwwkkwwkwk. 



Share: Youtube

Peran Blogger di Hari Soempah Pemoeda

Oleh : Ludger S



Spirit perjuangan dalam kebersamaan dengan kebhinekaan tetapi satu telah dirumuskan serta digemakan oleh pemuda bangsa terdahulu. 28 Oktober 1928, 90 tahun lalu tanpa memandang suku, ras dan agama para pemuda merumuskan “Pandji Perjuangan Pemuda” dalam rumusan “Sumpah Pemuda”. Ikrar Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada kongres pemuda ke II, menggema dan membakar semangat juang para pemuda Indonesia untuk bersatu dalam satu tekad akan satu , “Indonesia”. 
Para pemuda dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang berlangsung pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928, mengambil keputusan sebagai berikut. :
1. Menerima lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
2. Menerima sang “Merah Putih” sebagai Bendera Indonesia.
3. Semua organisasi pemuda dilebur menjadi satu dengan nama Indonesia Muda (berwatak nasional dalam arti luas). 
4. Diikrarkannya “Sumpah Pemuda” oleh semua wakil pemuda yang hadir. Isi Ikrar Sumpah Pemuda
a. Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
b. Kami putra dan putri Indonesia, mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia.
c. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia 


Baca juga : Sumpah Pemuda 

Sumpah Pemuda menjadi panji perjuangan pemuda dimasanya. Zaman now, sumpah pemuda menjadi kekuatan yang mengikat para pemuda Indonesia untuk mempertahnkan kesatuan NKRI “harga mati”. 90 tahun lalu Pemuda Indonesia telah menores sejarah perjuangan bangsa. Dari tahun ke tahun sejarah sumpah pemuda tetap dikenang dan dirayakan oleh segenap elemen bangsa. 
Muhamad Yamin, telah mengobarkan semangat juang para pemuda Indonesia lewat tulisannya yang disetujui oleh semua anggota kongres. Bagi saya beliau merupakan seorang penulis yang hebat, sangat luar biasa. Dalam waktu sekejap beliau dapat merumuskan ikrar yang sangat komunikan. Bolehlah kalau saya menyebutkan beliau sebagai komunikator ulung. 

Sumpah Pemuda menjadi sejarah bangsa. Sejarah akan perjuangan pemuda bangsa terdahulu yang telah menjadi dokumen bangsa. Bermula dari “Sumpah Pemuda” telah melahirkan banyak penulis – penulis lainnya yang mengurai secara khusus tentang Tanah Air, Bangsa dan Bahasa Indonesia baik dalam karya tulis, buku – buku dan bentuk tulisan lainnya. Satu tekad bahwa semangat sumpah pemuda harus tetap dijaga, dikobarkan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi berikutnya. Peran para penulis menjadi sangat penting untuk meneruskan ke gerenasi berikutnya dalam bentuk warisan sejarah. Tak masalah beda karakter tulisan, beda bentuk tulisannya. Entah dalam bentuk buku, dalam bentuk karya ilmiah, dalam bentuk opini, dalam bentuk berita dan dalam bentuk tulisan lainnya. 

Baca juga tentang : Sumpah Pemuda

Teruslah menulis tentang Sumpah Pemuda dengan karater dan bentuk tulisan dari masing – masing penulis. Asal tidak merubah aslinya ya hahaha, hindari hoax. Saya berpendapat, warisan yang tak ternilai itu warisan ilmu pengetahuan. Karena  seluruh usaha untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kehidupan manusia . Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan, yang pasti itu adalah hasil dari sebuah tulisan oleh penulis.

Be A Writer

Share: Youtube

Soempah Pemoeda


Mari berkunjung ke Kampung Wologai


Selama zaman penjajahan Belanda, Kongres Pemuda Indonesia diselenggarakan tiga kali. Kongres Pemuda Indonesia I berlangsung di Jakarta pada tanggal 30 April – 2 Mei tahun 1926 diikuti oleh semua organisasi pemuda. Namun, Kongres Pemuda Indonesia I belum dapat menghasilkan keputusan yang mewujudkan persatuan seluruh pemuda. Kongres Pemuda Indonesia I merupakan persiapan Kongres Pemuda Indonesia II.

Kongres Pemuda Indonesia II berlangsung di Jakarta pada tanggal 27 – 28 Oktober. Pusat penyelenggaraan kongres tersebut di Gedung Indonesische Club di Jl. Kramat Raya 106, tetapi keseluruhan sidang diselenggarakan di tiga tempat.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setujujuga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin




Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V: Mohammad Rochjani Su’ud (Pemoeda Kaoem Betawi)

Pemuda bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk menyusun panitia kongres. Pada malam penutupan tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda Indonesia II mengambil keputusan sebagai berikut. :
  1. Menerima lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
  2. Menerima sang “Merah Putih” sebagai Bendera Indonesia.
  3. Semua organisasi pemuda dilebur menjadi satu dengan nama Indonesia Muda (berwatak nasional dalam arti luas). Diikrarkannya “Sumpah Pemuda” oleh semua wakil pemuda yang hadir. 
  4. Isi Ikrar Sumpah Pemuda

  • Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
  • Kami putra dan putri Indonesia, mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia.
  • Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


Share: Youtube

Ba’nge Du’a

ditulis oleh : Ludger S
Narasumber : Sebastianus Kaki, SP






Babo (opa) Ba’nge Du’a  merupakan seorang mosalaki dengan sebutan lain “suke laki pama ongga” yang mendiami dikampung Wolobewa berada di dusun Wolobewa desa Wologai Timur KM. 43 Kecamatan Lepembusu Kelisoke (Lepkes) Kabeupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. 
Ba’nge Du’a berasal dari Faunaka, berasal dari Wologai. Dia menikah dengan anak pemilik “Boge Ndora”  dari kampung Wolobewa.  Sejak menikah dengan anak dari pemilik “boge ndora” Ba’nge Du’a tinggal dan menetap di kampung Wolobewa. 
Suatu ketika ada sengketa ulayat dan terjadi peperangan dengan ulayat tetangga. Semua aji ana dan mosalaki siap hijrah ke tempat lain. Disinilah bermula “suke laki pama ongga” diperankan. Ba’nge Du’a memediasi dan berhasil mendamaikan sengketa dan peperangan yang terjadi. 
Babo Ba’nge Du’a mempunyai rumah untuk seremonial adat, “Sa’o (rumah) Ba’nge Du’a. rumahnya terletak dibagian utara tubu kanga dan kuwu (semacam keda). Setelah Ba’nge Du’a, beberapa orang garis keturunannya menggantikan peran mosalaki yang diwariskannya sampai ke bapak Alex Siso.


Bpk Alex Siso
Bapak Alexander Siso Tibo Kaki yang sering disapa Ame Alex Siso adalah penerus dan pemimpin klan sa’o Ba’nge Du’a digenerasi yang kesekiannya. Semasa hidupnya beliau sangat menjunjung tinggi tentang adat istiadat. Dalam kesehariannya beliau sangat memegang teguh norma adat termasuk unsur – unsur kebudayaan. Beliau meninggal di usia yang sangat uzur, 90 an tahun. Beliau juga sering menjadi narasumber budaya sekitarnya dan juga menjadi narasumber apabila terjadi sengketa tanah ulayat disekitranya. 

Bapak Sebastianus Kaki selanjutnya yang berperan sebagai mosalaki “suke laki pama ongga” menggantikan bapak Alex Siso penerima tongkat estafet dari Ba’nge Du’a. segera setelah menerima tongkat estafet tersebut, Pak Sebas sapaan sehari – harinya langsung dihadapi dengan tugas yang sangat berat. Rumah Ba’nge Du’a saatnya harus dibangun kembali. Banyak prosesi adat yang harus dilaksakan sebelum pembangunan ruamh, selama pembangunan rumah dan setelah pembangunan rumah adat. Proses pembangunan yang membutuhkan biaya, tenaga menjadi tantangan tersendiri yang mau tidak mau menjadi tanggungjawab yang harus dijalani dan dihadapi. 


Rumah adat yang terbuat dari kayu hutan lokal, beratapkan alang –alang dan atau ijuk. Semua aji ana dalam rumah dikerahkan. Semua mendapat tugas dan peran masing – masing dalam pelaksanaan pembangunan. Mendatangkan kayu dengan jenis kayu khas dan khusus didahului dengan seremonial adat. Setelah kayu dan bahan lainnya tersedia, rumah siap dikerjakan. Acara pembongkaran rumah adat harus didahului prosesi sereminial pemindahan, “tenda teo, watu wisu lulu, mbola, nggala, sobe, kiko pare bara” dan pusaka lainnya ketempat sementara yang telah disiapkan. Didahulu dengan sesajian kepada leluhur, pembongkaran, pembangunan sampai dengan seremonial, “ka muku mu’u tewu” (acara masuk rumah). 

Leka ola welu (pas orangnya), akhirnya rumah “Ba’nge Du’a selesai dibangun. Selanjutnya tinggal “loru mbe’ra” (menggantikan alang – alang dan atau ijuk). 

Share: Youtube

Wolokota Part1

Oleh : Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai

“Kopo tau gao kasa tau nggengge, tau dai singi enga langi” itulah Wolokota.  Toko muda Wolokota Yohanis Kaki (kunjungi facebooknya) mengungkapkan sepenggal cerita astafet dari leluhurnya. Anis sapaan kesehariannya yang juga sebagai guru pada SDK Wologai, mengatakan sejak beberapa tahun silam, Wolokota tidak melaksanakan “nggua” atau seremonial adat. 
Wolokota merupakan bagian dari Wologai. Spirit keberadaan “Kopo tau gao kasa tau nggengge, tau dai singi enga langi” bermakna menjaga batas ulayat Wologai. Kopo berarti lingkaran, kasa berarti pagar. Kopo kasa berarti lingkaran yang diberi pagar. Ungkapan Kopo Kasa bermakna menerima hak atas batas lokasi tanah ulayat dengan batas yang telah ditentukan. Kopo Kasa masih memiliki tanggungjawab tertentu kepada pemberi hak. 


Apa makna “tau dai singi enga langi”? Singi berarti pinggir, langi berarti batas. Tau dai singi enga langi bermakna untuk menjaga pinggir (singi) tanah ulayat yang berbatasan langsung dengan ulayat lainnya. Masing – masing batas tanah ulayat diberikan kepada Kopo Kasa yang berbeda. 




Anka Santun
Wolokota mempunyai satu Rumah Utama (Sa’o Ria/nggua) dan dua sa’o nai pare (rumah yang berfungsi mengumpulkan pare/beras dari anggota keluarganya sebelum diantar ke rumah utama). Mempunyai “kuwu” (menyerupai keda”), mempunyai “tubu dan seka”. 
Beberapa generasi penerus Wolokota secara terbuka mengatakan ingin melaksanakan kembali seremonial adat warisan leluhurnya. 
Toko muda lainnya, Marselinus Minggu mengungkapkan hal yang sama. Mereka semua merindukan nua Wolokota kembali dengan sebutan, bebu ngere mbiri seru, kea ngere weka nuka”. 
Saya salut dengan semangat mereka. Harapannya segera terlaksana apa yang mereka rindukan. 

Share: Youtube

Turajaji

oleh Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai


Bila Moke
Yang memahami hukum formal mendefenisikan Perjanjian, Perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Seperti yang tertulis Pasal 1313 KUHPer menyebutkan bahwa "suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih", sedangkan mengenai perikatan disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPer yang menyebutkan bahwa "perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang".
Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya "Hukum Perjanjian", beliau membedakan pengertian perikatan dengan perjanjian yang menyatakan bahwa "hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah "perjanjian itu menerbitkan perikatan". Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Hal mana, suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu."
Adapun pengertian Perikatan dan Perjanjian menurut Subekti yaitu "Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu." 
"Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal."

Bagamiana dengan Turajaji? 

Tura berarti tumpang atau menyusun menjadi tumpukan. Tura dalam kata "turajaji" mengandung arti saling menumpang tangan. Jaji artinya janji. Jadi "Turajaji" adalah saling menumpangkan tangan untuk suatu ikatan perjanjian antar klan adat. Turajaji merupakan suatu perjanjian dan atau Perikatan yang terjadi antar klan adat tentang kepemilikan tanah ulayat dengan batas – batasnya. 

Baca juga : Porejaji 

Ungakapan dalam bahasa Lio untuk sebuah “Turajaji” yakni, “tura no tana jaji no watu” yang berarti saling menumpangkan tangan dalam suatu kesepakatan tentang tanah janji dengan batu. Beda dengan “Porejaji” yaitu “pore no ka jaji no minu”
Turajaji terjadi karena beberapa hal. Bisa karena sengketa tanah, bisa karena penyerahan hak tanah dan lain sebagainya, yang mengikat antar klan atas perjanjian tersebut dengan apabila ada yang melanggar dengan ungkapan, “tana ka watu pesa” yang berarti “kematian”.

Kampung Adat Wologai

Turajaji sangat dijunjung tinggi oleh tetua adat Lio dan "ana kalo fai walunya". Apabila ada yang melanggar turajaji, dampaknya sangat besar. Bisa terjadi peperangan antar suku, seperti yang sering terjadi dibeberapa ulayat adat. Kawula muda sering melafalkan kata "porejaji dan turajaji". Sebagian dari mereka juga beranggapan bahwa porejaji dan turajaji itu sama. Padahal antara kedua kata ini sangat berbeda. "Porejaji suatu perjanjian antar klan adat untuk makanan dan minuman. Sedangkan Turajaji adalah perjanjian antar klan adat atas tanah dan batu (hak ulayat). 

Tidak banyak "turajaji" yang terjadi antar klan adat. Turajaji terjadi sejak generasi terdahulu dengan berbagai larat belakangnya. Seperti sudah disebutkan diatas, banyak turajaji perebutan tanah adat. 

Sebagai contoh zaman dahulu kala, telah terjadi pertumpahan darah antara Unggu, Lio dengan Sikka, Nage, Ende, Keo dan suku lainnya di Flores. Peperangan antar suku tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya karena batas tanah adat diantara mereka. Setelah adanya perundingan damai,  dengan kesepakatan menetapkan batas tanah adat yang selalu dibatasi dengan kali atau sungai atau berupa galian tanah berupa parit yang disebut "nggo". Dari situ mereka telah menyepakati suatu "turajaji" yang mana apabila ada yang melanggar atau dalam sebutan Lio, "langga tura ndore jaji" berdampak pada kematian atau dalam sebutan Lio, "tana ka watu pe'sa".   


Share: Youtube

Genu Wena

Oleh Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai



Genu artinya sisa. Selalu dipakai untuk sisa makanan. Wena artinya bagian bawah. Kalau nasi dalam periuk ya bagian kerak nasi. Genu wena artinya sisa makanan yang diantar oleh pihak perempuan ke pihak laki – laki. Kapan “genu wena” terjadi? Mari kita simak anekdot berikut ini.
Baca juga : Perkawinan Adat Lio
Sebut saja Dode, pemuda dikampung Jumba Laka akan meminang seorang gadis dari kampung Wolokota bernama Mbembe. Setelah disepakati waktu pelaksanaannya, Dode dengan utusan keluarga datang kerumah orang tua Mbembe. Dalam konteks meminang “teo tipu tanda rara” atau gantung baju, hantaran berupa “eko/hewan, ngawu/mas lokal, doi/uang”.
Keluarga Mbembe menerima kedatangan Dode bersama utusan keluarga dengan penuh hangat dalam rasa persaudaraan. Orang Lio menyebutnya suatu peristiwa, “nge geu ngeda pepa atau berkembang biak”. Utusan keluarga Dode menyampaikan maksud kedatangan mereka, “teo tipu tanda rara” antara Dode dan Mbembe. Terjadi dialog untuk tahap selanjutnya. Dengan diawali proses “teo tipu tanda rara” Dode dan Mbembe dikategorikan dalam jenis perkawinan “ruru gare”. 
Keluarga Mbembe menyampaikan apa mahar/belis yang harus dihantar saat “tu ria / hantaran besar” nanti. Liwu lima / lima liwut (1 liwut = 4 buah), eko lima / lima ekor hewan, doi no majo (uang untuk tiap paketannya), dengan ngawu lewa (hantaran yang tidak dihitung) liwu rua (dua liwut) eko rua (dua ekor hewan). Hantaran besar akan diberikan, 1.Ine (ibu) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 2.eda wuru (paman, saudara laki tertua dari pihak ibu) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 3.ema (bapak) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 4.nara (saudara laki Mbembe) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 5.ine tuka ndue (saudara dari mama) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang. 
Sebelum dilaksanakan dialog untuk kesepakatan mahar disajikan makanan dan minuman. Orang Lio menyebutnya “ka lo’o”. Sajian ka lo’o berupa “filu / cucur lokal, kibi / emping dari padi, ruja ra atau balik darah, kopi, daging, nasi. Disajikan masing – masing porsi kepada Dode dan utusan keluarganya. Setelah terjadi kesepakatan hantaran besar disajikan makanan dan minuman “ka ria”. 

Apa itu genu wena?

Saat pembantaian ada beberapa bagian dari hewan (bab1) yang tidak boleh dimasak. Bagian belakang dari leher sampai ekor dan kepala.
Kesepakatan mahar / belis telah terjadi. Dode dengan utusan keluarganya pamit pulang. Keluarga Mbembe wajib mengantar “genu wena” ke keluarga Dode. Hantaran berupa beras dengan ukuran “mbola atau bakul, daging masak bukan sisa dari yang dimakan tetapi dipisahkan tersendiri, dengan semua makanan yang disajikan kepada Dode dan utusan keluarganya tadi. Genu wena diantar ke keluarga Dode selang beberapa saat setelah kepulangan Dode dan utusan keluarganya. Keluarga Dode akan memberikan “pusi mbola dan kolo ro”. Pusi mbola (mengisi bakul) dengan mas atau sejumlah uang. Pusi mbola akan diserahkan kepada keluarga Mbembe. Kolo ro, secara harafiah diartikan sakit kepala. Tetapi kolo ro yang dimaksud adalah menghargai orang yang mengantar genu wena tadi, berupa sejumlah uang yang diberikan langsung ke masing – masing orang yang datang. 

Genu wena, merupakan penyampaian secara simbolik dari keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki – laki bahwa keluarga besar perempuan telah menerima kedatangan keluarga laki – laki dalam nuansa kebersamaan dan rasa persaudaraan. Utusan keluarga laki – laki telah diterima dengan baik dan diberi makan serta minum.

Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook

Gerunion Creator

Wikipedia

Hasil penelusuran

Adsense

Recent Posts

Pepatah Lio

  • Ni Sariphi Tau Wini, Tuke Sawole ngara du nggonde.
  • Lowo Jawu Ae Ngenda.
  • Ndange Beke dan Ngenda Beke.