berbagi kemesraan tentang keanekaragaman budaya Nusantara

Peran Blogger di Hari Soempah Pemoeda

Oleh : Ludger S



Spirit perjuangan dalam kebersamaan dengan kebhinekaan tetapi satu telah dirumuskan serta digemakan oleh pemuda bangsa terdahulu. 28 Oktober 1928, 90 tahun lalu tanpa memandang suku, ras dan agama para pemuda merumuskan “Pandji Perjuangan Pemuda” dalam rumusan “Sumpah Pemuda”. Ikrar Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada kongres pemuda ke II, menggema dan membakar semangat juang para pemuda Indonesia untuk bersatu dalam satu tekad akan satu , “Indonesia”. 
Para pemuda dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang berlangsung pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928, mengambil keputusan sebagai berikut. :
1. Menerima lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
2. Menerima sang “Merah Putih” sebagai Bendera Indonesia.
3. Semua organisasi pemuda dilebur menjadi satu dengan nama Indonesia Muda (berwatak nasional dalam arti luas). 
4. Diikrarkannya “Sumpah Pemuda” oleh semua wakil pemuda yang hadir. Isi Ikrar Sumpah Pemuda
a. Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
b. Kami putra dan putri Indonesia, mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia.
c. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia 


Baca juga : Sumpah Pemuda 

Sumpah Pemuda menjadi panji perjuangan pemuda dimasanya. Zaman now, sumpah pemuda menjadi kekuatan yang mengikat para pemuda Indonesia untuk mempertahnkan kesatuan NKRI “harga mati”. 90 tahun lalu Pemuda Indonesia telah menores sejarah perjuangan bangsa. Dari tahun ke tahun sejarah sumpah pemuda tetap dikenang dan dirayakan oleh segenap elemen bangsa. 
Muhamad Yamin, telah mengobarkan semangat juang para pemuda Indonesia lewat tulisannya yang disetujui oleh semua anggota kongres. Bagi saya beliau merupakan seorang penulis yang hebat, sangat luar biasa. Dalam waktu sekejap beliau dapat merumuskan ikrar yang sangat komunikan. Bolehlah kalau saya menyebutkan beliau sebagai komunikator ulung. 

Sumpah Pemuda menjadi sejarah bangsa. Sejarah akan perjuangan pemuda bangsa terdahulu yang telah menjadi dokumen bangsa. Bermula dari “Sumpah Pemuda” telah melahirkan banyak penulis – penulis lainnya yang mengurai secara khusus tentang Tanah Air, Bangsa dan Bahasa Indonesia baik dalam karya tulis, buku – buku dan bentuk tulisan lainnya. Satu tekad bahwa semangat sumpah pemuda harus tetap dijaga, dikobarkan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi berikutnya. Peran para penulis menjadi sangat penting untuk meneruskan ke gerenasi berikutnya dalam bentuk warisan sejarah. Tak masalah beda karakter tulisan, beda bentuk tulisannya. Entah dalam bentuk buku, dalam bentuk karya ilmiah, dalam bentuk opini, dalam bentuk berita dan dalam bentuk tulisan lainnya. 

Baca juga tentang : Sumpah Pemuda

Teruslah menulis tentang Sumpah Pemuda dengan karater dan bentuk tulisan dari masing – masing penulis. Asal tidak merubah aslinya ya hahaha, hindari hoax. Saya berpendapat, warisan yang tak ternilai itu warisan ilmu pengetahuan. Karena  seluruh usaha untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kehidupan manusia . Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan, yang pasti itu adalah hasil dari sebuah tulisan oleh penulis.

Be A Writer

Share: Youtube

Soempah Pemoeda


Mari berkunjung ke Kampung Wologai


Selama zaman penjajahan Belanda, Kongres Pemuda Indonesia diselenggarakan tiga kali. Kongres Pemuda Indonesia I berlangsung di Jakarta pada tanggal 30 April – 2 Mei tahun 1926 diikuti oleh semua organisasi pemuda. Namun, Kongres Pemuda Indonesia I belum dapat menghasilkan keputusan yang mewujudkan persatuan seluruh pemuda. Kongres Pemuda Indonesia I merupakan persiapan Kongres Pemuda Indonesia II.

Kongres Pemuda Indonesia II berlangsung di Jakarta pada tanggal 27 – 28 Oktober. Pusat penyelenggaraan kongres tersebut di Gedung Indonesische Club di Jl. Kramat Raya 106, tetapi keseluruhan sidang diselenggarakan di tiga tempat.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setujujuga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin




Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V: Mohammad Rochjani Su’ud (Pemoeda Kaoem Betawi)

Pemuda bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk menyusun panitia kongres. Pada malam penutupan tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda Indonesia II mengambil keputusan sebagai berikut. :
  1. Menerima lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
  2. Menerima sang “Merah Putih” sebagai Bendera Indonesia.
  3. Semua organisasi pemuda dilebur menjadi satu dengan nama Indonesia Muda (berwatak nasional dalam arti luas). Diikrarkannya “Sumpah Pemuda” oleh semua wakil pemuda yang hadir. 
  4. Isi Ikrar Sumpah Pemuda

  • Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
  • Kami putra dan putri Indonesia, mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia.
  • Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


Share: Youtube

Ba’nge Du’a

ditulis oleh : Ludger S
Narasumber : Sebastianus Kaki, SP






Babo (opa) Ba’nge Du’a  merupakan seorang mosalaki dengan sebutan lain “suke laki pama ongga” yang mendiami dikampung Wolobewa berada di dusun Wolobewa desa Wologai Timur KM. 43 Kecamatan Lepembusu Kelisoke (Lepkes) Kabeupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. 
Ba’nge Du’a berasal dari Faunaka, berasal dari Wologai. Dia menikah dengan anak pemilik “Boge Ndora”  dari kampung Wolobewa.  Sejak menikah dengan anak dari pemilik “boge ndora” Ba’nge Du’a tinggal dan menetap di kampung Wolobewa. 
Suatu ketika ada sengketa ulayat dan terjadi peperangan dengan ulayat tetangga. Semua aji ana dan mosalaki siap hijrah ke tempat lain. Disinilah bermula “suke laki pama ongga” diperankan. Ba’nge Du’a memediasi dan berhasil mendamaikan sengketa dan peperangan yang terjadi. 
Babo Ba’nge Du’a mempunyai rumah untuk seremonial adat, “Sa’o (rumah) Ba’nge Du’a. rumahnya terletak dibagian utara tubu kanga dan kuwu (semacam keda). Setelah Ba’nge Du’a, beberapa orang garis keturunannya menggantikan peran mosalaki yang diwariskannya sampai ke bapak Alex Siso.


Bpk Alex Siso
Bapak Alexander Siso Tibo Kaki yang sering disapa Ame Alex Siso adalah penerus dan pemimpin klan sa’o Ba’nge Du’a digenerasi yang kesekiannya. Semasa hidupnya beliau sangat menjunjung tinggi tentang adat istiadat. Dalam kesehariannya beliau sangat memegang teguh norma adat termasuk unsur – unsur kebudayaan. Beliau meninggal di usia yang sangat uzur, 90 an tahun. Beliau juga sering menjadi narasumber budaya sekitarnya dan juga menjadi narasumber apabila terjadi sengketa tanah ulayat disekitranya. 

Bapak Sebastianus Kaki selanjutnya yang berperan sebagai mosalaki “suke laki pama ongga” menggantikan bapak Alex Siso penerima tongkat estafet dari Ba’nge Du’a. segera setelah menerima tongkat estafet tersebut, Pak Sebas sapaan sehari – harinya langsung dihadapi dengan tugas yang sangat berat. Rumah Ba’nge Du’a saatnya harus dibangun kembali. Banyak prosesi adat yang harus dilaksakan sebelum pembangunan ruamh, selama pembangunan rumah dan setelah pembangunan rumah adat. Proses pembangunan yang membutuhkan biaya, tenaga menjadi tantangan tersendiri yang mau tidak mau menjadi tanggungjawab yang harus dijalani dan dihadapi. 


Rumah adat yang terbuat dari kayu hutan lokal, beratapkan alang –alang dan atau ijuk. Semua aji ana dalam rumah dikerahkan. Semua mendapat tugas dan peran masing – masing dalam pelaksanaan pembangunan. Mendatangkan kayu dengan jenis kayu khas dan khusus didahului dengan seremonial adat. Setelah kayu dan bahan lainnya tersedia, rumah siap dikerjakan. Acara pembongkaran rumah adat harus didahului prosesi sereminial pemindahan, “tenda teo, watu wisu lulu, mbola, nggala, sobe, kiko pare bara” dan pusaka lainnya ketempat sementara yang telah disiapkan. Didahulu dengan sesajian kepada leluhur, pembongkaran, pembangunan sampai dengan seremonial, “ka muku mu’u tewu” (acara masuk rumah). 

Leka ola welu (pas orangnya), akhirnya rumah “Ba’nge Du’a selesai dibangun. Selanjutnya tinggal “loru mbe’ra” (menggantikan alang – alang dan atau ijuk). 

Share: Youtube

Wolokota Part1

Oleh : Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai

“Kopo tau gao kasa tau nggengge, tau dai singi enga langi” itulah Wolokota.  Toko muda Wolokota Yohanis Kaki (kunjungi facebooknya) mengungkapkan sepenggal cerita astafet dari leluhurnya. Anis sapaan kesehariannya yang juga sebagai guru pada SDK Wologai, mengatakan sejak beberapa tahun silam, Wolokota tidak melaksanakan “nggua” atau seremonial adat. 
Wolokota merupakan bagian dari Wologai. Spirit keberadaan “Kopo tau gao kasa tau nggengge, tau dai singi enga langi” bermakna menjaga batas ulayat Wologai. Kopo berarti lingkaran, kasa berarti pagar. Kopo kasa berarti lingkaran yang diberi pagar. Ungkapan Kopo Kasa bermakna menerima hak atas batas lokasi tanah ulayat dengan batas yang telah ditentukan. Kopo Kasa masih memiliki tanggungjawab tertentu kepada pemberi hak. 


Apa makna “tau dai singi enga langi”? Singi berarti pinggir, langi berarti batas. Tau dai singi enga langi bermakna untuk menjaga pinggir (singi) tanah ulayat yang berbatasan langsung dengan ulayat lainnya. Masing – masing batas tanah ulayat diberikan kepada Kopo Kasa yang berbeda. 




Anka Santun
Wolokota mempunyai satu Rumah Utama (Sa’o Ria/nggua) dan dua sa’o nai pare (rumah yang berfungsi mengumpulkan pare/beras dari anggota keluarganya sebelum diantar ke rumah utama). Mempunyai “kuwu” (menyerupai keda”), mempunyai “tubu dan seka”. 
Beberapa generasi penerus Wolokota secara terbuka mengatakan ingin melaksanakan kembali seremonial adat warisan leluhurnya. 
Toko muda lainnya, Marselinus Minggu mengungkapkan hal yang sama. Mereka semua merindukan nua Wolokota kembali dengan sebutan, bebu ngere mbiri seru, kea ngere weka nuka”. 
Saya salut dengan semangat mereka. Harapannya segera terlaksana apa yang mereka rindukan. 

Share: Youtube

Turajaji

oleh Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai


Bila Moke
Yang memahami hukum formal mendefenisikan Perjanjian, Perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Seperti yang tertulis Pasal 1313 KUHPer menyebutkan bahwa "suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih", sedangkan mengenai perikatan disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPer yang menyebutkan bahwa "perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang".
Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya "Hukum Perjanjian", beliau membedakan pengertian perikatan dengan perjanjian yang menyatakan bahwa "hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah "perjanjian itu menerbitkan perikatan". Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Hal mana, suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu."
Adapun pengertian Perikatan dan Perjanjian menurut Subekti yaitu "Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu." 
"Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal."

Bagamiana dengan Turajaji? 

Tura berarti tumpang atau menyusun menjadi tumpukan. Tura dalam kata "turajaji" mengandung arti saling menumpang tangan. Jaji artinya janji. Jadi "Turajaji" adalah saling menumpangkan tangan untuk suatu ikatan perjanjian antar klan adat. Turajaji merupakan suatu perjanjian dan atau Perikatan yang terjadi antar klan adat tentang kepemilikan tanah ulayat dengan batas – batasnya. 

Baca juga : Porejaji 

Ungakapan dalam bahasa Lio untuk sebuah “Turajaji” yakni, “tura no tana jaji no watu” yang berarti saling menumpangkan tangan dalam suatu kesepakatan tentang tanah janji dengan batu. Beda dengan “Porejaji” yaitu “pore no ka jaji no minu”
Turajaji terjadi karena beberapa hal. Bisa karena sengketa tanah, bisa karena penyerahan hak tanah dan lain sebagainya, yang mengikat antar klan atas perjanjian tersebut dengan apabila ada yang melanggar dengan ungkapan, “tana ka watu pesa” yang berarti “kematian”.

Kampung Adat Wologai

Turajaji sangat dijunjung tinggi oleh tetua adat Lio dan "ana kalo fai walunya". Apabila ada yang melanggar turajaji, dampaknya sangat besar. Bisa terjadi peperangan antar suku, seperti yang sering terjadi dibeberapa ulayat adat. Kawula muda sering melafalkan kata "porejaji dan turajaji". Sebagian dari mereka juga beranggapan bahwa porejaji dan turajaji itu sama. Padahal antara kedua kata ini sangat berbeda. "Porejaji suatu perjanjian antar klan adat untuk makanan dan minuman. Sedangkan Turajaji adalah perjanjian antar klan adat atas tanah dan batu (hak ulayat). 

Tidak banyak "turajaji" yang terjadi antar klan adat. Turajaji terjadi sejak generasi terdahulu dengan berbagai larat belakangnya. Seperti sudah disebutkan diatas, banyak turajaji perebutan tanah adat. 

Sebagai contoh zaman dahulu kala, telah terjadi pertumpahan darah antara Unggu, Lio dengan Sikka, Nage, Ende, Keo dan suku lainnya di Flores. Peperangan antar suku tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya karena batas tanah adat diantara mereka. Setelah adanya perundingan damai,  dengan kesepakatan menetapkan batas tanah adat yang selalu dibatasi dengan kali atau sungai atau berupa galian tanah berupa parit yang disebut "nggo". Dari situ mereka telah menyepakati suatu "turajaji" yang mana apabila ada yang melanggar atau dalam sebutan Lio, "langga tura ndore jaji" berdampak pada kematian atau dalam sebutan Lio, "tana ka watu pe'sa".   


Share: Youtube

Genu Wena

Oleh Ludger S


Mari berkunjung ke Kampung Wologai



Genu artinya sisa. Selalu dipakai untuk sisa makanan. Wena artinya bagian bawah. Kalau nasi dalam periuk ya bagian kerak nasi. Genu wena artinya sisa makanan yang diantar oleh pihak perempuan ke pihak laki – laki. Kapan “genu wena” terjadi? Mari kita simak anekdot berikut ini.
Baca juga : Perkawinan Adat Lio
Sebut saja Dode, pemuda dikampung Jumba Laka akan meminang seorang gadis dari kampung Wolokota bernama Mbembe. Setelah disepakati waktu pelaksanaannya, Dode dengan utusan keluarga datang kerumah orang tua Mbembe. Dalam konteks meminang “teo tipu tanda rara” atau gantung baju, hantaran berupa “eko/hewan, ngawu/mas lokal, doi/uang”.
Keluarga Mbembe menerima kedatangan Dode bersama utusan keluarga dengan penuh hangat dalam rasa persaudaraan. Orang Lio menyebutnya suatu peristiwa, “nge geu ngeda pepa atau berkembang biak”. Utusan keluarga Dode menyampaikan maksud kedatangan mereka, “teo tipu tanda rara” antara Dode dan Mbembe. Terjadi dialog untuk tahap selanjutnya. Dengan diawali proses “teo tipu tanda rara” Dode dan Mbembe dikategorikan dalam jenis perkawinan “ruru gare”. 
Keluarga Mbembe menyampaikan apa mahar/belis yang harus dihantar saat “tu ria / hantaran besar” nanti. Liwu lima / lima liwut (1 liwut = 4 buah), eko lima / lima ekor hewan, doi no majo (uang untuk tiap paketannya), dengan ngawu lewa (hantaran yang tidak dihitung) liwu rua (dua liwut) eko rua (dua ekor hewan). Hantaran besar akan diberikan, 1.Ine (ibu) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 2.eda wuru (paman, saudara laki tertua dari pihak ibu) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 3.ema (bapak) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 4.nara (saudara laki Mbembe) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang, 5.ine tuka ndue (saudara dari mama) dengan paketan 1 liwut 1 ekor dengan sejumlah uang. 
Sebelum dilaksanakan dialog untuk kesepakatan mahar disajikan makanan dan minuman. Orang Lio menyebutnya “ka lo’o”. Sajian ka lo’o berupa “filu / cucur lokal, kibi / emping dari padi, ruja ra atau balik darah, kopi, daging, nasi. Disajikan masing – masing porsi kepada Dode dan utusan keluarganya. Setelah terjadi kesepakatan hantaran besar disajikan makanan dan minuman “ka ria”. 

Apa itu genu wena?

Saat pembantaian ada beberapa bagian dari hewan (bab1) yang tidak boleh dimasak. Bagian belakang dari leher sampai ekor dan kepala.
Kesepakatan mahar / belis telah terjadi. Dode dengan utusan keluarganya pamit pulang. Keluarga Mbembe wajib mengantar “genu wena” ke keluarga Dode. Hantaran berupa beras dengan ukuran “mbola atau bakul, daging masak bukan sisa dari yang dimakan tetapi dipisahkan tersendiri, dengan semua makanan yang disajikan kepada Dode dan utusan keluarganya tadi. Genu wena diantar ke keluarga Dode selang beberapa saat setelah kepulangan Dode dan utusan keluarganya. Keluarga Dode akan memberikan “pusi mbola dan kolo ro”. Pusi mbola (mengisi bakul) dengan mas atau sejumlah uang. Pusi mbola akan diserahkan kepada keluarga Mbembe. Kolo ro, secara harafiah diartikan sakit kepala. Tetapi kolo ro yang dimaksud adalah menghargai orang yang mengantar genu wena tadi, berupa sejumlah uang yang diberikan langsung ke masing – masing orang yang datang. 

Genu wena, merupakan penyampaian secara simbolik dari keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki – laki bahwa keluarga besar perempuan telah menerima kedatangan keluarga laki – laki dalam nuansa kebersamaan dan rasa persaudaraan. Utusan keluarga laki – laki telah diterima dengan baik dan diberi makan serta minum.

Share: Youtube

Mosalaki

Oleh : Ludger S

Sering menjadi topik diskusi yang menarik dikalangan generasi penerus tentang “Mosalaki”. Tak jarang masing-masing mengurai “mosalaki” dalam dua suku kata “mosa dan laki” dengan arti jantan besar, ada yang mengartikan laki-laki tangguh dan banyak arti-arti lainnya. Kalau saya tidak membenarkan atau menyalahkan pendapat-pendapat tersebut hehehehhee.  Tapi apa sering juga anda mendengar “atalaki”?

Bapak Paulus Lengga
Mosalaki menjadi simbol keberadaan adat budaya di Lio umumnya. Mosalaki bertanggungjawab terhadap hak ulayat, menjalankan seremonial dengan ritual adat yang diwariskan oleh leluhur. Mosalaki juga sangat berperan penting dalam kehidupan sehari – hari dibeberapa kampung yang masih terjaga adat dan budayanya. Bahkan banyak kasus sosial yang dapat diselesaikan oleh Mosalaki.
Dalam pembangunan di wilayahnya mosalaki sangat berperan penting untuk pembebasan lahan, pelaksanaan pembangunan serta menjadi pengawas pembangunan.

MOSALAKI

Berasal dari kata “Mosa” yang berarti laki – laki / jantan dan “laki” yang berarti laki “tuan” yang lebih memaknai pemangku bukan boss. Jadi mosalaki dapat didefenisikan pemangku adat laki – laki. Dibeberapa ulayat adat mosalaki dikelompokkan sesuai tugas dan fungsinya masing – masing dibawah koordinasi “mosalaki pu’u.
Catatan penting : awal terbentuknya kampung adat semua mosalaki yang adat adalah seayah dan seibu, seayah lain ibu. Semua adalah saudara. Yang membedakan adalah wasiat warisan seremonial sesuai dengan urutan tertua ke yang termuda. Dari kakak, adik selanjutnya anak terakhir. Masing – masing menjalankan peran sesuai warisan yang telah diamanatkan. Konflik yang sering terjadi pada umumnya karena kekuasaan.

Pengangkatan dan penobatan mosalaki

Pengangkatan Mosalaki

Sebuah rumah adat sebut saja “sa’o sadhe” mempunyai mosalaki bernama Nggumbe. Diusianya yang sudah uzur Nggumbe sudah tidak bisa melakukan aktifitas seperti usia produktif. Nggumbe hanya ditempat tidur, aktivitasnya hanya untuk pemenuhan sebagian kebutuhan biologis dasar ; makan, minum, wc. Sadar akan keterbatasannya Nggumbe melimpahkan tugasnya kepada adik, anak atau keponakan anak saudara/inya. Akhirnya Nggumbe dipanggil Tuhan. Meninggal. Dalam tatanan adat, meninggal mosalaki disebut, “wunu kaju mesu” atau daun kayu jatuh, “rada lele ba’e” atau dahan beringin jatuh. Sedangkan istilah meninggal umumnya, “mutu gu ia pai”.
Semua keluarga besar Nggumbe berduka. Sebelum upacara penguburan, semua anggota keluarga bermusyawarah untuk menentukkan siapa yang menemani mosalaki lainnya yang datang saat penguburan. Tidak wajib anak kandung Nggumbe yang menjadi mosalaki pengganti. Tidak wajib yang sebelumnya ditunjuk Nggumbe untuk melaksanakan seremonial adat. Musyawarah keluarga menjadi hal terpenting untuk menentukan siapa pengganti. Apabila saat penguburan belum dilakukan kesepekatan maka sementara diwakilkan kepada salah seorang adik atau saudara laki Nggumbe.
Selanjutnya yang terpilih atau pengganti sementara akan duduk bersama dengan mosalaki lainnya baik dalam satu rumah beda “tungku” atau mosalaki dalam sekampung. Sebut saja “Mbele”. Saat acara “ka wi’a” atau makan perpisahan dengan Nggumbe, Mbele melaksanakan seremonial “me’ra duri” atau duduk berdampingan dengan mosalaki lain.
Apakah Mbele sudah sah menjadi mosalaki sa’o sadhe? Belum!!!. Mbele belum dikatakan sebagai mosalaki sa’o sadhe yang syah. Mbele masih menjadi pelaksana tugas sementara. Semua anggota keluarga dikumpulkan untuk menentukan siapa yang akan menerima dan meneruskan Nggumbe.
Sebagai penentu makan dilakukan Seremonial “So Bhoka Au Bui Feo”. Ritual “so bhoka au bui feo” dilaksanakan setelah beberapa nama dimufakatkan. Bisa lebih dari 2 orang. Apabila hasil “so bhoka au bui feo” tidak tepat di Mbele maka digantikan kepada orang lain yang so bhoka au bui feo monge. Sebut saja Nggumbe digantikan oleh “Seda”.
           
Penobatan Mosalaki
           
Selanjutnya Seda menjadi pengganti Nggumbe. Apakah Seda sudah syah? Belum!!! Seda dinyatakan syah apabila sudah dilakukan ritual, “ra / pe’ra nia” atau membasuh dahi dengan darah. Ritual ini dilakukan menjelang “gawi sia” atau malam tarian gawi sebelum dilaksanakan “poto keu uwi”. Setelah penobatan Seda syah menjadi pengganti Nggumbe.

Mengenal Mosalaki dari tugas dan fungsinya.

Pada prinsipnya mosalaki mempunyai tugas, “tau susu nggua nama bapu”. Susu nggua ma’e du’u nama bapu ma’e dute. Artinya ?????? heheehehehehe silahkan bertanya.

Mosalaki pu’u
Mosalaki ria bewa
Mosalaki pati pu
Mosalaki pu maru
Mosalaki pidhi wiwi lapi lema
Mosalaki keso besi rero mbelo
Mosalaki duri dui padi kedo
Mosalaki koe kolu
Mosalaki wesa koro mberi
Mosalaki kago kao
Mosalaki tuke sani
Mosalaki dai kopo
Dan lainnya

Mosalaki Pu’u.

Sebagian besar mengenal mosalaki pu’u (utama). Disetiap ulayat adat  Mosalaki Pu'u mempunyai arti, peranan, tugas serta fungsi tersendiri. Tergantung pada kepemilikan tanah ulayat. Peran mosalaki ditanah ulayat persekutuan lebih kearah koordinasi. Hak – hak atas tanah ulayat menjadi hak persekutuan dengan musyawarah mosalaki sebagai keputusan tertinggi. Sedangkan mosalaki pu’u dengan tanah ulayat adalah hak tunggal, mosalaki pu’u menjadi pemegang kekuasaan tertinggi atas hak ulayatnya. Segala keputusan, kebijakan tergantung pada mosalaki pu’u nya.
Mosalaki pu’u diulayat adat yang terbentuk karena persekutuan berbeda dengan mosalaki pu’u diulayat adat kepemilikan tanah ulayat. 




Share: Youtube

Porejaji

Oleh : Ludger S

Porejaji


Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang "Porejaji"

Nggala, Sobe
Persahabatan atau pertemanan adalah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Ini memusatkan perhatian pada pemahaman yang khas dalam hubungan antar pribadi. Dalam pengertian ini, istilah "persahabatan" menggambarkan suatu hubungan yang melibatkan pengetahuan, penghargaan dan afeksi. Sahabat akan menyambut kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain, seringkali hingga pada altruisme. Selera mereka biasanya serupa dan mungkin saling bertemu, dan mereka menikmati kegiatan-kegiatan yang mereka sukai. Mereka juga akan terlibat dalam perilaku yang saling menolong, seperti tukar-menukar nasihat dan saling menolong dalam kesulitan. Sahabat adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan dan reflektif. Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih daripada kepercayaan bahwa seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau menyakiti mereka. 
Nilai yang terdapat dalam persahabatan seringkali apa yang dihasilkan ketika seorang sahabat memperlihatkan secara konsisten:
  • kecenderungan untuk menginginkan apa yang terbaik bagi satu sama lain.
  • simpati dan empati.
  • kejujuran, barangkali dalam keadaanyang sulit bagi orang lain untuk mengucapkan kebenaran.
  • saling pengertian.

Seringkali ada anggapan bahwa sahabat sejati sanggup mengungkapkan perasaan-perasaan yang terdalam, yang mungkin tidak dapat diungkapkan, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit, ketika mereka datang untuk menolong. Dibandingkan dengan hubungan pribadi, persahabatan dianggap lebih dekat daripada sekadar kenalan, meskipun dalam persahabatan atau hubungan antar kenalan terdapat tingkat keintiman yang berbeda-beda. Bagi banyak orang, persahabatan dan hubungan antar kenalan terdapat dalam kontinum yang sama.

Di Lio umumnya orang mengenal konteks persahatan dengan sebutan, "uli imu" (sebutan teman atau sahabat tanpa membedakan jenis kelamin), "delu"(ini lebih difokuskan untuk sesama pria atau wanita) dan lainnya. Lebih dalam antara kampung adat yang satu dengan yang lainnya lebih dikenal dengan sebutan "Porejaji" dan "Turajaji". Dua sebutan ini mempunyai karateristik tersendiri. Kapan suatu ikatan atau jalinan persahabatan disebut "porejaji" dan kapan suatu ikatan disebut "turajaji".

Porejaji

Kata Porejaji berasal dari kata pore yang artinya pesan (ungkapan) dan jaji yang artinya janji. Porejaji berarti pesan atau ungkapan perjanjian yang dikuatkan dengan larangan – larangan serta akibat yang terjadi apabila melanggar perjanjian tersebut. 
Banyak Porejaji yang diwariskan leluhur terdahulu. Pore no ka jaji no minu (perjanjian dengan manakan dan minuman) serta jenis porejaji lainnya.
Untuk lebih detilnya saya uraikan dalam adekdot dibawah ini :
"Laka mempunyai 3 orang putra, Mbele, Sega, Lopi. Ke-3 orang tersebut diwariskan dengan warisan dan hak secara berurutan dari sulung ke bungsu. Yang sulung, Mbele diwariskan beberapa bukit lahan dan hak kesulungan sebagai pengganti ayah "mosalaki pu'u". Sega diwariskan juga beberapa bukit lahan dan sebagai "mosalaki" riabewa". Berikut Lopi juga diwarikan beberapa luas bukit dan sebagai "mosalaki koe kolu". Disuatu saat, Lopi berkenalan dengan "Lando" dari wilayah adat lainnya, karena batas tanah Lopi dan Lando bersebelahan. Jadilah mereka sebagai sahabat yang sangat dekat. Mereka saling memberi, saling mengingatkan, saling meneguhkan dan banyak hal positif dari persahabatan mereka. Ini berlanjut sampai generasi ke-5 keturunan merka. Karena sudah bertambah banyak masing-masing keturunan mereka, maka luas lahan yang diwariskan untuk mereka semakin berkurang. Suatu ketika dari keturunan Lopi kehilangan hasil kebun ladang berupa tebu, jagung, dan lainnya. Secara langsung keturunan Lopi menuduh keturunan Lando yang mengambil/mencurinya. Keturunan Lando tidak menerima dengan tuduhan itu. Terjadilah pertikaian atau perang antar kampung. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Setelah bersitegang beberapa waktu dan banyak korban yang telah berjatuhan akhirnya kedua belah pihak bersepakat untuk melaksanakan suatu perundingan damai. Berhari-hari lamanya perundingan damai dilaksanakan. Akhirnya mereka bersepakat ; 

"jikalau diantara keturunan Lando akan bepergian jauh dan melewati batas tanah keturunan Lopi, semua hasil kebun keturunan Lopi yang bisa dimakan dan atau diminum, oleh keturunan Lando bisa mengambil untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, tapi tidak untuk dibawah kerumah. Dan juga berlaku sebaliknya. Bila ada yang melarang atau menuduh mencuri dan bahkan mengusirnya, maka jenis tanaman untuk menghilangkan rasa lapar dan haus seperti yang dituduhkan mencuri akan mati semuanya". Kesepakatan ini diceritakan turun temurun. Setiap generasi wajib menceritakan tentang kesepakatan ini ke generasi berikutnya, untuk ditaati dan dilaksanakan. 

Kesepakatan atau perjanjian seperti diatas yang dinamakan "porejaji". Dimana suatu perjanjian antar suku atau keturunan dibuat untuk pemenuhan kebutuhan akan "makan dan minum". Banyak "porejaji" antar kampung adat yang dibuat di Lio. Sebut saja "porejaji au sa toko tewu sa lisa, porejaji nio keu uwi", dan lainnya. 


“Tahun berganti keturunan Lopi menjadi sangat banyak jumlahnya. Beberapa kampung diantara kampung – kampung yang ada terdapat keturunan Lopi. Mereka berkumpul bersama saat melaksanakan seremonial adat yang telah diwariskan di kampung “Lopi”. Ini juga terjadi pada keturunan Lando. Jumlah keturunan Lando semakin bertambah banyak. 
Suatu ketika “Bata” keturunan Lopi menikah dengan “Mbere” dari keturunan Lando. Setelah selesai urusan “belis” Mbere menjadi bagian dari keluarga besar “Bata-Lopi”. Dari pernikahan mereka lahirlah 3 orang putra dan 3 orang putri. Mereka hidup sangat rukun dan bahagia. Mereka juga diberkati dengan hasil panen berlimpah. Bata mempunyai beberapa saudara. Disuatu waktu anak saudara bungsu Bata mengalami sakit keras. Beberapa tabib dan dukun ternama sudah didatangi, tapi belum menunjukkan hasil. Semakin hari keadaan anaknya semakin parah. Akhirnya anaknya meninggal dunia. Setelah selesai acara penguburan datanglah seorang dukun ternama lainnya dan mengatakan kalau anak dari saudara bungsu Bata meninggal karena diguna-guna oleh istrinya Bata (Mbere). Kampung Lopi menjadi sangat heboh dengan berita tersebut. Setelah mengetahui penyebab kematian anaknya, saudara bungsu Lopi tidak menerima kematian anaknya tersebut. Dengan ancaman keras kalau Mbere istri dari kakaknya harus diusir atau dikembalikan ke kampung atau orang tuanya. Pertemuan dikampung Lopi pun terjadi, tapi hasilnya tetap tidak mengubah keputusan. Semua warga kampung bersepakat untuk mengusir Mbere dengan anaknya. Sedangkan Bata tetap menjadi saudara tertua mereka. 
Dengan berat hati akhirnya Bata melepaskan istrinya dan istrinya membawa semua anak-anaknya kekampung dan orang tuanya. Sebelum meninggalkan kampung Bata, Mbere bersumpah ;

Kalau benar-benar kematian anak dari adik bungsuku (Bata) meninggal karena aku, maka aku dan keturunanku akan menderita sakit penyakit turun temurun sampai dengan generasi ke-7. Tetapi bila setelah aku keluar dari kampung ini dan terjadi suatu tanda hebat, maka ingatlah bahwa aku bukan aku penyebab kematian anak saudara bungsuku. Bila itu terjadi maka keturunanmu selamanya tidak boleh menikah dengan keturunanku, sebab kalau keluargamu menikah dengan keluargaku (Mbere) maka keturunanmu akan meninggal setelah menikah.

Setelah berkata seperti itu, Mbere dan anak-anaknya meninggalkan kampung tersebut. Bata mengantarkan istri dan anaknya sampai diperbatasan ulayat adatnya. Setelah memasuki ulayat adat orang tua Mbere, Bata melepaskan istri dan anak-anaknya pergi meninggalkannya. Belum berselang beberapa saat terjadilah hujan badai dikampung Bata. Saudara bungsu Bata dan keluarga lainnya meratapi kejadian tersebut. Mereka menyesali kejadian yang dibuat mereka untuk generasi mereka.

Dari cerita diatas kita, mengklasifikasikan “Porejaji” yang dibuat karena suatu sumpah atas tuduhan tak berbukti. Di beberapa wilayah Lio “porejaji” jenis ini sangat banyak terjadi. Sampai sekarang dibeberapa kampung suku Lio masih melarang generasi (anaknya) untuk menikah dengan beberapa anak/generasi dari kampung tertentu.

Selanjutnya kita akan bahas tentang Turajaji 

Share: Youtube

Informasi Covid-19

Total Tayangan Halaman

Popular

Facebook

Gerunion Creator

Wikipedia

Hasil penelusuran

Adsense

Recent Posts

Pepatah Lio

  • Ni Sariphi Tau Wini, Tuke Sawole ngara du nggonde.
  • Lowo Jawu Ae Ngenda.
  • Ndange Beke dan Ngenda Beke.